Fimela.com, Jakarta Punya pengalaman suka duka dalam perjalanan kariermu? Memiliki tips-tips atau kisah jatuh bangun demi mencapai kesuksesan dalam bidang pekerjaan yang dipilih? Baik sebagai pegawai atau pekerja lepas, kita pasti punya berbagai cerita tak terlupakan dalam usaha kita merintis dan membangun karier. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis April Fimela: Ceritakan Suka Duka Perjalanan Kariermu ini.
***
Oleh: Akhlaqul Karimah - Pamekasan
Advertisement
Sejatinya tidak pernah ada cinta yang salah, tapi semua yang bernama cinta memang selalu berada di luar logika. Demikian pula dengan kisah cintaku. 12 tahun mengabdi sebagai guru honorer di salah satu SMA negeri yang cukup favorit, Tuhan mengujiku dengan menghadirkan sosok rupawan bernama Dirga. Perawakannya jangkung dengan lengan berotot dan sepasang pipi sedikit tirus. Rambutnya ikal, berbelah samping dan sering kali kutangkap ada anak poni yang mengusik sebagian pandangannya.
Sosok Dirga mengingatkanku dengan Theo James, pemeran Tobias Eaton di film Divergent, lebih-lebih belakangan ini dia mulai memelihara kumis tipis agar terlihat lebih dewasa. Yah, usia biologis Dirga belumlah genap 18 tahun. Dirga adalah siswaku di kelas XII IPA 2, dan baru setahun terakhir kami mulai dekat dan menyadari keberadaan satu sama lain.
Semua berawal dari buku agenda yang tanpa sengaja kujatuhkan saat menjadi guru inval di kelas XII IPA 2. Aku yang kalang kabut mencari selama 2 hari, dikejutkan oleh kedatangan Dirga di rumah. Dengannya jujur saja aku sedikit asing. Dirga bukanlah sosok populer yang dikenal banyak guru, terlebih aku yang belum pernah sekalipun mengajar di kelasnya.
Dirga datang seorang diri ke rumah, memperkenalkan diri lalu mengembalikan buku agendaku dalam kondisi yang tak lagi utuh. Ada beberapa lembar yang hilang, halaman yang sengaja kuisi dengan barisan puisi dan quote-quote romantis. Sempat kumenuduh Dirga lancang, tapi Dirga mengaku menyukai apa yang kutulis dan memintaku untuk menulis lebih banyak. Entah apa maksudnya, tapi nyatanya permintaan bocah 18 tahun itu kuiyakan.
Kutulis banyak puisi romantis yang rutin diambilnya setiap Sabtu sore. Rutinitas yang kemudian menghadirkan perasaan yang berbeda tiap kali aku melihat Dirga di sekolah. Sulit kuterjemahkan dan terlalu prematur rasanya untuk mengatakan ini ‘cinta’, bahkan untuk sekadar perasaan simpati. Tapi yang pasti, sekali saja Dirga telat datang di Sabtu sore, aku mulai gelisah dan menduga-duga.
Selama ini aku tak pernah paham kemana puisi-puisiku Dirga bawa. Barangkali dia mau kirimkan ke media dengan menggunakan namanya, atau dia gunakan barisan puisiku untuk membuai hati gadis seumurannya, sedikitpun aku tak peduli. Penting buatku Dirga datang menemuiku di Sabtu sore. Rasanya memang janggal, mengingat siapa aku, siapa dia, dan bagaimana seharusnya kami bersikap sebagai guru dan siswa.
Takut sekali membayangkan bahwa kelak aku akan benar-benar jatuh cinta padanya, atau justru sebaliknya. Ini tabu, ini salah, dan logikaku sangat membenarkan itu. Tapi semua keraguanku berubah menjadi kepastian rasa, saat Sabtu sore di dua bulan lalu, Dirga datang tapi tidak lagi untuk meminta puisiku. Dirga justru mengembalikan semua puisi yang pernah kutulis untuknya yang sudah dibukukannya.
Dirga pamit, tegas mengatakan ini adalah Sabtu Sore terakhir dia datang menemuiku karena harus fokus dengan UNBK dan SNMPTN. Adalah rasa kehilangan yang sulit sekali kulatenkan demi melihatnya keluar dari halaman rumahku. Aku menangis, tangis yang tak kan pernah Dirga atau siapapun tahu. Dalam diam, sulit kuakui Dirga mulai menempati sebagian hatiku, dan nelangsanya aku menyadari bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan.
Aku adalah wanita 35 tahun, lajang, batal menikah, dan mulai merajuk dalam sepi. Kehadiran Dirga sedikitnya mengobati luka hatiku. Disadari atau tidak, Dirga membuatku berani merasakan kembali yang namanya kasmaran. Tapi kini tak lagi. Sadar dengan profesiku yang masihlah seorang guru honorer, aku memilih mengabaikan perasaanku padanya.
Saat Dirga sibuk dengan UNBK dan SNMPTN, aku putuskan untuk kembali menjadi guru yang profesional, mengejar peluang untuk menjadi PNS melalui jalur PPPK. Sepekan lalu, aku sempat bertemu dia, sempat mata kami bertaut, dan sempat Dirga menyapa. Tapi aku memilih bersikap dingin. Aku tak membenci Dirga, tidak juga menaruh dendam padanya.
Kedekatan kami berjalan tanpa komitmen, kalaupun harus ada komitmen, aku juga tak yakin bisa menjalaninya. Ini akan sangat beresiko, untuk karierku lebih-lebih untuknya. Terakhir kali mendengar kabarnya, dari Ridho teman sebangkunya. Dia bilang Dirga telah diterima di salah satu PTN di kota Malang. Dan yang membuatku terhenyak adalah pertanyaan polos Ridho, “Ibu kok nggak tahu Dirga kuliah di Malang? Dirga bilang kalian belum putus, cuma break sampai dapet ijazah, biar pacarannya nggak usah ngumpet-ngumpet lagi.” Nah lho, maksudnya apa?