Fimela.com, Jakarta Beberapa pekan ini ramai dibicarakan tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Banyak yang meragukan isi RUU tersebut benar-benar membela kepentingan perempuan. Banyak yang ragu, jika RUU ini disahkan sama saja dengan melegalkan seks bebas. Benarkah demikian?
Seperti yang dilansir dari komnasperempuan.go.id (15/3) sasaran dari RUU PKS ini adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menindak dan memidanakan pelaku, menangani, melindungi dan memulihkan korban serta terakhir menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual selalu disalahkan. Masih ingat dengan kasus Agni? Bahkan di kasus ini, pelaku tetap bebas dan berakhir dengan mediasi. Ada juga kasus yang menimpa Baiq Nuril yang justru dihukum karena melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya. Mengapa korban yang disalahkan?
Advertisement
Advertisement
Seberapa Penting RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?
Kekerasan di Indonesia sangat membahayakan, menurut CATAHU 2018 pelaporan kasus Marital Rape (perkosaan dalam perkawinan) mengalami peningkatan pada tahun 2018. Hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap isteri ini, mencapai 195 kasus pada tahun 2018. Mayoritas kasus perkosaan dalam perkawinan dilaporkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta P2TP2A (sebanyak 138 kasus), selebihnya dilaporkan ke organisasi masyarakat dan lembaga lainnya.
Mirisnya pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja, bahkan CATAHU mencatat ada 2.979 kasus pelaku kekerasan seksual di ranah privat. Incest (perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah) masih cukup tinggi dilaporkan pada tahun 2018, mencapai 1071 kasus dalam 1 tahun.
Masih dalam CATAHU 2018 tercatat 1528 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacar. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual pun potensi terbesar dilakukan di ranah privat.
Sistem hukum di Indonesia yang masih mengakomodasi kekerasan seksual di lapangan. Menurut catatan komnas perempuan mencatat dari 15 jenis kekerasan yang terjadi dalam beberapa konteks, hanya 9 yang dikategorikan tindak pidana. Hal ini dianggap 6 tindakan lainnya tidak memiliki unsur subjektif dan objektif seperti yang disyaratkan dalam pengaturan kriminalisasi pidana.
Pembuktian Kekerasan Seksual Dibebankan ke Korban bukan Pelaku
Penting dan segaranya kita mendukung disahkan RUU PKS adalah karena dalam praktiknya jika ada kasus kekerasan seksual, pembuktian dibebankan oleh korban. Bahkan dalam realitanya, korban ditekan untuk menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Bahkan korban seringkali dikriminalisasi.
Dalam RUU PKS keterangan seorang korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa pelaku bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya.
Jadi, seharusnya tidak ada alasan untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan?