Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.
***
Oleh: Retno Darwanti - Semarang
Advertisement
Orang bilang 40 hari sebelum seseorang dipanggil kembali ke Allah, telah menunjukkan hal-hal yang sedikit aneh dari kebiasaannya. Ini juga yang terjadi pada kakakku, Mbak Aik. Kami lima bersaudara yang dilahirkan dari seorang ibu yang sederhana. Kami tinggal di kota besar, ibu kota Propinsi Jawa Tengah, Semarang. Ayahku seorang Ketua DPRD kabupaten Temanggung, kota dingin deket arah ke Wonosobo. Intinya kehidupan kami bisa dibilang berkecukupan baik dari segi materi maupun dari kasih sayang. Yang aku rasakan saat itu hidupku sempurna. Tetapi ayahku dalam mendidik kami, anak-anaknya bukan memberikan limpahan materi atau uang melainkan dengan penuh kesederhanaan dan kasih sayang.
Ayahku selalu bilang, “Hidup itu tidak akan pernah cukup jika terus mengikuti hawa nafsu. Tetapi jika kita membiasakan diri hidup dengan sederhana, apa yang kecil akan menjadi besar atau berharga bagi kita.” Begitu yang selalu ditanamkan ayahku kepada 5 orang anak-anaknya. Prinsip hidup ayahku, pendidikan yang paling penting untuk bekal hidup anak-anaknya nanti. Dikarenakan prinsip hidup ayahku seperti itu tak heran jika ayahku sangat perhatian untuk bidang pendidikan bagi kami. Singkat cerita, ayahku selalu ada uang jika untuk hal-hal yang berkaitan dengan bidang pendidikan bagi kami, tetapi akan sangat pelit untuk hal-hal yang dianggapnya sekadar hiburan saja. Dan prinsip hidup itu, benar-benar diwujudkan oleh ayahku dengan berhasilnya ke-5 anak-anaknya lulus sarjana.
Aku tak pernah merasa tertekan dengan prinsip hidup ayahku ini. Setiap bulan, kami ber-5 diberikan uang saku bulanan yang langsung masuk ke rekening kami masing-masing, begitu kami mulai menginjak di bangku SMA. Dengan jatah bulanan yang kami terima,cukup ataupun tidak cukup kami harus bisa mengatur keuangan tersebut.
Ayahku sendiri sudah tidak mau tahu jika suatu saat kami merengek kekurangan uang. Kedengarannya memang agak kejam, tetapi dengan pendidikan ayahku yang seperti ini, membuat kami lebih bijak dalam mempergunakan uang saku bulanan tersebut. Dan hal itu sangat aku rasakan manfaatnya dalam kehidupan berumah tanggaku sekarang. Awal pemberlakuan program ayahku ini, kami ber-5 merasa tidak ada masalah, semua berjalan sesuai rencana ayahku. Tetapi setelah berjalan setengah tahun, dari 5 bersaudara itu hanya Mbak Aik, kakakku nomor 3 yang mulai timbul masalah.
Advertisement
Tentang Mbak Aik
Sebenarnya Mbak Aik itu orangnya baik, sangat penolong sesama teman dan periang jadi temannya sangat banyak. Tetapi ternyata dengan gaya hidup Mbak Aik tersebut, juga berakibat buruk pada kondisi keuangannya. Setiap kali temannya ada yang belum sanggup bayar uang sekolah, Mbak Aik akan segera menjadi pahlawan penyelamat temannya itu dengan memberikan uangnya buat membayar uang sekolah temannya tersebut. Oh ya, Mbak Aik kebetulan sekolah di sekolah di mana tingkat sosial ekonominya berada pada level menengah ke bawah, jadi bisa dibayangkan banyak temannya itu yang kurang mampu karena orang tuanya hanya buruh di pabrik, ada juga yang hanya sebagai penarik becak saja. Sementara kami ber-4 kebetulan bersekolah di tempat kalangan menengah ke atas, jadi teman-teman kami lebih berkecukupan dibandingkan dengan keadaan kami. Kami sendiri juga tidak tahu kenapa Mbak Aik ingin bersekolah di situ. Karena ayahku tidak pernah membatasi anak-anaknya untuk menentukan sekolah mana yang diinginkan.
Kejadian meminjamkan uang buat teman-temannya itu terus berlangsung hingga akhirnya keuangan Mbak Aik pun mulai menipis. Sementara kesenangan Mbak Aik yang lainpun juga tidak terkendali. Mbak Aik senang sekali beli barang-barang mewah hanya sekadar untuk bergaya. Mulailah Mbak Aik melancarkan aksi pinjam uang kepada kami.
Hampir dari kami ber-4 ini semua telah mendapat giliran untuk dipinjam uangnya tanpa Mbak Aik dapat mengembalikannya.Hanya janji yang tak pernah dipenuhi untuk membayar, hanya permintaan maaf yang tiap kali kami mulai marah karena dia selalu ingkar janji. Dan kejadian tersebut terus berulang sampai akhirnya ayah dan ibukupun tahu apa yang terjadi.
Akhirnya kami 5 bersaudara pun disidang oleh orang tua kami, ayahkupun akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan pengganti dari uang yang Mbak Aik pinjam dari kami. Tapi dengan syarat, uang saku Mbak Aik pun akan dikurangi tiap bulannya, sampai pinjaman tersebut lunas. Dan Mbak Aik pun setuju dengan syarat yang diajukan oleh ayahku.
