Sukses

Lifestyle

Terkadang, yang Kita Cintai Bukanlah Orang yang Tepat untuk Kita

Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.

***

Oleh: Dewi Triana Sari - Sorong

Kita pernah begitu bahagia melangkah bersama dalam satu irama, menjadi bait dalam nada yang menggema di dalam dada. Kita pernah terhempas bersama, terpisah jauh dari jarak dan waktu. Tapi kita satu. Mimpi kita satu.

Setelah empat tahun berjalan, segala upayaku untuk meyakinkanmu dengan segala apa yang kualami seolah terabaikan begitu saja. Kamu belum juga bisa memberikanku jawaban selain yang itu-itu saja. Kamu selalu tutup mata dan tidak mau menerima keluhanku tentang kondisi keluargaku dan malah kamu selalu menyalahkanku. Sampai akhirnya di tahun terakhir kita akan menikah, dengan lantang kamu memberikan pernyataan yang tidak pernah sama sekali kuduga itu keluar dari mulutmu sendiri.

“Setelah menikah, pokoknya kamu nggak boleh kerja lagi! Kamu di rumah aja ngurusin aku dan anak-anak kita! Aku nggak mau anak-anak aku dijagain sama Mamaku. Mamaku sudah tua. Kamu harus nurut sama aku. Lagian, kamu sebagai wanita nggak wajib ngasih ke orang tuamu lagi. Lepas nikah sama aku, lepas juga tanggung jawab orang tuamu. Kamu jadi tangung jawabku sepenuhnya. Kalau aku laki-laki, kepala keluarga. Jadi masih jelas punya tanggung jawab ke orang tuaku. Udah cukuplah kamu kerja selama empat tahun ngasih ke orang tuamu setiap bulan. Lagian saudara kamu juga banyak, emang mereka nggak pada kerja? Keenakan dong nanti jadi bergantung terus sama kamu."

Mungkin kamu pernah berpikir kalau aku ini bukan wanita yang baik, dengan embel-embel nggak mau nurut, memikirkan diri sendiri, mementingkan karier. Tapi kamu nggak sadar kalau perlakuan kamu ke aku jauh tidaklah baik meskipun selama ini kamu selalu baik.

 

Suami yang Kubutuhkan

Sebagai wanita, aku tahu hukum setelah menikah tentu aku harus patuh dengan suamiku. Tapi bagaimana dengan perasaan orang tuaku yang sudah melahirkan dan membesarkanku bahkan menjadi supporting system untuk bertemu denganmu? Bagaimanapun, aku ini seorang anak yang jelas merasa kasihan jika melihat kedua orang tuaku susah. Jangankan empat tahun aku memberikan hanya setengah dari gajiku, seumur hidup aku menjadi budaknya tanpa dibayar tetap tidak akan pernah cukup untuk menebus utang-utangku padanya. Dan aku tidak akan pernah memilih lelaki yang keras kepala, tidak bisa diajak kompromi, ingin selalu dituruti perkataannya padahal apa yang kamu katakan belum tentu baik untuk semua orang.

Aku butuh suami yang bisa diajak bermusyawarah dan bijak dalam mengambil keputusan. Aku butuh suami yang berorientasi ke depan. Bergerak maju. Nggak harus mapan sekarang, karena banyak laki-laki mapan tapi nggak punya orientasi ke depan. Kamu butuh empat sehat lima sempurna untuk bisa paham seperti ini.

“Menyesal karena diam, hanya sekali. Menyesal karena bicara, seribu kali." Benar jika tidak ada baiknya diam menyangkut pengetahuan dan tidak ada baiknya berbicara berdasar ketidaktahuan. Diam pada tempatnya baik dan berbicara bila dibutuhkan wajib. Tapi ini bukan soal prestasi atau semacamnya, bukan juga urusan pekerjaan. Tepatnya, ini urusan hati dan harga diri.

