Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.
***
Oleh: Budi Rahmah Panjaitan - Medan
Advertisement
Teman-teman, mari dengar ceritaku, simaklah perlahan.
Mimpiku memang terlampau banyak. Buku setebal 200 lembar tidaklah cukup untuk menuliskannya. Aku masih membutuhkan banyak lembaran lagi hingga detik ini. Ya, itulah aku yang notabennya seorang pemimpi. Mimpiku sederhana, mungkin hampir sama dengan anak-anak SMA seusiaku. Kami memaknai mimpi sama dengan cita-cita. "Kalau udah gede, kamu mau jadi apa?" demikianlah yang kuanggap sebagai mimpi. Ketika pertanyaan itu keluar, maka mimpilah yang akan memberi jawaban.
Aku terlahir dari keluarga sederhana, tapi mimpiku tak sesederhana keadaanku. Sudah kujelaskan bahwa aku adalah pemimpi. Ratusan persen semangat telah kupersiapkan untuk mimpi-mimpiku.
Bicara soal mimpi tadi, aku akan jelaskan padamu teman-teman. Aku bercita-cita menjadi seorang abdi negara. Ya, lebih tepatnya Polwan karena aku seorang wanita. Menurutku itu pekerjaan mulia. Bermanfaat bagi orang lain, penuh ketegasan dan bekerja untuk negara.
Untuk mewujudkan cita-citaku itu, sejak kelas 6 SD, aku tidak pernah absen mengikuti ekstrakurikuler maupun kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan olah fisik. Menurutku, itu akan sangat membantu ketika waktunya tiba bagiku untuk ikut seleksi.
Ya, mungkin saja benar. Aku semakin dekat dan mengenal orang-orang yang sudah menggapai mimpi yang sama denganku. Saat aku mengikuti pelatihan pramuka, paskibra dan lainnya, aku banyak bertemu dengan mereka. Kesempatan luar biasa yang tidak akan pernah kusia-siakan.
Abah, sosok yang seyogyanya adalah orangtuaku selalu memberi dukungan akan itu. Aku belajar banyak darinya, bahwa mimpi adalah benih yang akan tumbuh menjadi keberhasilan. Mimpi tidak akan pernah mati selama kita mampu memberinya dorongan berupa usaha dan semangat. Gagal, bangkit lagi, gagal, coba lagi, gagal jangan pernah berhenti. Itulah prinsip dan semangat dari abah yang selalu kupegang.
Mimpiku Mulai Mendekat
Dengan semangat, hari ini aku bergegas ke sekolah. Saat ini aku sudah beranjak kelas XII. Artinya, sebentar lagi aku sudah akan menyelesaikan studi menengah atasku. Kuambil ranselku, kutatap wajah abah dan ibu sembari mencium tangan mereka dan memohon restu agar hariku di sekolah menyenangkan. Tidak lupa, kuelus kepala si bungsu, adikku satu-satunya yang masih mengenakan pakaian putih merah.
Aku semakin semangat karena Sabtu kemarin, Kepala Sekolah memberitahukan kalau Senin hari ini akan ada kunjungan dari kepolisian untuk memberikan sosialisasi dana arahan terkait pendaftaran calon taruna baru di kepolisian. Aku merasa bahwa ini adalah gayung bersambut. 0% pesimis, itulah penanda bahwa semangatku 200%.
Tibalah saat yang kunanti, anggota kepolisan yang berhadir memberikan arahan, sosialisasi terkait dengan penerimaan taruna baru. Beragam persyaratan sudah kudengarkan secara lisan. Bahkan ketika diberi kesempatan bertanya, aku tidak segan-segan mengacungkan tangan. Ya, itulah aku.
Pada hari itu juga, kami yang memiliki keinginan menjadi taruna baru di kepolisian diberi kesempatan untuk mengisi formulir pendaftaran. Tidak lupa, secarik kertas berisikan persyaratan pun sudah diberikan. Kubaca satu persatu, alhamdulillah, menurutku tidak ada yang tidak bisa kupenuhi. Apalagi persyaratannya masih menyangkut dokumen dan fisik.
Latihan yang sudah kujalankan selama ini memang sudah membuatku menjadi anak perempuan tangguh. Soal ketahanan fisik dan kepemimpinan, kata mereka aku nomor satu.
Advertisement
Mimpiku Menjadi Buruk
Sungguh, ini hari baik. Tiada mendung, apalagi gerimis. Tiada murung, apalagi menangis. Semua baik-baik saja.
Sambil meyusuri jalan pulang, aku tersenyum bahagia. Eh, tiba-tiba ada Wita, dia teman di sekolahku. Tepatnya teman satu ekstrakurikuler. "Hei," ujarnya, aku langsung tersentak. "Eh Wita, kirain siapa.
