Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: A - Medan
Advertisement
Warisan jiwamu membuat putrimu menjadi wanita paling berbahagia.
"Saat kau berjalan bersama Tuhan, percayalah tidak ada yang tidak mungkin, Nak," ucap ayah di sore itu, saat aku menyerahkan secangkir teh hangat padanya. Ketika itu kami sedang memandang bunga-bunga hasil rawatan Ibu di teras rumah, kala ayah menceritakan kisah tetangga baru di sore yang damai itu.
Kupandangi wajah ayah yang sudah begitu berkeriput. Penyakit asam urat serta reumatik yang dialaminya sungguh sudah mempengaruhi fisiknya, namun jiwanya? Ah selalu saja mendamaikan jiwaku. Seakan persoalan apapun yang kuhadapi dalam hidup ada dalam perbendaharaan solusinya
Aku sungguh mengagumimu, ayahku. Dan kisah yang kau urai di sore itu membawaku kembali ke saat-saat itu, sebelum waktu dan perjalanan hidup membawa kita ke sore ini.
Aku adalah anak perempuan yang lahir dari keluarga begitu sederhana. Bayangkan saja, aku putri ketujuh dari sembilan bersaudara. Wow! Penghasilan kedua orangtua yang hanya petani sudah tentu membuat kami terlatih untuk hidup apa adanya. Sejak kecil kami tidak terbiasa dengan uang jajan yang banyak. Bahkan uang jajan hanya didapat sekali dalam seminggu, dan kami terima dengan sangat sukacita.
Hebatnya adalah dengan jumlah kebutuhan yang begitu besar dan keuangan yang begitu sulit, kami tidak pernah kekurangan apapun jika itu berkaitan dengan sekolah/pendidikan. Iuran sekolah maupun uang buku yang sangat mahal selalu terbayar tepat waktu. Sesuatu yang aku sadari ketika beranjak dewasa bahwa itu adalah bukti dari betapa majunya pemikiran orangtuaku.
Di saat tradisi di desaku adalah anak-anak cukup bersekolah hingga SMA lalu bekerja menjadi asisten rumah tangga atau menikah saja, orangtuaku adalah orang-orang berpikiran terbuka dan visioner. Sekalipun mereka tidak berpendidikan tinggi namun mereka memiliki mimpi yang besar terhadap anak-anak mereka. Bahwa anak-anak mereka harus mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya dan menjadi orang-orang cerdas kelak.
Dan inilah yang telah membentuk kepribadian kami dalam keluarga, terkhusus aku. Aku menjadi anak yang tumbuh dengan mimpi yang besar dan semangat yang kuat. Melihat jerih payah orangtua dalam membiayai sekolah memotivasiku untuk selalu melakukan yang terbaik.
Orangtua sering menasihati bahwa Tuhan memberi kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk berprestasi, hanya perlu kerendahan hati untuk terus mau berusaha. Bahwa mimpi sebesar apapun akan mungkin tergapai apabila Ia menyertai. Memoriku membawaku ke saat di mana kami harus belajar keras di rumah karena tidak punya uang untuk ikut bimbel seperti teman-temanku. Tak jarang ayah juga membantu saat kami mengerjakan PR matematika, karena ayahku memang jago soal hitung-hitungan. Peraturannya adalah setiap malam kami harus buka buku dan belajar, serta diawasi oleh Ayah sendiri. Dan atas izin Tuhan, sejak SD hingga SMA aku dan saudara-saudaraku selalu menjadi juara kelas, menjadi perwakilan sekolah dalam lomba cerdas cermat, dan memenangkan beberapa pertandingan baik formal maupun informal.
Suatu hal yang tak terdefenisikan saat aku pulang kerumah, disambut oleh wajah lelah dari ayah ibu dan aku berkata, "Ayah, Ibu, aku juara." Saat mereka tersenyum dan menepuk-nepuk pundak ku, rasanya itu wah, sulit dijelaskan. Bahkan sekalipun kami tidak punya banyak uang, tapi kami punya banyak hal untuk di syukuri dan berbahagia. Di dalam rumah kami yang sederhana terdapat cinta yang begitu melimpah.
Kisah sekolah itu juga terus berlanjut hingga kuliah. Ketika tamat SMA aku tidak langsung kuliah karena kakakku juga masih kuliah. Jika dipaksakan tentu saja orangtuaku tidak akan sanggup dari segi dana. Sebagai seorang gadis muda dengan passion dan mimpi besar tentu saja aku merasa pedih dengan kenyataan bahwa aku belum bisa kuliah, saat teman-teman seusia aku sedang giat-giatnya ujian masuk ke universitas favorit pilihan hati mereka.