Ya, perihal hubungan kita yang bukan hanya jarak yang terlampau jauh sampai tidak bisa ditebus dengan smartphone apa pun, melainkan ribuan doa dan sebuah janji. Tapi juga perihal cara berpikirmu yang jauh dari kata bijak dan kata-katamu yang membuatku benci yang tak bisa ku terima dengan baik. Sehingga memaksamu tetap tinggal dan menepati janji justru akan menghidupkan benih-benih luka baru yang akan tumbuh lebih cepat dari kematian hubungan kita.

Aku mengutuk dirimu. Aku berjanji tidak akan pernah mau menikah denganmu. Aku sangat membencimu kali ini. Benar-benar tak ada lagi kebaikan-kebaikanmu yang aku ingat. Mungkin, sudah saatnya aku menyudahi buhungan kita dengan amat menyedihkan ini. Atau mungkin ini adalah cara Tuhan menunjukkan kalau orang yang amat aku cintai bukanlah orang yang tepat untukku. Kamu baik selama ini. Tapi kamu harus tahu kalau akhlak seseorang tidak hanya digambarkan dengan kata “baik”, kamu cukup baik, tapi kata “baik” itu luas. Seperti aku yang mencari suami “baik” dalam ibadahnya, bertanggung jawab, menghargai cita-citaku, bisa memimpin keluarga, sayang sama aku dan juga orang tuaku. Kamu tidak akan pernah menjauhkan hubunganku dengan orang tuaku karena itu akan membuat aku dilema antara patuh denganmu atau keluargaku.

Bahagialah Selalu

Sembilan bulan berjalan dengan rasa benci yang begitu besar, pelan-pelan aku sudah mulai melupakannya. Selayaknya manusia lainnya yang memiliki cinta begitu besar. Aku sudah bisa memaafkanmu karena aku pernah begitu ingin memilikimu. Semua kesalahan yang kamu lakukan baik dulu maupun saat ini, aku tak pernah sedikitpun mengungkitnya. Aku menerima dirimu sebagai manusia biasa yang memang tempatnya salah. Menangkap kembali bayangan kebaikan-kebaikanmu yang berkelebatan setiap kau melakukan kesalahan. Karena setiap bingkai-bingkai kehidupan yang ku isi dengan wajah-wajah baru di muka bumi ini, aku harap ia selalu bercerita tentang hal apa saja yang menyenangkan. Walaupun yang terjadi tidak selalu demikian.

Aku hanya perlu jujur pada diriku sendiri untuk mengukur seberapa besar efek masalah itu jika aku tidak segera menyelesaikannya. Mungkin aku akan memulai langkah baru. Bertanya apa saja termasuk, “Bagaimana cara menemukan alat pengukur kehidupan agar akurasi dan presisi? Kenapa? Untuk apa? Mau dibawa ke mana?" Aku akan menggunakan teori timbang menimbang untuk memutuskan setiap permasalahan. Mengingat perasaan hati ini perlu dipertimbangkan, meskipun di dalam suatu hubungan kita tidak bisa melihat baik buruknya dan untung ruginya. Mengalami bahagia dan sedih secara bergantian sekaligus bersamaan tetap manusiawi sebagai makhluk Tuhan yang diberikan hati dan perasaan.

Dulu bersamamu, bukan aku tak bahagia, aku lupa rasanya menjadi berharga. Mungkin itu sebabnya aku tak bisa kembali bersamamu. Walau terkadang, sebenarnya hatiku masih menerima. Namun logikaku selalu bertanya “untuk apa?” Setiap yang mencintai tidak akan mencela, sekalipun tidak pernah memuja.

Sekarang, aku sudah terhapus oleh manusia baru yang menggantikan posisiku disana. Dan kini aku tahu, hari perpisahan yang sesungguhnya ialah bukan kita terpisah jarak, ruang, dan waktu. Tetapi perpisahan yang sesungguhnya ialah ketika kita sudah saling menemukan. Selamat berbagi debar dalam sabar. Dengan seseorang yang sudah pasti baik untukmu. Doaku, bahagialah selalu.

 

Simak Video di Bawah Ini

#GrowFearless with FIMELA

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading