Perempuan dalam zona perang biasanya luput dari perhatian dunia. Biasanya publik akan memfokuskan perhatiannya pada korban anak dan jumlah korban jiwa atau teknologi persenjataan saja. Sehingga hal ini menyebabkan rentannya tindak kekerasan dan eksploitasi seks pada perempuan.
Hal ini juga terjadi pada para pengungsi perang saudara di Suriah. Ladies perlu ketahui, menurut Asmaa Donahue, penasihat dari lembaga International Rescue Committee (IRC), mengatakan meski kurangnya keamanan di kamp-kamp pengungsi membuat tempat-tempat tersebut kurang aman bagi perempuan, setidaknya hal-hal seperti makanan dan jasa tersedia. “Proporsi yang jauh lebih besar dari pengungsi dalam krisis ini hidup di luar kamp-kamp dan tidak memiliki akses terhadap banyak layanan sama sekali," ujar Donahue.
“Banyak yang berjuang untuk bertahan hidup, membayar sewa untuk apartemen yang sumpek, atau tinggal di gedung-gedung terlantar atau kamp darurat. Banyak yang tidak dapat bekerja secara legal dan tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap," tambahnya.
Advertisement
Sebagai akibatnya, perempuan kemudian terpaksa memakai strategi bertahan yang berisiko seperti pernikahan dini atau paksa atau menukar jasa seks dengan makanan dan tempat tinggal.
Kamp pengungsi Zaatari di barat laut Yordania, menurut laporan, telah menjadi pusat untuk pernikahan kilat antara perempuan Suriah dan laki-laki dari negara lain, terutama dari wilayah Teluk. Hamida Ghafour, seorang wartawan urusan luar negeri untuk surat kabar Toronto Star, baru-baru ini menghabiskan waktu di kamp tersebut untuk melaporkan subyek tersebut dan menggambarkannya sebagai "pasar pembeli."
Oleh: Fadhila Eka Ratnasari
(vem/riz)