Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: Immatul Fitriani - Sidoarjo
Advertisement
Waktu subuh selalu menyusupkan kehangatan dan rasa syukur yang mendalam. Subuh pula yang menghidupkan kembali harapan yang sejenak tenggelam bersama malam. Kepadanya aku selalu teringat akan suasana keluarga di kampung halaman. Suasana menjelang subuh yang selalu ramai oleh bising mesin pompa air, gemercik air wudu, dan suara terompah melangkah.
Dialah bapakku. Sang kepala rumah tangga yang menyalakan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan keluarga. Beliau terkenal garang, baik di kalangan keluarga maupun tetangga. Terutama pada hal-hal yang bersifat syariat agama, beliau sangat disiplin. Jika didapati anaknya belum bangun seusai azan subuh, beliau tak segan membangunkan kami dengan suara yang keras. Tak ragu-ragu beliau sabetkan kain sorban yang menggantung di lehernya. Awalnya ini kunilai sebagai hal yang menjengkelkan, namun begitu terasa bermanfaat di kemudian.
Sebagai manusia, rasa kecewa itu akan selalu hadir. Ada rasa penolakan terhadap realita yang dijalani. Kehidupan ideal yang kubangun serasa tak beriringan dengan takdir. Harapanku yang ingin dipersunting oleh seorang santri, akhirnya harus berlabuh di pinangan anak band. Berbalik sepenuhnya dari yang kuinginkan, baik dari cara berpikir, cara berpakaian, kebiasaan, dan lain-lain. Jika sudah jodoh, siapa yang bisa menghindar. Ya sudah, tak mengapa. Toh akhirnya, cinta itu pun kian bersemi karena kebaikan hati suami. Ehem!
Terhadap cita-cita pun demikian. Banyak di antaranya yang tak terlaksana dan hanya berujung pada tumpukan cucian kotor, piring kotor, rumah berantakan yang menjadi pemandangan sehari-hari. Padahal jika menelisik ke belakang, sejak di bangku sekolah aku memiliki cita-cita tinggi terhadap karier dan pendidikan. Pun dengan usahaku yang gigih untuk menggapainya.
Tak mengapa. Sungguh tak mengapa. Kata Bapak, "Allah senantiasa memandang setiap gerak yang kita lakukakan. Tak perlu risau jika hasil tak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan. Cukup perhatikan bahwa kita mencari ridho Allah dalam setiap langkah kita berjalan."
Ada banyak hal yang pada akhirnya kurelakan dengan begitu saja. Bersikukuh melawan arus takdir hanya membawa bencana pada kehidupan yang kujalani. Pada beberapa hal, manusia tak punya kehendak untuk ikut mengatur. Kerelaan hati akan semakin membuka pintu jalan lain yang lebih baik dibandingkan mempertahankan idealisme yang kubangun, sebaik apa pun itu.
Saat ini, ketika aku telah membina keluargaku sendiri. Pesan Bapaklah yang menguatkanku dalam setiap pelik kehidupan. Menjadi penguat hati di saat tekanan hidup menyelimuti hari-hari. Di kala tetangga menampakkan muka tak suka, saat mertua tak menghargai segala usaha, saat suami tak memandang lelah yang terasa, saat doa belum juga menampakkan hasilnya. Jiwaku terasa memiliki kekuatan untuk tetap berdiri. Ada sebuah kerelaan hati, juga langkah yang ringan untuk bekerja demi keluarga.