Fimela.com, Jakarta Apapun mimpi dan harapanmu tidak seharusnya ada yang menghalanginya karena setiap perempuan itu istimewa. Kita pun pasti punya impian atau target-target yang ingin dicapai di tahun yang baru ini. Seperti kisah Sahabat Fimela ini yang kisahnya ditulis untuk mengikuti Lomba My Goal Matters: Ceritakan Mimpi dan Harapanmu di Tahun yang Baru.
***
Oleh: M - Jakarta Timur
Advertisement
Tak muluk, dengan kerendahan hati, di tahun ini aku hanya ingin lebih baik.
Tahun baru identik dengan gembira ria, sukacita, penghapusan ingatan akan hal buruk, dan kesempatan untuk menabur janji pembaharuan di tahun berikutnya. Membuat banyak orang hanya sekadar berucap janji akan lebih, lebih, lebih baik atau apalah semacamnya yang terdengar positif dan muluk. Status Facebook, Twitter, dan Instatory akan penuh dengan foto atau kata-kata indah khas tahun baru berisi resolusi, pemberi semangat untuk diri sendiri, atau mungkin permintaan maaf tanpa tujuan yang jelas untuk siapa. Namun, tidak untukku.
Tahun baru bukanlah part yang mudah untuk kulalui di sepanjang hidup. Memang selalu ada perisitiwa yang kadang amat sulit untuk membuatku move on. Peristiwa dan setiap momen yang membuatku susah lupa dan itu yang membuatku sulit menabur kata-kata indah yang dibungkus menjadi resolusi. Beberapa kali, ketika kuliah, kala itu resolusi seru sekali. Menjadi target dan motivasi untuk melakukan ini dan itu. Di awal tahun semangat membara, di tengah tahun mulai melambat langkah, menuju akhir tahun evalusi poin-poin resolusi yang belum berhasil, dan di akhir tahun tinggal mengucapkan selamat jalan untuk resolusi yang belum tercapai. Sampai ketika aku memasuki fase “dewasa” dan menyadari resolusi dan poin-poinnya adalah sebuah hal yang terlalu manis dan muluk untuk dilakukan.
Semua bermula ketika aku menikah dan kebiasanku untuk berada dalam keluargaku sendiri hilang sudah. Satu persatu mimpi yang kucapai dan mimpiku yang ingin kukejar menguap tanpa bekas. Disusul dengan keguguran yang kualami dan kehamilan yang belum kunjung datang walau aku sudah berusaha melakukan ini dan itu, mencoba makan ini dan itu yang belum juga membuahkan hasil, belum lagi ditambah dengan pertanyaan, “Kapan punya anak? Dan bla... bla... bla,” lainnya. Rasanya sangat melelahkan diri dan jiwa.
Kupikir, kegelisahan hidupku cukup di area ruamh dan ruang diriku sendiri saja, namun rupa-rupanya, di kantor, aku merasakan sebuah “kejatuhan” di mana ketika rekan-rekan seangkatanku beberapa sudah mendapat promosi, aku masih saja stagnan di posisi sekretaris salah satu atasan dan itu membuatku rendah diri. Sehingga, rasa-rasanya tahun 2018, tahun lalu menjadi tahun yang amat menyedihkan untukku.
Sampai, suatu hari, aku berbincang agak lama dengan salah satu mahasiswa magang yang kebetulan sedang menjalani masa magang di kantorku. Seorang mahasiswa berparas manis yang menceritakan bagaimana beruntungnya dia dapat melewati 2019 walau dengan kondisi kehilangan kedua orangtua yang telah bercerai dan memilih untuk menitipkan dia kepada neneknya yang hidup dengan kondisi ekonomi di bawah layak dan betapa sedihnya ketika dia tahu, mamanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Seketika, aku teringat akan diriku sendiri.
Seketika aku tersadar seperti mimpi. Aku yang menghadapi pergumulan versiku, bukanlah satu-satunya orang yang berjuang menghadapi hidup. Setiap orang memang pasti mengalami banyak cobaan dan dilemma hidup dan sebagai penyemangat, banyak cara yang bisa dilakukan. Komitmen, ini adalah satu-satunya jalan agar hidupku bahagia. Menyadari bahwa selama ini, dalam langkahku dalam menjalani usaha kehamilan adalah bentuk pemaksaan diri terhadap jiwaku sendiri. Bagaimana sesungguhnya aku memaksa diriku untuk berusaha hamil lagi sebagai bentuk “penghapusan dosa” agar aku tidak dikejar rasa bersalah karena keguguran. Bagaimana aku sangat marah dan seringkali menyalahkan suami tanpa alasan dan oh sungguh diriku tak pernah memikirkan bagaimana perasaannya menghadapi diriku yang kadang meledak tanpa alasan jelas. Bagaimana aku berusaha mencari kegiatan lain dan komunitas lain sebagai tameng untuk melarikan diri dari frustasiku di kantor.
Kini, tahun 2019, tahun baru, pilihan semua ada di tanganku, ada di pikiranku. Apakah aku mau menjadi manusia penuh beban atau menjadi manusia yang penuh syukur dan bisa menghadapi hidup, meraih mimpi dengan semangat baru?
Semua ada di tangan dan pikiran ini. Sudah saatnya melambaikan tangan dengan senyuman kepada tahun 2018 dan menyunggingkan senyum manis kepada tahun 2019. Ketika daftar resolusi orang lain memenuhi timeline media sosial, aku memilih untuk mematri setia doa dan harapanku sebagai resolusi singkat yang kuselipkan dalam hati. Tak banyak, aku hanya ingin menjadi orang yang lebih baik. Iya, sesingkat itu.
Aku hanya ingin jadi orang yang lebih baik dan termotivasi dalam bekerja entah di kantor maupun rumah tanggaku. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik dan rendah hati di hadapan Tuhan agar layak menerima anugerah-Nya kapanpun ingin Ia anugerahkan kepadaku dan suami. Aku ingin lebih baik menjadi seorang istri. Aku ingin lebih baik dan lebih giat belajar agar bisa menembus kriteria pengajuan beasiswa agar aku bisa meningkatkan kapasitasku sebagai personal. Aku ingin lebih baik dan lebih berprestasi dalam setiap tindak tandukku di manapun dan kapanpun karena aku yakin, dengan keinginan lebih baik yang sangat kuat maka hidup ini akan lebih berwarna dan bahagia.