Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: Nandik Sufaryono - Bekasi
Advertisement
Sungguh tak pernah kuduga kalau pada akhirnya aku diwisuda jadi Sarjana S-1. Boro-boro bisa kuliah, bisa menamatkan SMA saja sudah sebuah kemujuran bagiku. Ya, sebuah kemujuran.
Saat SD, ketika itu masih kelas tiga, sepulang sekolah di SD Negeri 4 Rumbai, Pekanbaru, aku bekerja menjadi tukang kebun di komplek perumahan Caltex Rumbai (sekarang Chevron) untuk membantu ibunda yang berjualan sayur mayur sembari menjadi pembantu di sana. Induk semangku namanya Bapak Firdaus Darwis (kabarnya kini tinggal di Jalan Kulim, Senapelan Pekanbaru).
Ibundaku juga bekerja menjadi pembantu di rumahnya, usai berjualan sayur mayur di komplek Caltex itu. Pukul 17.00 setelah menyapu halaman dan menyiram bunga di taman rumah Pak Firdaus, aku pulang membonceng Ibunda dengan sepeda racing merek Phoenix yang dipinjami Pak Firdaus pada kami. Begitulah terus menerus sampai tiga tahun penuh setiap pulang sekolah.
Kelas 6 SD, kami pindah ke Payakumbuh, Sumbar. Aku dan saudara kembarku Devi Sufaryanti, tinggal bersama keluarga Mayor Pol MD.Hasibuan, Wadanres 50 Kota Payakumbuh (sekarang Polresta Payakumbuh), tempat Ibundaku bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setahun kemudian keluarga itu pindah ke Polda Sumbar di Padang, persis saat aku tamat di SD Inpres 73/74 Koto Nan Empat, Payakumbuh.
Kami kemudian menyewa rumah papan beratap rumbia di samping ST (Sekolah Teknik) di Jalan Pahlawan. Ibunda berjualan bakwan, goreng pisang, dan gado-gado di warung samping sekolah itu, sekedar memenuhi kebutuhan kami bertiga beranak.
Aku dan kembaranku melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Payakumbuh. Sambil membantu ibu di warung, sesekali aku menjadi "cingkariak" (kernet) mobil Da Am, tetanggaku yang jadi sopir angdes (angkutan pedesaan) jurusan Pasar Payakumbuh ke Gadut/Halaban. Sesekali juga aku mengayuh becak berjualan tahu bersama juragan tahu orang Jawa-Jambi. Tak jarang pula menggantikan temanku Ajo menjadi kusir untuk bendinya. Membawa penumpang dari Sawah Padang ke Pasar Payakumbuh.
Selama sekolah tiga tahun di SMP 1 itu pula, tiap pagi aku bawa jajanan pasar yg dibuat Ibunda untuk dititipkan di Kantin Oom, penjaga sekolah. Kendati sempat menjadi Ketua OSIS di sekolah, agenda wajibku jualan goreng dan bakwan tak pernah absen. Sebab di situlah sumber kehidupan kami.
Lalu aku masuk SMA 1 Payakumbuh, tahun 1986. Kembaranku ke SMEA Payakumbuh. Namun Ibunda tak kuat lagi membiayai kami, sampai akhirnya kembaranku memilih berhenti sekolah pada semester 1, namun aku tetap melanjutkan. Devi kemudian merantau ke Perawang dan bekerja di pabrik kayu lapis PT.Surya Dumai Veneer, Perawang.Aku tetap sekolah, dan bekerja menjadi wartawan freelance di KMD Singgalang Payakumbuh. Dari honor menulis itulah aku membiayai sekolahku sampai 3 tahun, tanpa mengganggu Ibunda.
Tak dinyana, tahun 1988 itu aku lulus SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Tapi aku bimbang untuk meneruskan kuliah karena Ibundaku cuma penjual bakwan dan goreng pisang. Namun kembaranku mendorong untuk mengambil kesempatan kuliah itu. Dialah kemudian yang membayarkan pendaftaran dan uang SPP pertamaku.
Selanjutnya, dengan pola yang sama saat sekolah, aku bekerja serabutan di Kota Padang. Tinggal di sebuah kamar kecil berdinding papan yang kusewa Rp6.000 setiap bulan. Semua pekerjaan kulakukan untuk sekadar menyambung hidup saat kuliah. Ngamen di Bus Kota jurusan Pasar Raya-Tabing sampai ke pantai Padang, berjualan lobak (kubis), hingga menjadi kuli bangunan sudah kujalani.
Ketiadaan SPP pada semester 5 memaksaku cuti kuliah, dan melanjutkan lagi pada semester berikutnya. Kemudian mengambil cuti kuliah lagi satu semester untuk kemudian melanjutkan kembali. Itulah sebabnya mengapa aku terlambat menyelesaikan kuliah, dan baru diwisuda 3 Sept 1993.
