“Jika Anda laki-laki yang mencari pengantin perempuan, memangsa perempuan Suriah lebih mudah karena mereka ada di posisi yang tidak memiliki hak tawar dalam mendapat mahar," ujarnya.
“Banyak dari perempuan-perempuan ini tidak tahu berbuat apa lagi untuk anak-anak perempuannya, karena mereka tidak memiliki tradisi seperti di negara-negara Arab lainnya. Gadis-gadis tidak keluar rumah dan hidup sendiri, kuliah atau menjalani kehidupan lajang," ujar Ghafour. "Jadi mereka harus menikah dan punya anak."
Beberapa pria pergi ke Yordania dengan niat baik, atas dasar kewajiban agama atau mencari istri yang baik. Namun karena tidak ada cara untuk memeriksa latar belakang calon pengantin pria dan keluarga mereka, para keluarga tidak yakin apakah anak-anak perempuan mereka akan diperlakukan dengan baik.
Advertisement
Bayangkan Ladies, fenomena ini telah menciptakan peluang bisnis baru. Ghafour menggambarkan kisah “Um Majid,” seorang pengungsi berusia 28 tahun dari Homs yang bekerja sebagai makelar pernikahan.
Majid mengatakan pekerjaannya dimulai ketika sebuah organisasi bantuan lokal mendekatinya dan bertanya apakah ia kenal "perempuan-perempuan muda cantik." Sebagian besar bisnisnya dilakukan dari mulut ke mulut. Terkadang, akunya, ia pergi ke kamp Zaatari sebagai pekerja bantuan untuk mencari calon pengantin bagi klien-kliennya. Ia merasa malu, namun menambahkan bahwa ia harus bertahan hidup, jadi tinggal pilih untuk mengeksploitasi atau dieksploitasi.
Seorang perempuan Suriah bersama dua anaknya di dalam apartemen mereka di Mafraq, sebelah utara Yordania. Suaminya tetap tinggal di Suriah.
Oleh: Fadhila Eka Ratnasari
(vem/riz)