Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.
***
Oleh: Hana Nugraheni - Surakarta
Advertisement
Move on adalah Cara Terbaik untuk Memaafkan
Menjalin hubungan dengan seseorang yang kita cintai pastinya punya keinginan yang tinggi untuk menuju ke arah yang lebih serius. Semua harapan dan impian sudah dirancang sedemikian rupa dan tinggal mewujudkannya saja. Kira-kira seperti itulah pemikiranku kala itu.
Mengenal dia yang dulu pernah menjadi teman saat duduk di bangku sekolah dasar, awalnya tidak pernah terpikir untuk bisa menjalin hubungan seserius itu. Dulu kita hanya sekadar teman satu kelas, teman bermain, dan teman belajar. Masa kanak-kanak kami saat itu tidak bisa menimbulkan pemikiran apapun kecuali hanya bersenang-senang.
Bermula ketika kami dipertemukan pada suatu acara reuni SD beberapa tahun silam. Bertemu dengan teman-teman lama apalagi yang kita kenal belasan tahun yang lalu, pastinya banyak yang berubah dari mereka. Banyak yang sulit untuk kukenali. Kecuali beberapa teman yang memang kebetulan masih berhubungan sampai sekarang.
Seorang teman memintaku berjabat tangan dengan seorang lelaki yang katanya dulu juga satu kelas denganku. Terus terang aku lupa-lupa ingat. Wajah yang kudapati saat itu sangat jauh berbeda dengan wajah ingusan yang dulu pernah menjadi teman bermainku. Begitu dia menyebutkan namanya, sedikit demi sedikit aku pun mengingatnya. Namun sungguh diluar dugaan. Seingatku lelaki itu dulunya kukenal sebagai anak yang pendiam dan cengeng. Penampilannya saat kecil juga masih culun. Intinya “gak banget” dibanding dengan transformasinya yang cukup membuatku takjub.
Tubuh jangkung dengan kulit terawat ditambah gaya stylish masih membuatku tidak percaya dan terus mencoba mengingat sosok anak kecil yang dulu pernah kukenal. Memang sih saat masih sama-sama bersekolah dulu aku tidak begitu dekat dan jarang bergaul dengannya, jadi wajar saja kalau aku lupa dengan wajahnya. Apalagi sekarang sudah 15 tahun lebih. Tentunya banyak perubahan yang terjadi padanya.
Advertisement
Menerimanya sebagai Kekasih
Aku mulai mengobrol dengannya. Membicarakan banyak hal yang kami lewatkan selama kami hilang kontak. Kurasa anak pendiam yang dulu kukenal sekarang sudah berubah menjadi lelaki yang menyenangkan, yang banyak bicara dan banyak pengalaman. Tidak kusangka sungguh mengasyikkan bercerita panjang dengannya.
Komunikasi kami tidak berhenti sampai acara reuni berakhir. Komunikasi kami terus berlanjut sampai minggu dan bulan berikutnya. Aku dan dia semakin mendapat kecocokan atas hubungan ini. Sesekali dia menyempatkan waktu mengunjungiku dan mengajakku keluar meski hanya sekadar makan. Padahal saat itu dia sedang menjalani kuliah di Jogya.
Rasa pedulinya padaku dan keberadaannya di sisiku meski saat aku tidak butuh membuatku berpikir apakah lelaki ini ada maksud tertentu terhadapku. Aku mulai kegeeran. Maklum saja aku orangnya baperan. Apalagi kalau dia mengutarakan kalimat-kalimat manis yang mampu mengutak-atik hatiku. Aku merasa seperti terbang saja.
Seiring bergantinya waktu, dia semakin menunjukkan sikap seriusnya padaku. Hingga suatu kali dia utarakan isi hatinya padaku. Dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Tak langsung kujawab, aku meminta waktu padanya untuk berpikir. Kuakui meski tumbuh rasa sayang dan nyaman, tapi aku tidak mau gegabah menentukan sikap padanya.
Dan akhirnya aku menerimanya menjadi kekasihku. Sejak hari itu aku merajut hari bahagia dengannya. Rasanya dunia ini milik berdua. Kami saling berbagi kasih sayang. Kami saling mendukung satu sama lain. Di saat sedih dan jatuhku dia selalu menopangku. Begitu juga sebaliknya, di saat dia membutuhkanku, aku selalu ada untuknya.
Menginginkan Kepastian
Hubungan kami pun berjalan hampir satu tahun. Sebagai perempuan pastinya aku menginginkan kepastian akan hubungan ini. Masih harus menunggu apalagi, toh usia kami sudah sama-sama dewasa. Akupun sudah bekerja walaupun mungkin dia belum mapan dan masih harus menunggu skripsinya selesai. Tapi paling tidak aku berharap aku diperkenalkan dengan keluarganya seperti dia yang sudah kukenalkan dengan keluargaku terlebih dahulu.
Suatu kali kami terlibat pembicaraan tentang masalah ini. Entah apa yang dia pikirkan saat itu namun ternyata dia menolak untuk mengenalkanku pada keluarganya. Aku sempat berpikir negatif atas semua ini. Namun ketika dia memberi alasan bahwa dia ingin menyelesaikan kuliahnya dulu dan mendapatkan pekerjaan, baru mengenalkanku dengan orangtuanya, aku mencoba memaklumi bahwa mungkin setiap orang mempunyai prinsip yang berbeda-beda meski kupikir prinsipnya kali ini terdengar aneh.
