Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: Yang G. - Jakarta Timur
Advertisement
“Kalau makan jangan berbunyi! Jangan ngikuti suara cicak dalam mulutmu, nggak bagus di dengar telinga! Ngambil makanan jangan sampai piringnya penuh dengan isi makanan macam ada gunung di piringmu, ambil secukupnya kalau perlu jangan nambah. Jangan menyisakan makanan di piring, karena setiap butir nasi itu adalah berkah! Kalau orangtua belum makan sisihkan terlebih dahulu dalam piring lain. Jangan sampai orangtua makan sisa makananmu, hargai pengorbanan orangtuamu!" Itulah sepenggal omelan Ibuku yang selalu beliau ucapkan kepada kami anak-anaknya. Kelak omelan tersebut baru kupahami adalah nasihat yang sangat berguna dalam kehidupanku.
Namaku Yang Goe, aku dilahirkan dari dua culture yang berbeda. Ibuku asli Melayu dari Kota Jebus Bangka dan masih memegang teguh budaya Melayunya, sementara Ayahku berasal dari keluarga Bangsawan Temenggung yang konon katanya pernah berjaya di kota Muntok. Berdasarkan sejarahnya mantan Presiden RI yakni Bung Karno pernah diasingkan di kota Muntok yang merupakan bagian dari kepulauan Bangka Belitung.
Ayahku masih memiliki garis keturunan Cina, orang Bangka sendiri lebih suka menyebutnya Tionghoa. Menurut masyarakat Cina Bangka sebutan Tionghoa lebih halus ketimbang memanggil mereka dengan sebutan Cina. Sebagai anak yang memiliki garis keturunan dari Ayah, maka namaku beserta nama saudara perempuanku diawali dengan nama “Yang”. Kata Ayahku nenek moyang kami dulu tidak mau kehilangan keturunannya maka untuk gelar bangsawannya diberi nama “Yang”. Akan tetapi bila kelak kami menikah dan mempunyai anak, maka garis keturunan tersebut terputus, karena anak perempuan tidak diperkenankan memberi gelar kepada keturunannya.
Jujur dan Bijaksana
Setahun yang lalu Ayahku meninggal dunia, pada saat pemakamannya semua sanak saudara, rekan kerja Ayah serta mantan bawahannya tak henti-henti memuji sifat kejujuran Ayah. Pujian inilah yang mengurangi kesedihan kami atas kehilangan Ayahanda. Almarhum memang patut dipuji karena sikapnya yang santun sangat disegani oleh bawahannya serta masyarakat di Kotaku. Begitupun dengan caranya memperlakukan anak-anaknya.
Kejujuran merupakan kehormatan Ayah, aku masih ingat sebelum beliau wafat masih sempat memberi nasihat kepada kami anak-anaknya, "Kejujuran adalah salah satu sifat dari keturunan nenek moyang kita, walaupun tidak memiliki harta tapi sifat jujur akan dikenang sampai mati." Ucapan itu terbukti ketika Ayah dimakamkan banyak yang memuji sifat jujurnya.
Ayah memiliki filosofi Tionghoa yakni tidak menyukai konflik, oleh karena itu Ayah tidak pernah marah dan lebih memilih diam walaupun hatinya terluka. Ayah tidak mau membalas dendam. Ia lebih percaya karma, Ayah masih mempercayai bahwa setiap manusia memiliki karma baik dan karma buruknya oleh karena itu kejahatan tidak perlu dibalas, karena kejahatan akan dibalas oleh karmanya sendiri. Dalam menjalani hidup dan mengambil keputusan Ayahanda lebih bersikap bijak dibandingkan Ibuku.
Ibu yang Tegas dan Kata-Katanya yang Bermakna
Sementara Ibuku karena memiliki garis keturunan Melayu setiap kata-katanya mengandung makna tersendiri. Ibuku lebih banyak menggunakan kata kiasan ketika mengeluarkan pernyataan. Ibu sedikit tegas dalam bersikap terkadang cerewet dan lebih detail dibandingkan Ayah. Ibuku menyukai keteraturan. Anak perempuan tidak boleh tertawa terbahak-bahak dan harus lebih lembut dan menonjolkan sifat perempuannya.
Setinggi-tingginya karier yang dimiliki oleh anak perempuan tetap harus pandai memasak! Ibu sangat cerewet dalam hal etika. Aku dan saudara perempuanku yang lain mengatakan bahwa perintah Ibu adalah titah. Tidak ada yang berani membantah perintahnya, karena jika melanggar akan keluar kata-kata kiasannya yang lumayan memanaskan telinga.
Dilahirkan dari keluarga yang memiliki garis keturunan bangsawan tidak serta merta membuat kami bangga, karena itu adalah salah satu identitas keluarga besar “Yang” sehingga di manapun kami berada nama tersebut tetap mengikat cara kami berperilaku dan bersikap. Apapun yang kami lakukan selalu berdampak pada nama baik keluarga oleh karena itu kami selalu bersikap hati-hati dalam bertindak.
Karena aku dilahirkan dari dua culture yang berbeda sebagian besar sifatku lebih banyak mengikuti garis keturunan Ayah. Karakterku sendiri lebih suka menyenangi perasaan orang lain, seperti Ayahanda aku tidak menyukai konflik dan lebih memilih diam daripada ribut dengan orang lain, tetapi aku tidak sebijak ayahanda.
Aku juga mempercayai karma buruk dan baik seseorang. Tetapi terkadang aku juga memiliki sifat bawaan dari ibu ketika aku tidak menyukai orang lain aku lebih suka menggunakan kata kiasan untuk menyindir orang tersebut dibandingkan mengeluarkan kata-kata kasar. Sifatku berperilaku adalah warisan dari orangtuaku dan aku sangat bangga memiliki Ayah dan Ibu yang sangat hebat dalam mendidik kami anak-anaknya.
Jakarta, 19 Februari
Yang Goe