Fimela.com, Jakarta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejumlah pelanggaran hak-hak anak di bidang pendidikan sepanjang tahun 2018, dimana pelanggaran hak anak didominasi oleh kekerasan yang terjadi dilingkungan pendidikan yang terdiri atas kasus-kasus kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan verbal dan bullying.
Dari total 445 kasus bidang pendidikan KPAI sepanjang tahun 2018 terdiri dari kasus kekerasan sebanyak 228 kasus atau 51,20 persen, separuh lebih dari kasus pendidikan di KPAI. Adapun kasus anak menjadi korban kebijakan mencapai 73 kasus (16.50 persen), angka ini lebih tinggi dari angka tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 52 kasus.
Advertisement
BACA JUGA
Sepanjang 2018 ini bidang pendidikan KPAI juga mendapatkan laporan sebanyak 51 kasus terkait anak menjadi korban kebijakan, baik kebijakan yang dibuat sekolah maupun kebijakan yang ditetapkan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah (kota/kabupaten).
Paling banyak adalah anak korban kebijakan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten yang mengeluarkan peserta didik ketika anak menjadi pelaku kekerasan, termasuk tawuran antar pelajar. Kebijakan tersebut mengakibatkan anak-anak tersebut kehilangan hak atas pendidikan di sekolah, namun juga tidak pernah menghentikan tawuran itu sendiri.
Anak didik yang dikeluarkan akan pindah ke sekolah swasta yang lokasinya tidak jauh dari sekolah asal, di tempat baru tersebut, anak didik itu akan membentuk komunitas baru, sehingga tawuran pelajar pun melibatkan lebih banyak sekolah karena di tempat baru bibit-bibit pencetus tawuran ditularkan oleh anak didik yang dikeluarkan tersebut. Kebijakan semacam itu tidak menghentikan tawuran pelajar, karena penyelesaiannya hanya memindahkan masalah, bukan mencari akar masalah untuk kemudian diselesaikan.
Advertisement
System Zonasi
Dari pantauan KPAI, peserta didik yang menjadi korban kebijakan system zonasi Penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2018 juga cukup banyak. Walaupun sistem zonasi PPDB tujuannya baik untuk pemerataan kualitas pendidikan dan membuka akses pendidikan di sekolah negeri dengan mempertimbangkan kedekatan tempat tinggal calon siswa dari sekolah.
Namun faktanya banyak anak-anak calon peserta didik baru yang justru kehilangan akses masuk sekolah negeri karena pembagian zonasi di daerah tidak mempertimbangkan antara jumlah sekolah negeri di suatu wilayah dengan banyaknya calon peserta didik yang mendaftar.
Kedepan, pembagian zonasi oleh Dinas-dinas Pendidikan diberbagai daerah tersebut harus dilakukan dengan cermat, akurat dan penuh pertimbangan sehingga tidak merugikan calon peserta didik.
Kebijakan pemerintah daerah menolak bersekolah di sekolah regular dan menawarkan homeschooling dan ujian kesetaraan untuk anak-anak penyadang HIV di beberapa daerah menunjukkan bahwa minimnya pengetahuan masyarakat dan birokrasi di daerah terkait anak-anak penderita HIV dan cara penularannya. Kebijakan tersebut juga tidak berpersfektif anak dan bukan untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak penderita HIV.