Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: Lukman Zaenudin – Indramayu
Advertisement
Sejak kecil saya bermimpi jadi petualang. Berkelana menjajak kaki ke suatu negeri sekaligus mengambil pelajaran dari peristiwa sepanjang jalan. Sungguh menantang rasanya. Saya tahu, perjalanan saya takkan sehebat pengembaraan Ibnu Batutah ataupun ekspedisi laut Laksamana Cheng Ho, tapi petualangan tetap akan memberiku banyak ilmu.
Bermimpi untuk berkelana melintas dunia tampaknya suatu hal yang tak terjangkau nalar bagi saya. Logikanya, mana mungkin seorang marbot masjid bisa melintasi batas provinsi dan bisa melintas benua? Saya juga sadar, saya memang ‘hanya’ seorang remaja kampung yang terlahir dari keluarga sederhana. Sejak saya lahir sampai sekarang bapak menyibukkan pekerjaannya sebagai pengayuh becak, buruh serabutan, dan ibu jadi ibu rumah tangga. Orangtua yang tak banyak bicara, tetapi tak henti mengumamkan doa, “Yang penting kamu bisa sekolah Nak, biar hidupmu tidak susah seperti kami,” celetuknya begitu rata-rata pengakuan kedua orangtua.
Banyak hal yang penting terjadi dalam hidup. Ya senang, ya sedih, ada ketawa, dan tangis berlinangan air mata. Semua hal yang membangunkan diri saya untuk hidup prihatin, dan berani mandiri. Karena sadar akan hanya diri sendiri yang bisa mengubah diri sendiri. Berjuang dari bawah karena sadar diri ini bukan keturunan ningrat. Saya wong tani. Tapi bukan saya kalau menyerah.
Saya memiliki impian menjadi seorang penulis yang bisa membanggakan keluarga dan orang yang ada di sekitarnya. Sebab saya ingin memerangkap adegan kehidupan yang ingin saya jadikan utuh. Supaya ia tak pergi kemana-mana, bisa saya tengok kapan pun. Senada dengan idola saya musikus dari Bandung, ia juga pengarang bernama Fiersa Besari. “Ketika saya membuat karya, saya telah bersahabat dengan masa lalu. Ketika saya yang tidak pernah menyangka diberi honor tulisan saya dimuat di surat kabar, saya bisa memberi sesuatu untuk orang tua. Saya telah bersahabat dengan hati nurani. Dan kau tahu apa yang paling penting? Ketika saya melakukan semua ini didasari rasa senang tanpa menggerutu, saya telah bersahabat dengan diri saya sendiri.”
Singkat cerita lulus dari bangku SMA, saya mulai berpikir untuk masa depan antara kerja, nikah muda, atau pilihan kuliah. Kini dalam hati saya ada keinginan untuk kuliah, namun di antara keinginan itu merasa harus menunda. Kuliah hanya bagi yang punya harta, uang banyak pada umumnya, saya tidak termasuk. Menyadari kondisi keuangan keluarga, saya memilih untuk bekerja.
Dalam hati kecil saya melihatnya ironis bila punya impian, namun impiannya tidak terjamahkan. Dari balik mata bening tidak berdosanya, selalu murung merasakan kesedihan. Tidak bergembira ria seperti teman sebayanya ketika punya impian, keinginan itu mudah diwujudkan oleh kedua orang tuanya. Bukankah tidak pernah ada orang yang bermimpi lahir jadi miskin, kere, tidak punya apa-apa, tapi gara-gara itu semua tidak diberi hak untuk pintar, cerdas, kreatif, dan inovatif?
Dalam hari-hari yang selalu dipikirkan ada tersimpan nasihat dari kedua orang tua saya, "Sabar, Nak, pasti ada hikmah di balik kesabaran." Berlangsung tiga tahun lamanya saya dalam pengabdian menjadi marbot masjid, mendampingi keseharian saya sambil sekolah. Namun itu bukan pilihan utama, meski tidak bisa dibilang buruk. Mengurus masjid adalah pekerjaan mulia. Meski tidak ada jaminan dunia, namun malaikat tentu tidak pernah lupa mencatat.
Keikhlasan mengurus masjid pasti dijawab dengan pahala dan surga. Itu belum tentu, biar Allah yang menggaji saya. Saya memikirkan bukan hal itu, tapi bagaimana caranya saya bisa mengenyam pendidikan dengan gratis dan tidak memberatkan keluarga. Saya harus memutar otak kembali. Mengatur langkah. Karena masa depan masih panjang. Bisa saja menyerah pada keadaan.
Setiap harinya di luar jadwal sekolah selama saya masih di bangku SMA, saya bermain dan bercengkerama dengan sapu seusai salat shubuh dengan ditemani sepeda bututnya selalu melaju. Saya konsisten memegang prinsip hidupnya, "Demi kesejahteraan keluarga kami rela menjadi tukang bersih-bersih. Bahwasanya kebersihan hati diawali oleh kebersihan lingkungannya. Jika hati bersih, insya Allah tidak berani korupsi.” Ya begitulah, saya sangat bersyukur menjadi marbot masjid.
Bagi saya, remaja yang menjadi penggiat di masjid adalah profesi yang mulia. Profesi ini dulunya juga diemban kanjeng nabi dan para sahabatnya. Sungguh mulia bukan? Saya anak bungsu dari keluarga amat sederhana memilih langkah lain. Saya sudah cukup mengabdi di masjid harus mencari langkah yang berbeda. Saya bertekad untuk membuat perubahan.