Aku mencoba bersabar dan bertahan dengan hubungan ini. Dengan setia aku mendampinginya mengejar cita-citanya. Aku tak henti mendorongnya untuk bersemangat menyelesaikan skripsinya. Aku selalu membantu setiap apa yang dia butuhkan. Bahkan untuk bolak balik ke Jogja pun aku lalui demi membantu dia dalam tugasnya. Semua ini kulakukan semata-mata karena aku juga ingin segera melihat dia lulus sarjana. Selain itu aku juga ingin segera memperjelas hubungan ini di hadapan orangtuanya.
Dua tahun pun berlalu tanpa kepastian aku akan dibawa ke keluarganya. Meski kadang ada rasa tidak sabar namun aku berusaha menahan, aku yakin dia tidak akan ingkar janji. Yang paling utama saat itu aku hanya ingin membuatnya segera meraih impiannya dan meyakini bahwa kehidupan kami kedepannya akan begitu indah.
Dua minggu sebelum sidang skripsi, rupanya masalah yang tidak pernah kami hadapi selama kami berpacaran pun muncul. Awalnya bermula dari masalah sepele. Tapi entah kenapa masalah itu semakin menggelembung dan menimbulkan amarah di antara kami. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk meminta waktu untuk break. Terus terang rasanya tidak adil bagiku, namun sebagai orang yang sangat menyayanginya, aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak mengganggu aktivitasnya selama dia menghadapi ujian skripsi.
Aku pun mendengarnya lulus dengan nilai yang bagus. Sayangnya aku mendengar itu bukan dari mulutnya sendiri. Tetapi justru dari grup WA. Padahal dulu dia pernah berjanji akan menjadikanku pendamping sidangnya dan akulah yang nantinya akan menjadi orang pertama yang mendengarnya lulus. Tapi semua tinggal omong kosong.
Advertisement
Dia Menikahi Perempuan Lain
Sejak hari itu dia mulai berubah. Segala macam bentuk komunikasi dariku tidak digubris olehnya. Sekalinya membalas hanya dengan balasan ringan saja. Kami menjadi seperti orang yang tidak saling mengenal. Dan di saat kebingunganku menghadapinya, aku mencoba menemuinya. Aku mengunjungi rumahnya namun dia malah mengusirku. Tapi tak lama kemudian dia menyusulku dan kamipun berbicara.
Sungguh di luar dugaanku bahwa malam itu dia meminta agar hubungan ini berakhir. Jujur aku tidak terima. Aku yang merasa tidak membuat suatu kesalahan selama kami berpacaran tidak ingin semua impian dan harapan yang sudah kuharapkan berakhir begitu saja. Namun dia tetap saja ngotot dan beralasan bahwa prinsip kami berbeda. Aku tidak tahu di mana letak perbedaan itu. Padahal kami sudah menjalaninya selama dua tahun. Ibarat kata aku sudah sangat memahaminya begitu juga sebaliknya.
Akhirnya aku mencoba ikhlas menghadapi kemalangan yang sedang kualami. Aku berusaha menghibur diri meski aku belum bisa melupakan. Kuakui aku masih sangat mencintainya. Apalagi dia adalah orang pertama yang aku seriusi untuk menjalin hubungan. Jujur setiap memori yang telah kami lalui tidak bisa menghilang begitu saja. Kadang aku berpikir bahwa aku tak akan sanggup menghadapi ini. Hang out bersama teman atau menyibukkan diri dengan kegiatan adalah obat sementara untuk rasa sakit yang kurasakan. Namun jika kesendirian tiba, semua keterpurukan itu akan hadir lagi. Belum lagi jika ditambah dengan pertanyaan orangtua yang sesekali menanyakan hubungan kami. Rasanya berat untuk menanggungnya sendiri.
Tak terasa dua tahun berlalu. Jujur sesekali aku masih memikirkannya, sesekali ingin menanyakan kabarnya. Namun dua tahun belakangan ini dia memang menarik diri dari segala macam bentuk socmed. Hingga suatu hari aku mendapati pesan DM di medsosku. Saat kubuka ternyata undangan pernikahan. Dan itu pernikahannya. Pernikahan orang yang masih sangat kucinta. Rasanya hancur sekali perasaanku dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa merenungi keadaan yang akhirnya menjadi seperti ini.
Di hari pernikahannya aku menguatkan hati agar bisa hadir untuk memberi ucapan selamat padanya. Aku mencoba meredam segala rasa kecewa dan sakit hatiku. Aku mencoba mengikhlaskan dan memaafkan segala kesalahan dan segala ketidakadilan yang sempat membuatku hilang arah. Aku kuatkan untuk memberinya selamat saat bersanding dengan pilihan hatinya.
Beberapa bulan berlalu setelah dia menikah dan akupun sudah kembali merajut masa depan. Dan baru kutahu, ternyata salah satu alasan yang membuatnya memutuskanku saat itu adalah ternyata orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami. Semua itu kutahu dari cerita salah satu sahabatnya yang peduli padaku. Ya, kembali ke masalah status sosial. Ya sudahlah tak masalah, toh aku sudah memaafkan semua yang mungkin telah membuatku terluka. Walau mungkin berat pada awalnya, namun move on adalah cara terbaik untuk bangkit dari keterpurukan. Dengan memaafkan, hidup ini akan kembali bermula dan yakinilah bahwa Tuhan sudah merencanakan yang terbaik bagi umat-Nya. Kita tunggu saja.
Simak Video di Bawah Ini
#GrowFearless with FIMELA