Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.
***
Oleh: Ulfi Wening - Purwokerto
Advertisement
Andai manusia diciptakan tanpa keberagaman, dari pemikiran, keingian, kemampuan, sampai pencapaian yang sama. Misal manusia diciptakan tanpa perbedaan, tidak ada perseteruan, tidak perlu saling memaafkan, karena semua satu rasa. Dunia tidak akan seramai ini. Tidak ramai dari rasa iri, sepi dari rasa ingin menguasai, tak perlu ingin diketahui, semua tidak jadi senikmat saat ini.
Aku, salah satu manusia yang hidup dalam dunia kita yang penuh cerita. Aku, adalah sainganmu. Mungkin bisa jadi kawan, lain kali menjadi lawan. Aku, mati-matian mencari pengakuan dari kamu dan teman-temanmu. Mengikuti arus ketenaran dari postingan sosial media, sampai menghabiskan waktu mencari pekerjaan yang bisa dielukan.
Waktu
Dulu, kita semua memulai dengan cara yang sama. Lahir dari sosok ibu, kemudian tumbuh, belajar, mengamati sambil sedikit-sedikit memahami, sampai kita sama-sama merasa siap hidup mandiri. Waktuku dan kamu dari lahir sampai di usia saat ini jumlahnya sama. Dua puluh lima tahun tidak kurang dan lebih adalah jumlah tahun dari kumpulan bulan, minggu, dan hari yang sama. Dua puluh empat jam dalam satu hari kita memiliki jumlah menit dan detik yang sama. Tapi mengapa engkau berbeda? Aku melihat kamu dan teman-temanmu menjalani hidup yang jauh berbeda denganku. Apa yang salah? Waktu kita sama.
Advertisement
Peristiwa
Pada usiaku saat ini, peristiwa yang kulihat tidak lagi jadi sorotan sesaat. Update kehidupanmu dan teman-teman jadi perbincangan. Karier yang berhasil kau raih, satu per satu prestasi yang kau dapat, sampai berita perjalanan wisatamu pun jadi ambil bagian dalam otakku. Awalnya aku tidak pernah peduli. Toh kita memang sudah mengambil jalan masing-masing. Aku percaya Tuhan sudah membuat ratusan cerita untuk setiap manusia, jadi aku nikmati saja. Selama hidupku baik-baik meski tidak semenarik milikmu, aku masih bisa bersyukur. Pelan-pelan aku nikmati hidupku sendiri.
Sampai tidak lama kemudian, ujian datang. Bukan hanya dari satu sisi, tapi datang bertubi-tubi. Kamu mungkin tidak tahu bagaimana aku menerima cobaan kerja, keluarga, pertemanan, sampai pasangan. Penuh rasanya. Sekali sampai beberapa kali topik bunuh diri sudah biasa mampir dalam hati. Dari sini aku jadi tahu wajar rasanya orang menjadi gila. Depresi itu nyata dan menyerang tanpa kenal latar belakang. Aku terpuruk sampai jauh dan tidak ada lagi celah untuk melihat hal baik. Aku benci diriku sendiri. Aku semakin benci ketika melihatmu dan orang-orang itu semakin jauh dari kesusahan. Menjadi gila atau mati jadi pilihanku kala itu.
Penyesuaian
Setiap hari aku mencari sisi mana yang berjalan salah, bagian apa yang tidak sesuai dengan rencana. Satu persatu aku salahkan, kebanyakan mengarah pada kumpulan tindakan dan keputusan yang tidak tepat. Rasanya semuanya berasal dari pikiranku yang bodoh. Bodoh untuk tidak menjadi sedikit lebih cerdas dan hati-hati. Bodoh untuk pernah merasa betapa benarnya diriku kala itu. Sekarang mau semua orang aku salahkan, pun tidak akan mengubah keadaan. Hal paling terakhir yang tidak pernah aku pikirkaan saat itu adalah, memaafkan aku.
Advertisement
Titik Balik
Bagiku obat depresi bukan sekadar tentang pengakuan dan apresiasi. Semua tentang aku dan diriku. Pelan-pelan aku susun lagi hidupku yang hancur berbekal hati damai dari memaafkan diri sendiri. Awalnya susah mengakui semua kebodohan yang sudah dibuat, apalagi memberinya maaf. Rasanya tidak pantas sosok ini dimaafkan karena sudah menghancurkan hidup. Rasanya tidak adil kalau hanya diriku yang dituduh bersalah, mereka yang terlibat juga pantas diminta pertanggung jawaban. Demikian pikirku kala itu. Sampai akhirnya, tidak ada lagi yang menurutku mampu menolong jika bukan diri sendiri. Akhirnya pilihan terakhir itu jadi obatku. Aku memaafkan diriku.
Aku mengakui kesalahanku. Aku memaafkan semua keputusan tidak tepat yang pernah dibuat. Aku memaafkan kemunculan emosi yang tidak nyaman. Aku memaafkan kebodohan dan sikap yang pernah salah. Aku memaafkan pernah membenci diriku. Aku memaafkan diriku untuk menolong aku.
Lambat laun berbekal penerimaan dari memaafkan, aku kembali membangun diriku yang pernah hancur. Aku mencoba bersahabat dengan diriku kembali. Lain kali jika di depan ada peristiwa yang tidak membahagiakan lagi, hal pertama yang akan aku lakukan adalah, memaafkan aku.
Kamu, sudahkah memaafkan dirimu?
Simak Video di Bawah Ini
#GrowFearless with FIMELA