"Kamu bawa raketnya? Aku turnamen nih hari ini". Sambil menepuk jidat, "Astaghfirullah, raketnyaaaa, raketnyaa," "Kenapa?" ujar Wita. "Raketnya ketinggalan Wit, maafin aku ya, aku jemput deh sekarang." "Yaaa, yang benar kamu? Aku turnamen hari ini lho, ah, masa ketinggalan sih?" jawab Wita dengan nada kesal. "Sorry Wit aku jemput ya sekarang, kamu jam berapa turnamennya?" "Iiih, 2 jam lagi nih, entar aku telat, buruan deh sana," ujar Wita.
Aku pun melihat ada angkot yang melaju dari jauh. Ya, itu adalah angkot menuju rumahku. Sambil melambaikan tangan supaya angkotnya berhenti, aku berpamitan dengan Wita. "Wit, aku duluan ya, aku bakal balikin raket kamu, aku jemput dulu." Namun entah apa gerangan tiba-tiba ketika angkotnya hampir berhenti dan mulai melambat ke arahku, Wita tiba-tiba melakukan dorongan dari belakang yang membuatku terserempet angkot tersebut. Sontak aku tersungkur dan dunia terasa berbalik saat itu. Pemandangan terasa gelap. Ketika membukakan mata, aku sudah berada di tempat yang berbeda. Ya, tempat itu tidak lain adalah rumah sakit. Tempat yang tentu saja tidak kuinginkan.
Namun satu hal yang saat itu aneh kurasakan. Ada rasa sakit luar biasa di bagian kakiku. Aku tak bisa menjelaskannya lebih detail, tapi sakitnya luar biasa.
Untuk mengetahui kepastiannya, dokter pun memberi penjelasan bahwa temanku bernama Wita lah yang membawaku ke rumah sakit. Seluruh biaya perawatanku pun sudah dibayar olehnya. Namun tidak kutemukan saat dokter menjelaskan itu padaku. Pikirku, dia masih marah atas kejadian tadi karena aku sudah meninggalkan raket miliknya.
Setelahnya, dokter mulai menjelaskan hal lain, ya, sebuah hal yang berkenaan dengan keadaanku.
"Benturan di kaki kamu cukup parah sehingga konsekuensinya harus sama-sama kita terima ya, Dik, " kata dokter padaku.
"Konsekuensi apa itu, Dok? " jawabku
Belum sempat dokter menjawab, ternyata kedua orangtuaku sudah sampai di rumah sakit untuk melihat keadaanku. Abah dan ibu pun langsung memelukku dan menanyakan keadaanku.
Aku hanya berusaha membuat mereka supaya tidak khawatir dengan mengatakan, "Aku baik-baik saja kok Bah, Bu, jangan khawatir," jawabku lirih sambil menahan sakit di bagian kakiku.
"Boleh saya lanjutkan bicara?" ujar dokter. "Boleh-boleh dok, silakan," jawab abah dan ibu.
"Sebelumnya, saya minta maaf ya, pak, bu, dik, harus mengatakan hal ini. Usaha maksimal sudah kami lakukan. Tapi apa yang telah menimpa adik ini memiliki konsekuensi yang mengakibatkan kakinya pincang."
"A... a...pa, Dok?" ucapku tak kuasa menahan tangis.
"Abah, Ibu, dokternya bohong kan baah, ibu, huhuhu," tangisku semakin pecah.
Aku melihat abah berjalan menghampiri dokter dan membicarakan sesuatu di sudut ruangan. Sementara ibu terus menenangkanku.
Kesudahan Dari Mimpiku
Keesokan harinya di sekolah, setelah seminggu aku libur.
Hari ini aku bersekolah dengan keadaan baru. Kulihat cermin, aku harus menggunakan alat bantu berdiri sebelum cederaku sembuh total. Kalaupun sembuh, kepincangan di bagian kaki adalah takdirku.
Aku mencoba tersenyum di balik kerapuhan hatiku. Sembari melihat cermin, kulihat abah menghampiriku dari belakang. Abah mencoba membalikkan tubuhku dan menatap wajahku.
"Nak, Abah sangat bangga dengan mimpi-mimpimu, Abah bangga kamu sudah menunjukkan usaha yang sangat keras selama ini. Tapi, ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan ya, Nak. Jikalau diberi nikmat, maka bersyukurlah, kalau itu musibah, bersabarlah. Dan satu hal lagi, jikalaupun ada yang kita rasa keterlibatan sesorang dalam musibah yang kita dapatkan, maka maafkanlah. Itulah yang lebih baik dan mulia di mata Tuhan. Anak Abah tidak berarti lemah hanya karena memilih untuk memberi maaf kepada mereka yang sudah berbuat hal yang membuat anak abah seperti ini. Yakinlah Nak, Tuhan punya skenarionya sendiri. Ada hikmah terbaik yang Tuhan siapkan di balik ini semua".
