Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya kekuatan untuk mengatasi setiap hambatan dan tantangan yang ada. Bahkan dalam setiap pilihan yang dibuat, perempuan bisa menjadi sosok yang istimewa. Perempuan memiliki hak menyuarakan keberaniannya memperjuangkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti tulisan dari Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Voice Matters: Setiap Perempuan adalah Agen Perubahan ini.
***
Oleh: Laila Nurjannah - Banjarnegara
Advertisement
Sejak kecil, aku sangat suka belajar. Aku suka sekolah, belajar, dan mengerjakan tugas–tugas sekolah. Minatku untuk belajar dimulai ketika aku berhasil menjuarai lomba berhitung antar siswa sekolah dasar tingkat kecamatan. Saat ditunjuk untuk mengikuti lomba tersebut (aku masih kelas 2 SD), guruku sepertinya hanya asal saja menunjukku. Bagaimana tidak, saat kelas 1 aku hanya mendapatkan rangking 9 dan masih banyak siswa lain yang mendapatkan peringkat lebih baik dariku. Guruku sepertinya juga tidak menyangka aku bisa juara dalam lomba tersebut.
Di tahun berikutnya, guruku kembali menunjukku untuk mewakili sekolah dan beruntungnya aku berhasil menjadi juara 1 lagi. Dua tahun berturut–turut aku mewakili kecamatanku. Sejak saat itu, aku berhasil masuk rangking 3 besar di sekolahku, bahkan aku berhasil masuk SMP favorit melalui jalur beasiswa. Sejak saat itu, keinginanku untuk belajar semakin menjadi. Aku bahkan lebih senang untuk belajar dan mengerjakan tugas–tugas di rumah dari pada bermain dengan teman–temanku di luar. Sejak saat itu juga, aku mulai bermimpi untuk bersekolah setinggi mungkin.
Itulah awal mulanya aku sangat suka belajar. Di SMP pun nilaiku tak begitu buruk. Aku sempat beberapa kali mendapatkan rangking 1 paralel di sekolah, bahkan saat Ujian Nasional, aku berhasil mendapatkan niilai tertinggi di sekolahku. Aku ingat betul, namaku dipanggil dan ibuku naik ke atas panggung. Dengan wajah berseri–seri, ia mengambil nilai ujianku. Aku memutuskan untuk masuk ke sebuah SMA yang tidak begitu favorit di kotaku. Aku memilih sekolah itu, karena aku digratiskan selama 3 tahun penuh dan jarak dari rumah ke sekolah tidak begitu jauh alias lebih hemat ongkos. Mengingat kondisi ekonomi keluarga yang tidak begitu baik, aku memutuskan mengambil beasiswa itu.
Kehidupan di SMA, jauh sekali dari apa yang aku bayangkan. Meskipun nilaiku masih tergolong baik, tapi suasana belajarnya jauh berbeda dengan sekolahku dulu. Ketika SMA, kondisi perekonomian keluarga memang benar–benar buruk. Bahkan aku bersekolah sambil berjualan pulsa, baju, dan juga peralatan sekolah lainnya kepada teman–temanku. Hasilnya lumayan, dan bisa aku gunakan untuk ongkos naik angkot sehari-hari. Terkadang ibu memberikan uang saku, terkadang juga tidak. Karena memang sama sekali tidak ada pemasukan dan hanya cukup untuk makan kami sekeluarga.
Ketika lulus SMA, aku mengikuti ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur beasiswa Bidikmisi. Namun, aku gagal. Aku harus mengubur impianku untuk kuliah saat itu juga. Saat itu aku benar–benar terpuruk. Sedih, malu, marah campur aduk jadi satu. Aku hanya bisa menangis dan mengurung diri di kamar. Ibuku sangat sedih melihat kondisiku saat itu. Bahkan ibuku pernah berkata, beliau akan menjual sawahnya agar aku bisa berkuliah di universitas swasta. Mendengar hal itu aku langsung bangkit dari keterpurukanku.
Langsung saja aku menolak dan mengatakan kepada ibuku bahwa aku akan bekerja saja. Bagaimana mungkin menjual sawah itu? Satu–satunya aset yang keluargaku punya. Jika sawah itu dijual, bagaimana kami makan setiap harinya? Satu hal lagi yang kuingat dan sangat menyesakkan dada adalah saat ibuku meminta maaf karena telah lahir dari orang tua yang tidak mampu. Saat itu juga, hatiku benar–benar sakit. Aku benar–benar menyesal telah menangis dan membuat mereka khawatir. Saat itu aku mulai bangkit dan mulai menata hidupku dengan mencari pekerjaan.
