Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya kekuatan untuk mengatasi setiap hambatan dan tantangan yang ada. Bahkan dalam setiap pilihan yang dibuat, perempuan bisa menjadi sosok yang istimewa. Perempuan memiliki hak menyuarakan keberaniannya memperjuangkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti tulisan dari Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Voice Matters: Setiap Perempuan adalah Agen Perubahan ini.
***
Oleh: Intan Puspita DeeIntan Puspita Dee - Jakarta Timur
Advertisement
Berpasang-pasang mata banyak yang menghunuskan keheranan ketika kebulatan tekad saya untuk mengundurkan diri berbuah kenyataan. Kenapa? Kok bisa? Nggak sayang?
Tentu saja bisa. Dan mana mungkin disayangkan, masa berbakti kepada ibu dan merawat buah hati sendiri harus disesalkan. Inilah sebentuk pengabdian kecil yang tak seberapa untuk wanita yang telah mempertaruhkan nyawa demi melahirkan saya dan keempat kakak lainnya.
Beliau menjelang tujuh puluh tahun, rasanya malu terus-menerus menggantungkan beban di pundaknya. Menitipkan sang buah hati semenjak bayi merah dengan pertimbangan tak percaya memakai jasa babysitter. Pantaskah?
Betul seorang perempuan harus mandiri. Bekerja meskipun suami berpenghasilan adalah bentuk paling nyata di zaman modern seperti saat ini. Tapi jika apa yang dikejar harus mengorbankan sesuatu yang sangat berharga tentu saja salah kaprah. Sudah semestinya saya resign. Toh, bukan berarti saya berpangku tangan begitu saja.
Saya meyakini seorang perempuan tak harus gajian namun saya menekankan seorang perempuan harus berpenghasilan. Artinya, jika terbentur situasi yang tidak memungkinkan bekerja di luar semisal pekerja kantoran, maka banyak profesi yang bisa dikerjakan dari dalam rumah atau menyesuaikan jam tanpa harus meninggalkan anak dan segunung cucian. Contohnya saja membuka usaha di depan rumah, penulis lepas, blogger, jualan online, dan masih banyak lagi.
Hidup rasanya terlalu singkat hanya untuk menjalani sesuatu di atas keputusan yang tidak adil. Mungkin baik bagi saya, belum tentu yang lainnya. Dalam hal ini Mama yang sudah sendirian tanpa suami yang saya maksud. Sudah saatnya melakukan perubahan. Jika saya yang belum mampu seperti orang-orang lain yang jauh lebih beruntung bisa memberangkatkan haji orangtuanya, setidaknya bakti sederhana ini bisa membahagiakan di ujung usia senjanya.
Sedari kecil sudah membebani, tiba saatnya menepiskan pemberat di pundaknya. Memberikan waktu yang lebih besar untuknya beribadah dan bersantai. Tanpa dirusuhi rengekan anak kecil. Setelah punya anak saya paham betul bagaimana lelahnya menjadi ibu. Apalagi dengan sisa-sisa tenaga yang tak lagi bugar ukuran seorang manula.
Mungkin inilah jalan Allah yang sudah dipersiapkannya. Merintis karier sesuai passion. Ada sebuah cita-cita yang sedari kecil tak benar-benar diperjuangkan. Tadinya saya pernah berpikir sebatas hobi saja sudah cukup. Meski kadang-kadang terlintas juga ingin menekuninya.
Jadi semua itu timbul dan tenggelam. Apalagi tergerus rutinitas pekerjaan yang memakan waktu begitu parah, ditambah setelah memiliki momongan rasanya saat-saat di rumah terkuras habis. Ketika anak sudah terlelap, mata sudah hampir redup. Kadang berhasil memaksakan membaca buku atau membuka laptop merampungkan naskah yang tak kelar-kelar. Namun keseringan plek! Malah buku atau laptop yang menonton saya tidur. Lucu sekali, bukan?
Tapi akan lebih lucu lagi jika tak ada cerita yang menggetarkan sebagai warisan anak cucu kelak. Saya ingin mereka tahu ibu atau nenek mereka pernah memperjuangkan mimpinya. Melawan musuh paling besar yaitu ketakutan diri sendiri. Dan menjadi penulis... itulah jawabannya!
