Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.
***
Oleh: Ummi Muizzah
Advertisement
Ini adalah secuil kisah tentang seorang anak perempuan dari keluarga yang kurang mampu tetapi punya mimpi yang begitu besar. Namaku Izza, aku adalah santri di salah satu pesantren salaf di daerah Rembang Jawa Tengah, sementara aku sendiri berasal dari desa Soko Medalem. Sebuah desa terpencil di pinggiran kota Tuban Jawa Timur. Aku sudah tiga tahun mondok di Rembang. Tiga tahun terpisah dari keluarga dan kampung halaman. Jarak yang cukup jauh dan biaya yang minim membuatku tak bisa leluasa pulang kapanpun aku ingin. Di tahun ketiga ini, tepat di bulan ramadhan, lagi-lagi aku hanya bisa mengucapkan selamat Ramadan kepada bapak dan ibuk lewat telepon. Ada jutaan rindu yang berkecamuk, saat suara parau ibuk terdengar bersahutan dengan suara angin sore saat itu. “Nduk, kamu lebaran nanti pulang toh?” tanya ibuk. “Injih Buk, H-9 lebaran insya Allah Izza pulang,” jawabku. “Duwitmu masih kan Nduk? Bapak-ibuk gak punya duwit Nduk, dihemat ya uangnya, gak usah beli macem-macem, bapak-ibuk di rumah juga tirakat, ini aja ibuk cuma masak sambel, lagi hemat uang buat kamu balik pondok nanti,” jelas ibuk.
Mendengar nasihat ibuk, seketika air menetes pelan di pipiku. Ada penyesalan yang tak bisa kujelaskan dengan gamblang kepada bapak dan ibuk. Aku yang merupakan anak pertama harusnya menjadi tulang punggung, tapi hingga saat ini aku hanya masih meminta menunggu kiriman uang dari kampung. Aku tak bisa membayangkan kondisi mereka saat ini. Mereka makan seadanya demi aku di pondok tercukupi.
Aku jadi teringat adik perempuanku, dia adikku satu-satunya, Naila namanya. Aku ingat setahun yang lalu saat aku pulang, wajah mungilnya dengan manis memintaku menjahit lengan bajunya yang sudah sobek. Aku melihat kesemua bajunya, hampir kesemuanya sobek dan hanya tinggal beberapa saja yang masih terlihat bagus. Dari seberang sana ibuk memanggilku, “Nduk, kok diem kamu baik-baik saja kan, udah ya Nduk hati-hati di sana sing temenanan mondok dan kuliahmu,” kata ibuk. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan hingga telepon berakhir dengan salam.
Advertisement
Hanya Bisa Mendoakan
Sore itu Rembang yang begitu sepi mendadak terasa sesak. Bulir-bulir hujan jatuh bukan dari langit tapi mengguyur deras di pipiku. Aku ingin sekali lekas pulang, ingin mengecup kening keriput wajah bapak dan ibuk. Aku ingin menjaga mereka, menggantikan tugas mereka, meringankan beban hidup mereka. Satu persatu butir air mata tak henti menetes. Aku masih duduk di balkon kamarku, dari jauh aku melihat para santriwati yang dijenguk oleh keluarganya menjelang ramadhan, lagi-lagi bayangan bapak-ibuk juga adek memenuhi ruang pikirku.
Empat tahun yang lalu saat masih di rumah, setiap menjelang buka puasa, aku dan ibuk sibuk mengemas kerupuk, menata tempe dan makanan berbuka yang hendak kami jual. Bersama ibuk dan Naila kami menyusuri jalanan desa, menjajakan menu buka puasa. Naila saat itu nampak ceria meski dengan pakaian lusuh dan kedua tangan yang menggenggam kerupuk dan tempe. Ah, entah bagaimana dengan kondisi sekarang. Ibuk sudah tidak lagi jualan, karena harus merawat nenekku yang tidak bisa berjalan, satu-satunya tulang punggung keluarga adalah bapak.
Hingga malam menjelang, di seperempat malam, aku mengadu pada Tuhanku. Aku percaya bahwa Allah akan mengabulkan permintaan hamba-Nya yang meminta. Di seperempat malam ini, di bulan yang penuh berkah ini, aku memohon pada Ya Robb… ringankan beban keluargaku, berikan mereka kesabaran, keberkahan hidup juga kemuliaan. Ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku, dan masukkanlah mereka kelak di jannah-Mu. Barisan doa mengantarkanku terlelap di atas sajadah hingga fajar menjemput, terlintas wajah bapak, ibuk dan Naila tersenyum di hadapanku, hingga kusadar itu hanya mimpi.
Simak Video di Bawah Ini
#GrowFearless with FIMELA