Ayahku bekerja sebagai tukang service elektronik, yang penghasilannya tidak menentu. Sementara ibu, seorang ibu rumah tangga biasa. Ayah dan ibuku sama-sama lulusan SMP. Kata ibuku, dulu, beliau sangat ingin melanjutkan sekolahnya ke SMA. Namun, karena tidak ada biaya beliau harus mengubur impiannya itu. Ibuku adalah anak pertama dari 9 bersaudara. Setelah lulus SMP, beliau memutuskan untuk bekerja dan membantu menghidupi adik–adiknya. Beliau pernah bekerja di pabrik jamur, beliau juga pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Dulu, ketika masih bekerja di sebuah pabrik lampu, aku bertemu dengan seorang teman hebat dari Lampung, sebut saja namanya Tuti. Tuti adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya laki–laki, yang satu kelas 5 SD dan yang satu kelas 2 SD. Ia pernah bercerita kepadaku bahwa ia mempunyai keinginan yang tinggi untuk bersekolah. Namun sayang, kondisi perekonomian keluarganya sama sekali tidak mendukung. Bahkan pernah suatu hari, ia dan adik–adiknya kelaparan. Bukan karena tidak suka lauknya ataupun tidak suka sayuran, tapi karena tidak ada sama sekali yang untuk dimakan. Ia hanya lulusan SMP dan itupun penuh perjuangan untuk memperolehnya. Ketika ia lulus SD, bapaknya jatuh dari pohon mangga dan harus dirawat di rumah sakit. Semua tabungan keluarga habis untuk berobat. Malangnya lagi, ayahnya menyuruhnya untuk tidak melanjutkan ke SMP karena sama sekali tidak ada biaya. Saat itu, rasanya bangunan setinggi 63 meter jatuh di hadapannya. Ia sangat sedih dan hanya bisa menangis. Namun, dengan modal nekat ia berani melanjutkan sekolah ke SMP. Ia harus bekerja sambilan di kebun karet dan berjalan hampir 2 kilometer untuk berangkat ke sekolah.
Ketika ayahnya menyuruh Tuti untuk berhenti sekolah, sang ayah pernah berkata , “Kamu kan anak perempuan, Nak. Nggak perlu sekolah tinggi–tinggi, toh akhirnya nanti kamu balik ke sumur, dapur, dan kasur." Setelah lulus SMP, Tuti memutuskan untuk bekerja di ke Tangerang sebagai ART hingga akhirnya bertemu denganku di pabrik lampu. Keinginannya untuk menuntut ilmu tak pernah padam, tahun kemarin ia baru saja mengikuti ujian paket C dan berhasil lulus.
Di lingkungan kerjaku, aku bertemu dengan teman–teman baru. Dari mereka, aku belajar dan sering berbagi rasa satu sama lain. Banyak dari kami yang memiliki nasib yang sama dan banyak pula dari mereka yang tidak seberuntung diriku. Sudah hampir dua tahun aku bekerja. Rencananya, tahun ini aku melanjutkan studiku ke perguruan tinggi. Aku juga bercerita dengan teman–temanku mengenai rencanaku ini. Ada yang mendukung, ada pula yang menertawaiku. Karena umurku yang sudah mulai kepala dua, banyak dari mereka yang berkata,
“Buat apa kuliah? Kamu kan cewek. Toh umur kamu udah mau 22 tahun, udah saatnya mikirin buat nikah."
“Buat apa kuliah? Umur segitu mah rata–rata udah pada lulus.”
“Ngapain kuliah? Toh ujung–ujungnya di rumah ngurus anak."
“Ngapain kuliah, buang–buang uang aja. Toh ujung–ujungnya kerja di dapur.”
Banyak juga yang mendukung keputusanku untuk kuliah. Apalagi teman–teman sekolahku dulu yang sampai saat ini masih berhubungan baik denganku. Mereka sangat mendukung keputusanku ini.
Pada awalnya aku juga berpikir untuk bekerja saja. Tapi rasanya, hari–hariku terasa kosong. Aku sama sekali tidak menyukai pekerjaanku di pabrik. Aku ingin menantang diriku dengan berkuliah. Toh menuntut ilmu juga ibadah. Genderku tidak menjadikan alasanku menyerah. Justru karena aku perempuan aku juga harus berpendidikan tinggi. Aku yang akan mendidik anak–anakku kelak, generasi penerus bangsa ini. Selain itu, aku juga ingin memiliki pekerjaan yang lebih baik setelah lulus nanti. Aku mempunyai seorang adik laki–laki, yang saat ini masih kelas 3 SD, aku ingin adikku kelak bisa bersekolah dengan nyaman dan tenang. Aku ingin adikku bisa bersekolah di sekolah impiannya, tanpa harus memikirkan biaya untuk itu. Aku tidak ingin, apa yang aku alami di masa sekolahku dulu terjadi pada adikku dan juga anak–anakku kelak.
Ketika aku menceritakan rencana ini kepada ibu dan kakak perempuanku, mereka sangat bersemangat dan mendukungku. Ibu terlihat sangat gembira. Ibu ingin aku menjadi orang yang sukses. Beliau ingin aku bisa berkuliah sama seperti teman–temanku yang lain. Ibu ingin aku menjadi orang yang bermanfaat untuk orang–orang di sekitarku. Beliau pernah berkata, bahwa harta yang kita peroleh di dunia ini hanyalah titipan yang tidak akan bawa ketika mati. Dan kelak, harta itu harus kita pertanggungjawabkan di akhirat. Lebih baik membekali anak dengan ilmu dari pada harta, karena dengan ilmu yang dimilki harta itu akan datang dengan sendirinya. Maka dari itu, ibu selalu mengutamakan pendidikan anak–anaknya.
Pandangan orang lain kepada kita memang terkadang menyakitkan. Namun, kita tidak perlu ambil pusing untuk itu. Asalkan kamu benar dan yakin, maka kejarlah apa yang kamu. Kamu tidak harus mendengarkan semua perkataan orang lain. Yakinlah pada dirimu sendiri, bahwa kamu bisa. Aku sangat bersyukur, memiliki keluarga yang selalu mendukung dan mendoakanku di setiap langkahku.
Terima kasih Tuhan, telah menitipkanku pada mereka.