Bagiku, itulah yang kusebut sebuah kemujuran. Anak kampung yang miskin dan papa yang akhirnya diwisuda jadi sarjana. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sama sekali.Alhamdulillah, kini anakku sudah sarjana pula. Ia tuntaskan kuliahnya di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dgn cepat. Mujurnya pula, ia lulus dalam seleksi CPNS Kemenkumham RI, Desember 2017 lalu. Kini aku menunggu adiknya yang segera pula menuntaskan sarjananya di Fakultas Ekonomi Univ.Andalas. Padang.
Yang pasti, semua kemujuran itu adalah rahmat dan karunia Allah SWT kepadaku. Allahu Akbar.
Â
Â
Di Wikipedia, istilah janda adalah wanita yang sudah ditinggal mati atau dicerai suaminya. Tapi janda yang satu ini bagiku sangatlah luar biasa. Tiada bandingnya di dunia ini. Itulah sebabnya kendati seorang janda, aku menaruh kebanggaan tiada tara padanya.
Ibu menjadi janda bukan karena ditinggal mati suaminya. Bukan pula karena suaminya menceraikan. Ibu ditinggal pergi begitu saja oleh suaminya. Ya, benar-benar ditinggal pergi, dengan sepasang anak kembar yang ketika itu masih berusia dua tahun, aku dan kembaranku.
Aku yakin, menjadi janda karena ditinggal pergi suami bukanlah mimpi ibu ketika menikah. Tapi ini nyata. Bukan mimpi buruk ibuku. Karena menjadi janda itulah akhirnya ibu harus banting tulang menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah orang. Ibu menjadi pembantu di rumah karyawan perusahaan minyak paling moncer di Komplek PT Caltex Rumbai, Pekanbaru (kini PT.Chevron). Itu berlangsung sejak tahun 1970 saat usiaku masih dua tahun.
Lalu siapakah yang mengasuh sepasang anak kembar ibu? Di sinilah hampir selalu derai air mataku mengalir manakala membayangkan dan mengingat betapa ibu adalah wanita luar biasa dan amat sangat kuat.
Ibu merantau ke Pekanbaru sebatang kara. Tiada sesiapapun jua sanak keluarganya yang ada di kota ini selain jiran tetangga. Itulah sebabnya Ibu menitipkan kami berdua di rumah Nenek Rabiah tetangga kami, sampai aku dan kembaranku memasuki usia sekolah dasar. Nenek Rabiah lah yang kemudian merawat dan menjaga kami berdua manakala ibu pergi bekerja. Itu pula yang menjadi sebab, mengapa Nenek Rabiah akhirnya menjadi nenek kandungku sampai akhir hayatnya, kendati sesungguhnya di antara kami tiada pertautan darah.
Masih kuingat, ketika masih SD itu, sepulang sekolah Ibu menjemput dan membawa kami berdua ke tempatnya bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Menjelang petang, ibu kemudian mengajak kami pulang.
Berbilang tahun siklus itu aku jalani. Dan ketika Kelas 3 SD, aku mulai membantu ibu dan bekerja menjadi tukang kebun di rumah induk semangnya yang bernama Firdaus Darwis. Beliaulah yang meminjamkan sepeda Phoenix agar aku dan ibu tidak lagi berjalan kaki saat berangkat dan pulang kerja.
Masa-masa kecil itu masih bisa kuingat karena saat ini masih banyak saksi-saksi hidup itu yang tinggal di kawasan Rumbai dan Pekanbaru dan selalu kutemui untuk menyambung silaturrahim.
Aku bangga pada ibu yang janda. Bangga sekali. Meski janda, ibu tak pernah menyerah. Bahkan ibu tak pernah malu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, demi kedua anak kembarnya.
Aku tahu, menjadi janda tentulah sangat memilukan dan memalukan. Tapi aku melihat ibu tidaklah demikian. Ibu menjadi perempuan super hebat. Ia ikhlas membesarkan dan mendidik kami berdua. Ia tawaqal dan qana'ah. Ibu memercayai takdirnya sebagai janda merupakan kodrat illahi. Janda yang ditinggal pergi suami. Bukan janda yang dicerai atau ditinggal mati.
Meski itu peristiwa berpuluh tahun lalu, namun kini banyak pula karib kerabat handai tolan jiran tetangga dan kawanku yang menjadi janda. Ada yang dicerai, ditinggal mati, dan ditinggal pergi suami.
Terbayanglah olehku bagaimana mereka bekerja keras bertungkus lumus membesarkan dan mendidik anak-anaknya.
Subhanallah. Allahu Akbar. Semoga almarhumah ibu senantiasa dalam peluk kasih dan sayang Allah SWT.
Jakarta, 3 Maret 2019
07.58 WIB