Saya yakin terhadap firman Allah bahwa perubahan adalah tanggung jawab manusia. Tuhan hanya akan mengiringi seraya mengamini tekad hamba-Nya. Dalam selembar kertas di dinding kamar bertuliskan Intanshurullah yanshurkum (barangsiapa yang menolong Allah, maka Allah akan menolongnya). Dan janji Allah tak pernah teringkari! Dengan tekadnya sabda itu, saya mencobanya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi tanpa memberatkan keluarga.
Tak ada salahnya kita bermimpi asalkan mimpi itu sesuai dengan kemampuan. Bermimpilah selagi kita masih bisa bermimpi. Ingatlah, di dunia ini tidak ada sesuatu yang tak mungkin dan segala kemungkinan itu akan terjadi. Untungnya, kini pintu-pintu akses pendidikan telah mudah kita dapatkan dan saya mencanangkan impiannya hingga tinggi mengikuti program bantuan Bidikmisi adalah salah satu di antaranya.
Bidikmisi adalah program bantuan biaya pendidikan yang diberikan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada mahasiswa dari keluarga ekonomi terbatas tapi memiliki potensi akademik memadai. Memang, bagi para penerima Bidikmisi, program beasiswa tersebut merupakan berkah dan anugerah tak terkira. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai sebuah keajaiban, Tuhan Maha Kaya.
Betapa tidak, anak-anak dari keluarga yang sederhana berbagai daerah Indonesia, termasuk dari daerah terpencil bisa memasuki pintu gerbang perguruan tinggi di kota dengan gratis. Bahkan, juga mendapatkan uang saku atau biaya hidup. Kisah-kisah kebahagiaan dan rasa bersyukur ini memang tergambar kuat. Saya menuturkan tentang kondisi keluarga, himpitan ekonomi, dan impian yang kini berani dipeluknya. Kisah batin begitu menyentuh dan inspiratif, karena yang ingin saya sampaikan adalah realitas, bukan sekadar retorika indah buatan para motivator.
Entah harus dengan cara apalagi, saya mengucapkan rasa syukur pada yang kuasa. Allah SWT telah mengabulkan pinta saya ini. Saya berjanji pada diri saya sendiri harus lebih baik lagi dan menjadi insan yang berbakti pada kedua orang tua, agama, negeri dan bangssaya.
Terimakasih Bidikmisi, telah mengantarkan saya menggapai mimpi menjadi mahasiswa di salah satu universitas ternama di Bandung, Universitas Padjadjaran. Saya sangat ingin menginspirasi teman-teman yang merasa kekurangan, jangan pantang menyerah. Ini hanya keterbatasan ekonomi. Sementara kita masih punya fisik yang baik, jika kita mau berusaha dan bersyukur, saya percaya akan diberikan jalan oleh Yang Maha Kuasa.
Sesungguhnya hambatan ekonomi bukan menjadi kesulitan, karena kita masih memiliki akal, otak, sehingga kita pasti bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Motivasi saya pun bertambah. Saya justru malah ingin membuktikan bahwa bantuan yang saya terima itu berasal dari uang rakyat. Saya harus mempertanggung jawabkannya kepada rakyat dan negara yang mempercayai saya menerima beasiswa. Saya ingin menjadi mahasiswa Bidikmisi yang sangat bertanggung jawab terhadap uang rakyat.
Berkat beasiswa yang saya terima selama 4 tahun, saya bisa melihat pintu mimpi yang pernah saya impikan. Tidak berhenti begitu saja, kuliah pulang kuliah pulang, serta mengimbangi berorganisasi. Saya harus punya orientasi lain, selain tuntutan untuk akademik. Hal ini saya yang berkeinginan mempunyai perpustakaan pribadi dan melahirkan karya yang bermanfaat.
Saya terus berjuang untuk menambah dan mengasah kemampuanku. Mencoba saya banyak mengikuti beberapa kompetisi menulis selama itu saya pernah menjuarai dan penghargaan bisa teraih antara lain, finalis 10 Besar Writing Contest Se-Jawa Barat, Penulis Terpilih dalam Lomba Menulis Cerpen Tema Bebas Pemred. Lasaripi Publisher 2017, sering menulis cerpen di surat kabar Cirebon, sekuel dari cita-cita dan cinta, Cerpen “anda Tanya Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Politeknik Piksi Ganesha Bandung, Jdan uara Terbaik 1 Sayembara Foto Manusia Berdaya 2018 – Layanan Aktif Baznas.
Semenjak lulus kuliah sampai sekarang, belum punya kesibukan atau pekerjaan yang menetap. Saya suka pergi keluar untuk belajar dari hal-hal dan orang-orang baru. Keseringan menulis ini tidak pernah saya tinggalkan, kerena sedang menunggu sesuatu yang selalu saya pelihara (menelurkan karya). Saya rawat baik di bilik-bilik dada, mengakar kuat di kepala. Doakan saja dimampukan untuk mengabadikannya dalam buku-buku. Agar bisa kau temui di perpustakaan-perpustakaan di mana pun tempat tinggalmu. Selalu kuusahakan semampuku.
Semoga menginspirasi.
Sebuah persembahan kepada kedua orang tua, dan kakak. Tanpa keduanya saya bukan siapa-siapa, yang tak pernah punya dorongan untuk berani bermimpi. Saya persembahkan sarjan saya dengan penuh cinta dan hormat.