Namun sekali lagi, semua kisah hidup ternyata bertujuan untuk membentuk karakter kita. Satu tahun menganggur juga cukup mendewasakan aku. Di sini aku banyak menekan ego diri sendiri. Berusaha memahami kondisi orangtua telah memurnikan hatiku. Aku banyak belajar tentang defenisi berjuang dengan mengutamakan orang lain. Karena aku mengasihi kakak dan orangtuaku, aku rela mengalah dan turut membantu orangtua bekerja selama aku menganggur. Aku selalu ingat pesan Ibu saat aku diam-diam menangis di ujung kamar, “Nak, belum terjadi bukan berarti tidak akan terjadi. Kamu juga punya masa depan yang cerah, Ayah dan Ibu akan selalu melakukan yang terbaik sehingga kalian bisa kuliah setinggi-tingginya. Teruslah berdoa sehingga Tuhan mencukupkan rezeki kita. Percayalah Tuhan itu baik."
Suatu kalimat inti yang selalu kupegang dalam hidupku sejak saat itu.
Aku begitu bersyukur saat akhirnya satu tahun kemudian aku memasuki bangku perkuliahan. Terbiasa dengan kesederhanaan tidak membuatku bersantai saat kuliah. Aku memilih untuk bekerja paruh waktu sebagai guru di sebuah bimbingan belajar. Selain itu aku juga mengajar bahasa asing kepada teman-temanku. Satu hal yang juga dilakukan oleh kakak-kakakku saat mereka sedang kuliah. Tujuannya adalah untuk meringankan beban orangtuaku. Semuanya kulakukan dengan penuh semangat dan sukacita.
Ada kalanya aku merasa hidup itu berat, bahkan kadang berpikir jika saja aku bisa seperti teman-temanku yang tidak usah bekerja keras untuk bisa kuliah. Satu pemikiran yang wajar dari seorang gadis muda pada usianya. Namun intimidasi negatif seperti itu akan selalu lenyap saat aku meraih handphone ku dan mendengar suara orangtuaku. Setelah itu yang tersisa hanyalah rasa syukur. Bahwa aku punya kesempatan untuk bekerja, bahwa Tuhan telah memampukanku mengerjakannya, dan bahwa aku memiliki orangtua yang begitu memperjuangkanku. Semangat positif dan petuah dari mereka selalu melegakan lelahnya jiwaku.
Dan semangat dan cinta itulah yang membawaku menjadi siapa aku sekarang ini. Gadis muda yang sudah mengenal terjalnya hidup namun tetap lembut karena disirami oleh cinta mereka. Kami semua terbentuk menjadi seorang pejuang tegar namun juga tetap penuh kasih.
Saat aku menyelesaikan kuliahku dan masuk ke perusahaan multinasional yang selalu kucita-citakan sejak lama, semua proses hidup yang sudah kulalui rasanya menjadi make sense. Seakan semua yang terjadi ada benang merahnya. Aku bersyukur untuk semua proses pembentukan karakter yang terjadi, dan terutama untuk orangtua yang mengajariku kehidupan.
Inilah warisan dari mereka yang ingin kubagikan kepada siapa pun. Kesederhanaan, kerja keras dan perjuangan, doa, cinta kasih, serta mimpi yang besar. Jiwa mereka ini lah yang telah mengalir di dalam jiwaku.
Lewat kesederhanaan mereka, aku menjadi mengerti bagaimana harus lebih mengasihi orang lain yang juga berkekurangan. Bersyukur saat berkecukupan maupun berkekurangan, berbagi saat ada kesempatan menolong orang yang membutuhkan.
Lewat kerja keras dan perjuangan mereka aku meneladani pejuang kehidupan yang paling tangguh. Pembagian peran antara ayah yang tegar dan Ibu yang penuh kasih adalah teladan terbaik yang bisa ku ikuti dalam keluarga putri mereka ini kelak.
Doa-doa mereka baik saat kami bersama dan yang mereka ucapkan dalam hening saat teduhnya telah mengokohkan jiwa ini, membuatku selalu damai, dan menyadarkanku untuk selalu berpengharapan pada Sang Pemilik Kehidupan.
Cinta kasih mereka menjadi panutanku tentang bagaimana aku harus mengasihi sesamaku, karena aku tidak pernah kekurangan cinta sehingga aku tahu bagaimana harus mencintai.
Dan mimpi besar mereka? Akan selalu kuwariskan ke anak cucuku kelak, Ayah, Ibu! Semangat juang, visi mereka yang telah mengantar kami hingga sejauh ini. Cara mereka menjaga keluarga kami akan selalu kubanggakan pada anak dan suamiku nanti. Supaya mereka mengerti, warisan jiwa itu lah yang telah mengantarku hingga di hari ini. Kita memang tidak kaya secara materi, tetapi jiw kita sungguh kaya. Kaya akan cinta, akan mimpi, akan semangat juang, dan kaya akan pengharapan.
Pelajaran yang terbesar yang kudapat dari mereka adalah mewariskan harta dapat habis, namun warisan jiwa? Akan terus hidup di dalamku, Ayah dan Ibu.
Medan, 27 Februari 2019