Sambil mengangguk dan tak kuasa menahan air mata, aku memeluk abah. Orang yang selalu menguatkanku bagaimanapun dan apapun yang terjadi. Aku tak tau seberapa tulusnya hati abah.
Setelah itu, aku pun bergegas mengambil semua peralatan sekolah dan bersiap untuk diantar abah ke sekolah. Penampilanku hari itu berbeda dengan sebelumnya. Ya, cara berjalanku tidak lagi normal. Di tengah perjalanan, tanpa sepengetahuan abah, tanpa sadar aku menetaskan air mata. Ingin rasanya aku curhat dan bercerita lebih lama dengan abah. Tapi, aku tau abah tidak ingin melihat putri cantiknya ini menjadi seseorang yang lemah. Kuhapus air mataku dan sembari aku mendekap abah.
Sesampainya di sekolah, teman-temanku pun langsung menghampiriku. Mereka terlihat kaget dengan kondisiku. Dengan ikhlas aku melempar senyuman kepada mereka. Tidak ingin aku menceritakan apa yang terjadi, apalagi siapa yang sudah berbuat ini kepadaku. Seperti kata abah, ini sudah menjadi skenario Tuhan. Tidak ada yang bisa disalahkan.
Wita menghampiriku.
Waktu istirahatpun tiba, aku pun memilih untuk beranjak dari kelas menuju taman sekolah. Ya, disana ada sebuah bangku yang bisa diduki oleh beberapa orang. Kebetulan sunyi. Tidak lupa aku membawa buku catatan mimpi-mimpiku. Mungkin kali ini aku harus melupakan semuanya dan mengukirkan mimpi baru, pikirku.
Aku pun duduk sembari membuka buku catatan mimpi yang sudah kubawa. Di lembar pertama, langsung kulihat tulisan yang isinya kata-kata semangat menjadi seorang peraih mimpi. Di situ ada nama-nama yang kuperjuangkan, abah, ibu, adik. Tidak kuasa, aku pun meneteskan air mata. Belum sempat tetesan itu jatuh ke buku, tiba-tiba ada yang menampung air mata itu dengan sebuah sapu tangan berwarna putih. Aku pun langsung melihat ke atas, dan ternyata ada Wita.
Kulihat matanya sembab, matanya berlinang. Belum sempat aku mengatakan apapun, dia langsung bersujud di kakiku. “Wit....a...apa yang kamu lakukan ini?” ujarku. Saat itu juga tangis Wita pecah dan memeluk erat tubuhku. “Aku...aku...minta maaf, aku salah besar,” ucapnya sambil sesenggukan. Sungguh aku tak pernah melihat Wita serapuh itu. Kemudian dia melanjutkan bicaranya lagi, “Kalau saja aku nggak mendorong kamu, ya mungkin mimpi-mimpi dalam catatan kamu akan terwujud,” ucapnya kembali sambil menangis tiada henti.
Saat itupun aku menunduk. Ya, tidak bisa dipungkiri, sebanarnya ada rasa marah, kesal, sedih, kecewa. Semua campur aduk. Kulepaskan dekapannya, dan kupegang kedua bahunya sambil menatap matanya. “Aku tidak diajarkan untuk tidak memberi maaf Wit, mimpi memang besar, tapi kata maaf untukmu harus lebih besar. Tuhan sudah mengatur semuanya, ini jalanku dan aku yakin ini bentuk keadilan Tuhan. Mungkin nggak sekarang aku tahu apa hikmah di balik ini semua, tapi ya, nanti pasti ada,” ujarku.
Mendengar ucapanku itu, Wita pun langsung terisak tangis sembari memelukku.
Ya, hari itu, aku dan Wita bisa saling berdekapan. Dengan menghilangkan semua rasa marah, kesal, meskipun ada sedikit kesedihan. Ya, wajar, seorang manusia. Ini semua tidak terlepas dari apa yang telah abah ajarkan kepadaku. Mimpi kita memang besar, tapi stok maaf untuk kesalahan orang lain harus lebih besar, sebab di sanalah Tuhan bisa menilai bahwa manusia bukan hanya mengejar mimpi-mimpi dunianya namun juga mimpi-mimpi akhirat dann urusan dengan Tuhannya.
Jangan pernah merasa lemah hanya karena engkau memberi maaf.
Memafkan adalah bentuk kekuatan sesunguhnya di mata Tuhan.
Tidak semua orang bisa melakukannya.
Kau mulia, kau kuat.
Penilaian Tuhan lebih baik dari penilaian manusia.
Advertisement
Simak Video di Bawah Ini
#GrowFearless with FIMELA