Emak-emak menulis. Wah, keren, ya! Zaman sudah canggih, peluang bertebaran. Komunitas menulis mudah ditemui. Tinggal klik saja yang sesuai prinsip atau apa pun itu. Komunikasi dengan sesama penggiat literasi juga bukan hal sulit lagi. Dalam hitungan menit tulisan kita bisa melesat cepat atas bantuan media sosial. Info-info lomba atau alamat redaksi bukan barang asing lagi, yang penting ada keinginan kuat dan kuota, semua bisa tersentuh.
Salah satunya lomba menulis yang rutin diadakan tiap bulan oleh Fimela. Dengan tema-tema yang dekat dengan keseharian rasanya pas untuk ajang berbagi dan mengasah kemampuan. Lalu yang tak kalah penting adalah dukungan. Ya, bersyukur keluarga sangat mendukung. Suami tak pernah cerewet, asalkan positif dia oke-oke saja. Menyenangkannya lagi putri saya yang berusia hampir lima tahun mudah diajak kerjasama. Maksudnya, ia tidak rewel dan mudah diatur dari segala segi. Kegiatan belajarnya, makannya, mainnya, tidurnya, sehingga memudahkan saya menentukan jadwal kapan mencuci, menyetrika pakaian, membaca buku, menyelesaikan naskah, dll.
Bahagia. Itu yang saya rasakan. Saat menerima imbalan dalam bentuk apa pun entah itu uang tunai, voucher, pernak-pernik barang, buku-buku, dan oh sertifikat... kesenangan melambung tak terkira. Dan asyiknya lagi, jika naskah ditolak redaksi bahkan tak menang sekalipun, ada kepuasan dalam bentuk yang lain. Kesyukuran, sebab bisa mengalahkan musuh terbesar yaitu ketakutan diri sendiri. Merasa lebih berarti, why?
Sebab menulis tak tersekat sebatas hobi. Kini lebih mempunyai tujuan.
Pertama, membahagiakan dan menyehatkan jiwa. Betul memang kata orang, pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Bahkan ketika mampu melampiaskan meski tanpa diikuti materi saja rasanya puas sekali. Apalagi menghasilkan pundi-pundi. Itulah yang dinamakan bonus ketekunan dan kesabaran.
Kedua, sebagai ibadah. Berharap ada informasi atau pesan moral yang tersampaikan. Minimal sekali menghibur para pembaca, seperti halnya mendengarkan musik saat penat maka akan menyegarkan pikiran. Intinya membahagiakan atau menciptakan senyum di bibir orang lain adalah bagian dari gerakan kebaikan.
Ketiga, menulis itu abadi. Seorang seniman akan terus hidup lewat karya-karya yang ditinggalkannya. Oleh karena itu ada prinsip-prinsip yang harus digarisbawahi. Abadi, artinya ada pertanggungjawaban. Saya memutuskan menulis sesuatu yang menginspirasi banyak orang. Walaupun setidaknya menghibur, namun tak boleh berbau pornografi. Ketika seorang penulis meninggalkan dunia, berarti ada dosa jariyah atau amal jariyah. Untuk itulah diperlukan kehati-hatian di sini.
Keempat, ingin menyampaikan tema-tema yang dekat dengan perempuan, parenting, rumah tangga, sampai kesehatan jiwa. Sedikit gambaran saja, kenapa perempuan? Sebab kaum hawa itu unik, istimewa, dan rumit. Saya ingin saling menguatkan satu sama lain lewat cerita-cerita. Misalnya saja saya pernah menulis cerpen tentang seorang perempuan yang ragu-ragu menghadiri reuni sekolah karena hingga delapan tahun belum dikaruniai anak. Berharap mereka yang mengalaminya tidak patah semangat dalam berikhtiar tanpa perlu malu menampakkan diri karena banyak hal yang masih bisa disyukuri.
Kelima, mempersembahkan hal terbaik bagi orangtua dan keluarga. Hingga Bapak tutup usia beliau belum pernah membaca karya saya. Menyedihkannya lagi beliau belum menyaksikan sama sekali putri bontotnya menjuarai perlombaan. Padahal bapak orang pertama yang menyadari kalau saya punya bakat dalam bidang kepenulisan. Sayangnya pada saat itu saya tidak memiliki kepercayaan diri dan kesungguhan hati untuk mewujudkannya. Itu jadi motivasi saya, sebab tak ada kata terlambat dalam kamus orang-orang yang optimis. Manusia mati hanya jasadnya, namun jiwa akan terus hidup. Saya percaya sekarang Bapak bisa tersenyum lega dengan keputusan saya.