Kondisi Mbak Aik yang Memburuk
Waktu terus berlalu, dan tingkah Mbak Aik pun tidak berubah malah semakin menjadi karena pergaulan dan kebutuhan yang semakin tinggi sejak kita mulai duduk di bangku kuliah. Padahal ayahku pun juga sudah menaikkan uang saku kita disesuaikan dengan kebutuhan barang-barang yang semakin tinggi harganya.
Begitulah, sampai akhirnya ke-3 saudaraku yang lain sudah tidak ambil pusing dengan tingkah Mbak Aik yang semakin parah. Hanya aku yang masih mau mendengar keluhan Mbak Aik, walaupun sebenarnya dalam hati kecilkupun aku sudah sangat sakit hati dengan kelakukan Mbak Aik. Tapi aku selalu tidak tega setiap kali melihat kesedihan kakakku, akhirnya aku selalu meloloskan permintaanya.
Kata maaf yang selalu terucap dari Mbak Aik sepertinya meluncur begitu saja tanpa diikuti dengan perubahan tingkah laku Mbak Aik kearah yang lebih baik. Kata maaf dari Mbak Aik bukan didasarkan pada penyesalan tetapi lebih didasarkan pada kebutuhan dia, agar dikasihani dan bisa mendapatkan lagi apa yang dia inginkan. Mbak Aik pun sering membohongi ayah dan ibuku, walaupun tahu ayah dan ibuku tidak bisa mengambil tindakan apapun. Hal ini dikarenakan sikap Mbak Aik yang memang tidak menunjukkan adanya perubahan.
Hari terus berganti sampai akhirnya ibuku meninggal, sekarang hanya ayahku yang menjadi tempat pengaduan Mbak Aik. Satu per satu kami akhirnya mendapatkan jodoh hidup kami masing-masing setelah menyelesaikan kuliah kami. Begitupun Mbak Aik, yang telah bekerja di suatu perusahaan batik terbesar di Solo, Jawa Tengah. Sementara aku bekerja di suatu lembaga penelitian ternama di Jakarta.
Kami lima bersaudara terpisah oleh jarak, karena hampir kami berlima tersebar di beberapa daerah. Mbak Aik menikah dengan teman kerjanya dan dikaruniai 2 orang anak, dan aku menikah dengan seorang wiraswasta dan mempunyai 2 orang anak juga. Di awal kehidupan kami semua berjalan lancar, masing-masing hidup dan membina rumah tangga dengan keluarga. Aku pun merasa bahagia akhirnya Mbak Aik bisa hidup lebih baik. Tetapi ternyata aku salah besar, Mbak Aik masih seperti Mbak Aik yang dulu. Karena tidak mampu mengurus anak, maka anaknya yang pertamapun ditinggal di Semarang bersama dengan kakeknya, yaitu ayahku.
Advertisement
Maaf yang Terakhir
Pada awalnya tidak ada masalah semua biaya sekolah anaknya selalu Mbak Aik rajin untuk mengirim uang ke ayahku, tetapi kembali lagi lama kelamaan mulai tidak mengirim uang sekolah anaknya. Dan seperti biasa, ayahku hanya bisa terdiam. Akhirnya kakakku yang pertama dan kakakku yang kedua lah yang ikut membantu meringankan beban ayahku yang sudah pensiun. Karena Mbak Aik sering kali bisa jika aku ajak omong, maka aku berusaha untuk menyadarkannya. Padahal aku pun juga tak luput terkena permintaan pinjaman uang yang tak pernah dikembalikan. Untung suamiku baik, jadi dia tak pernah marah bahkan sering kali aku disuruh untuk mengikhlaskan pinjaman uang Mbak Aik.
Keadaan kehidupan Mbak Aik semakin parah sejak suaminya meninggal. Mbak Aik pun terkena masalah di perusahaan batiknya hingga akhirnya Mbak Aik keluar dari perusahaan tersebut dan memutuskan kembali ke Semarang di rumah ayahku. Mbak Aik bilang ingin memulai hidup baru yang lebih baik dengan anak-anaknya. Mbak Aik melamar pekerjaan di konveksi besar di Semarang dan diterima karena memang sebenarnya Mbak Aik punya keahlian di bidang garmen.
Keadaan Mbak Aik semakin parah sejak ditinggal ayahku karena sakit. Dan puncak dari kehidupan Mbak Aik, diterimanya kabar dari dokter yang menyatakan bahwa Mbak Aik terkena kanker rahim stadium 4. Innalillahi, Mbak Aik tak kuasa menahan tangis dan penyesalan yang begitu dalam.
Hari-harinya dilalui dengan berobat dan keluar masuk rumah sakit, hingga akhirnya Mbak Aik pun mengatakan bahwa dia sudah tak sanggup lagi meneruskan pengobatan sakitnya tersebut. Kami empat bersaudara bergantian untuk menjenguk dan menunggui , akupun tak tega melihat kondisinya. Setiap saudaranya datang, yang terucap dari Mbak Aik hanya permintaan maaf atas kelakuannya pada saudara-saudaranya selama ini. Dan Mbak Aik tidak akan berhenti memohon maaf dari kami sebelum kami terlihat ikhlas memberikan maaf untuknya.
Mbak Aik benar-benar memohon maaf agar jalannya menuju sang Pencipta ringan. Kami berlima pun saling bertangisan, dan kami ikhlas memberikan maaf terakhir untuk Mbak Aik, agar diringankan jalannya. Selamat jalan Mbak Aik, semoga taubatmu diterima oleh Allah SWT. Aamiin.
Simak Video di Bawah Ini
#GrowFearless with FIMELA