Fimela.com, Jakarta Apapun mimpi dan harapanmu tidak seharusnya ada yang menghalanginya karena setiap perempuan itu istimewa. Kita pun pasti punya impian atau target-target yang ingin dicapai di tahun yang baru ini. Seperti kisah Sahabat Fimela ini yang kisahnya ditulis untuk mengikuti Lomba My Goal Matters: Ceritakan Mimpi dan Harapanmu di Tahun yang Baru.
***
Oleh: Siti Mukhayyaroh - Wonogiri
Advertisement
Namaku Kanaya. Aku mulai hidup merantau tahun 2010 karena saat itu aku harus kuliah di luar kota, yaitu Solo, Jawa Tengah. Aku tinggal bersama adik, ayah, dan ibuku. Ayahku juga merantau ke luar kota, yakni Jakarta. Tempat rantauku dan ayah berbeda.
Setelah lulus kuliah tahun 2014, aku tetap merantau di kota kuliahku. Aku mulai terbiasa hidup sebatang kara. Tapi aku tetap pulang ke desa di Wuryantoro, Wonogiri setidaknya seminggu sekali karena jarak tempuhnya tak terlalu jauh (hanya kurang lebih 2 jam). Setidaknya aku memiliki prinsip bahwa sesibuk apapun aku, aku harus menyempatkan waktu untuk keluargaku. Karena aku tak tahu sampai kapan umurku dan umur mereka di dunia ini. Jadi aku harus pandai membagi waktu.
Aku bekerja sebagai editor di salah satu penerbitan sampai sekarang. Aku hidup sebagai gadis normal tanpa masalah berarti. Aku bersyukur bahwa keluargaku juga layaknya keluarga bahagia yang tak terlalu memiliki masalah. Hidupku normal setidaknya sampai tahun lalu. Karena tahun 2018 hidupku mulai berubah.
Tahun 2018, adalah tahun di mana aku mengalami cobaan terberat dalam hidupku. Tahun lalu yang sekarang hanya bisa kukenang dengan pahit. Mengingatnya hanya membuat hati semakin rapuh. Kamu tak akan tahu rasanya suatu kehilangan sampai benar-benar kau mengalaminya suatu saat nanti. Ya, kehilangan seseorang adalah sesuatu yang pasti. Semua akan mengalaminya jika memang sudah tiba waktunya.
Dari awal tahun yang lalu, di mana ayahku mulai mengalami gejala sakit. Aku, adik, dan ibuku yang kala itu menganggapnya mungkin hanya sakit biasa. Hingga sampai suatu fase, ayahku mulai bertambah parah. Ayahku adalah orang yang sangat bertanggung jawab. Bahkan dengan kondisinya seperti itu, beliau masih tetap bekerja merantau di Jakarta. Sampai akhirnya bulan Maret tahun lalu, ayahku benar-benar tak berdaya.
Kami sekeluarga memutuskan agar ayahku bedrest total di rumah. Kami memutuskan untuk tes kesehatan di rumah sakit. Dan ternyata, dia memang sakit parah. Ayahku mengalami sakit ginjal yang sudah sampai tahap memprihatinkan. Aku yang kala itu sudah bekerja di luar kota kaget setengah mati ketika dikabari tentang penyakitnya saat aku pulang. Aku tak bisa berkata apa-apa.
Ibuku yang memberitahuku dengan sangat hati-hati karena takut akan keadaanku saat itu. Aku pergi ke kamar setelah mendengarnya. Aku menangis sejadi-jadinya pada Allah. Ujian beratku sudah dimulai ternyata. Dan benar saja sejak saat itu aku tak sanggup untuk tertawa. Tidurku pun tak nyenyak seperti biasanya. Semua pikiranku hanya tentang ayahku.
Banyak usaha telah kami lakukan untuk kesembuhan ayahku. Mulai dari pengobatan alternatif hingga ke rumah sakit. Jangan tanya usaha kami. Karena terlampau banyak usaha hingga aku tak mampu menceritakannya. Malam itu, sehari sebelum kepergian ayahku, ibuku meneleponku. Dia bilang, ayahku sudah semakin parah. Aku termenung. Tak banyak bicaraku saat itu. Aku bingung harus berbuat apa. Pikiranku kosong dan melayang entah kemana. Paginya, aku berdoa pada Allah Ta’ala. Aku pasrahkan segala sesuatu padanya. Aku bercerita tentang arti mengikhlaskan pada-Nya. Hingga siangnya, aku dikabari ayahku telah tiada.
Larut dalam kesedihan hanya akan membuat semuanya menjadi terlihat menyedihkan. Aku berusaha kuat dan tegar. Setidaknya aku tak boleh terlihat menyedihkan di depan ibu dan adikku. Beberapa bulan setelahnya, aku mulai berpikir tanggung jawabku sebagai anak tertua. Tanggung jawab yang dulunya diemban oleh ayahku kini beralih padaku. Tanggung jawabku sebagai tulang punggung keluarga menjadikan aku memiliki motivasi ekstra untuk tujuan hidupku ke depannya. Karena hidupku sekarang bukan lagi hanya tentang aku. Hidupku juga adalah tentang ibu dan adikku. Karena itulah aku harus kuat. Aku tak boleh bersedih. Aku tak boleh rapuh. Aku harus mandiri.
Aku beruntung sudah bekerja. Setidaknya ibuku tak terlalu terbebani dengan keadaan kami. Aku kagum pada ibuku. Beliau tak pernah mengeluh. Beliau tak pernah meminta. Beliau tak pernah menuntut ini dan itu. Beliau tak pernah bertanya sesuatu yang hanya akan membebaniku. Aku hanya bilang dalam hatiku, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku bilang untuk tidak mengkhawatirkan apapun. Mari hadapi ini bersama-sama.
Tujuan hidupku berubah dari yang sebelumnya. Sekarang tujuan hidupku kian menjadi jelas. Aku akan berusaha mewujudkan mimpi adikku yang ingin kuliah jurusan agama tiga tahun lagi (sekarang adikku baru kelas 1 SMA). Dia memimpikannya sangat lama. Itu juga yang menjadi mimpi ayahku. Sebelum kematiannya, beliau mengkhawatirkan bagaimana adikku kuliah nanti. Sekarang hanya ada aku. Mimpi adikku akan menjadi mimpiku juga mulai sekarang. Biar ini menjadi tugas dan tanggung jawabku. Aku akan berusaha bekerja lebih keras lagi untuk ibu dan adikku.
Tujuan terpentingku sekarang adalah membahagiakan diri sendiri, adik, dan ibuku. Aku hanya harus mencari pekerjaan yang lebih baik dari sekarang. Pekerjaan jelas yang bisa menjamin kehidupan kami lebih baik lagi kedepannya. Bukannya aku tak bersyukur memiliki pekerjaanku sebagai editor yang sekarang. Tapi sekarang aku memiliki prioritas hidup dan tanggung jawab yang lebih besar.
Aku akan menjalani hidupku dengan semangat dan bahagia. Tanpa merasa terbebani dan melakukannya dengan ikhlas. Tidak mengeluh akan menjadi hal penting mulai sekarang. Aku juga harus lebih dewasa dalam berpikir dan tak menggantungkan segala sesuatunya pada orang lain.
Jangan anggap masalah sebagai beban. Karena setiap orang memiliki masalah. Allah saja pernah bilang bahwa Allah tak akan membebani suatu kaum di luar batas kesanggupannya. Jadi ketika Allah memberiku masalah ini, itu berarti Allah tahu bahwa aku mampu menghadapinya.