Oh ya, menyambung lagi soal keyakinan saya kalau perempuan tak harus gajian namun harus berpenghasilan, tentu saya bukan tanpa alasan. Bukan hanya sekadar keren-kerenan. Tapi ada alasan yang paling mendasar melebihi membantu perekonomian keluarga. Tentu saja setiap manusia berharap apa yang terjadi dalam kehidupannya semua yang baik-baik saja. Walaupun kita sama-sama menyadari itu mustahil karena memang dunia adalah tempatnya ujian. Ada hal-hal yang tak sesuai keinginan seorang istri. Suami di PHK, suami lebih dulu menghadap Sang Pencipta, atau berpulang ke dalam pelukan wanita lain.
Ini serius! Sehingga membangun kesiapan mandiri secara finansial harus dibangun dari sekarang. Supaya ketika semua itu terjadi tak perlu bimbang berkelanjutan. Untuk itu, asah kemampuan terus. Jangan terlena dengan gaji suami. Bukan masalah tak mensyukuri. Ini dua hal yang berbeda. Tentu saja tanpa melupakan kodrat sebagai ibu dan istri.
Saya pribadi bersyukur sebab sedari SD sudah dilibatkan membantu usaha orangtua. Penghasilan utama keluarga berasal dari salon dan babershop yang dirintis Bapak sejak muda. Sepulang sekolah saya turut membantu menyapu sampah potongan rambut dan terkadang sebagai kasir. Ketika ada tambahan warung, saya pun turut melayani pembeli.
Dan karena Bapak berjiwa wirausaha maka tak sampai di situ, ketika saya SMP Bapak membuka usaha playstation dan bersama kakak-kakak bergantian menjaga usaha tersebut. Dari almarhum saya belajar banyak sekali. Sabar, kerja keras, sikap baik kepada pelanggan, serta melakukan yang terbaik.
Sehingga tatkala keadaan ekonomi keluarga mulai gonjang-ganjing saya tidak kaget lagi bekerja dengan orang lain. Bertekad tidak ingin menyusahkan orangtua selepas SMU saya tak malu jaga wartel walaupun bayarannya hanya dua ratus ribu per bulan. Lalu pernah juga jaga counter tas, counter kosmetik, counter kaset-kaset playstation, buruh pabrik, sampai menjadi karyawan di sebuah perusahaan transportasi di Jakarta sebelum akhirnya saya resign.
Selepas itu saya sempat berdagang aneka jenis minuman dan makanan ringan di depan rumah. Namun karena jatuh sakit usaha tersebut hanya bertahan setahun lamanya. Barulah sekarang ini saya memfokuskan merintis karier menulis dengan lebih serius. Bersyukur sudah memiliki dua buku hasil kolaborasi dengan teman-teman penulis. Belum wow! Namun setiap langkah adalah perjuangan yang tidak mudah juga. Hargai, nikmati, syukuri.
Entah mengapa meskipun hasilnya tak sebesar dulu, namun kesenangannya melebihi sewaktu menerima gaji bulanan! Barangkali sesuai passion, sehingga melakukannya tanpa beban. Ditolak redaksi majalah pun saya senyum-senyum saja. Karena sampai proses menyelesaikan dan mengirimnya saja tidak mudah. Setan malasnya itu ya ampun… perlu perjuangan menyingkirkannya. Jadi, sekali lagi, bisa mengalahkan diri sendiri itu sudah jadi pemenang. Dan sikap positif ini yang ingin saya tranfer kepada putri kecil saya.
Nah, buat para gadis, mommy-mommy, barisan single parents yang kuat-kuat, jangan pernah lelah menggali ide dan potensi diri, ya. Sebab kita semua, perempuan, memiliki keistimewaan. Memiliki rahim yang darinya akan lahir pejuang-pejuang tangguh yang tidak mungkin berkualitas tanpa bimbingan seorang ibu. Upgrade diri agar wawasan terus berkembang.
Kenapa? Karena anak-anak kita berhak dilahirkan dari seorang wanita yang pintar dan hebat.