Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.
***
Siapa sih yang nggak pernah punya salah? Siapa sih yang nggak pernah sakit hati? Kedua pertanyaan tersebut tergambar jelas, bahwa dalam hidup ini tak lepas dari salah dan menyalahkan. Terkadang kita sebagai manusia dengan sadar menyakiti perasaan orang lain yang seolah-olah orang itu adalah orang tersabar dan dengan mudah memaafkan apa yang telah kita perbuat. Begitu juga sebaliknya, terkadang kita juga terlalu sabar sehingga memudahkan orang untuk menyakiti. Namun itu semua tidak berarti apa-apa jika kita sebagai manusia belum mampu menerima kesalahan diri sendiri.
Advertisement
Beberapa tahun terakhir adalah sebuah perjalanan yang sangat panjang dan mungkin masih belum berujung hingga saat ini. Menjalani hidup yang terbiasa jauh dari orangtua bukan pilihan saya sepenuhnya, hal itu saya lakukan demi pekerjaan.
Menjalani kehidupan sendiri sebagai wanita singleyang disibukkan dengan bekerja sambil kuliah tak lantas membuat saya patah semangat. Pernah, saya tidak makan nasi selama dua minggu. Cuma roti seribuan yang setia mengisi perut waktu itu. Maklum saja, pengeluaran ekstra untuk membantu orangtua membuat saya mengesampingkan kebutuhan saya sendiri. Bisa dikatakan saat itu berat badan saya ideal ya, karena tidak menyentuh nasi selama dua minggu. Maaf kata, saya tidak takut mati karena tidak makan nasi. Toh sampai sekarang saya masih bisa bertahan hidup. Saya yakin, masih banyak di luar sana ribuan perut yang mungkin tidak terisi sama sekali.
Hidup susah bukan hanya baru kali ini saya hadapi, hal itu sepertinya belum mau lepas dari diri saya. Tapi alhamdulillah, sesusah apapun saya menjalani hidup ini, saya masih tahu makna syukur itu apa. Selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta adalah kunci utamanya.
Seandainya saya jadi menikah sebelum ramadan tahun ini, mungkin ramadan 2018 ini adalah ramadan yang sangat berarti bagi saya. Menjadi seorang istri di ramadan pertama itu mungkin akan menjadi momen yang paling berharga. Tapi, itu seandainya.
Kenyataannya, sampai hari ini pun saya masih single. Bukan karena saya banyak memilih, tapi karena orang yang saya pilih memilih untuk pergi begitu saja. Ya, gagal menikah. Mantan saya memutuskan untuk pergi begitu saja dengan alasan yang terlalu kekanak-kanakan saat mendekati momen-momen yang sangat saya impikan yaitu pernikahan. Tepat sebulan setelah kejadian itu, kami masih berkomunikasi baik dengan harapan bisa saling memperbaiki. Dan hingga pada bulan keduanya putus komunikasi sejalan dengan kabar pernikahannya dengan wanita lain.
Sejak saat itu, mungkin dia pantas mendapat predikat orang terjahat yang pernah saya kenal. Sakit nggak sih? Jika ditanya sakit, ya pasti sakit. Seberapa kecewa? Mungkin selangit. Ada trauma nggak? Saya percaya rencana Tuhan jauh lebih baik. Saat saya memulai untuk terus menapaki hidup, saya masih sering mendengar kabar tentang mantan saya yang sekarang hidup berbahagia dengan pilihannya. Saya bisa apa? Selain terus melangkah meninggalkan janji-janji pernikahan yang pernah dibisikkan ke telinga saya.
Menyibukkan diri dengan bekerja sambil kuliah sepertinya sudah cukup untuk menepis segala gundah hati seorang wanita yang memimpikan pernikahan ini. Namun, tidak se-enjoy yang kalian pikirkan guys.Kelihatannya memang enak, atau mungkin ada yang berpikiran bahwa bekerja sambil kuliah itu ribet. Karena itu pilihan saya ya risiko apapun saya terima dengan lapang dada. Salah satunya perlakukan bos yang tidak adil. Mungkin tidak hanya saya yang merasakannya, mungkin anda juga. Siapa yang pintar cari muka, itulah yang menjadi primadona di dunia kerja.
Apalah daya saya yang hanya bekerja sesuai kewajiban dan tanggung jawab sambil mengelus dada. Dan parahnya lagi, anak baru yang baru hitungan bulan bekerja gajinya bisa jauh lebih besar dibanding gaji saya yang sudah bertahun-tahun bekerja. Lagi-lagi saya hanya bisa mengelus dada. Kembali lagi guys, dalam hidup ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Kita tinggal menerima dan menjalankan. Cobaan hidup itu nggak bakal ada habisnya. Pasti akan ada terus seiring bertambahnya usia atau bahkan ujiannya jauh lebih berat. Tapi ingatlah, Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Kadang makan kadang tidak, gaji pas-pasan, pengeluaran banyak, anggaplah itu sebagai jalan pendekatan diri kita kepada Tuhan.
Hal terpahit yang saya rasa cukup pedih adalah ketika gagal menikah karena ditinggal nikah. Ketika pertama kalinya saya berada di zona sakit itu, saya berpikir, “Ya Tuhan, aku percaya rencana-Mu jauh lebih baik dari rasa sakit ini.” Sembari dengan hal itu saya memutar otak lagi, oh mungkin saya belum bisa menjadi sosok istri yang baik sesuai dengan apa yang diharapkannya. Ya sudah, saya harus lebih memantaskan diri lagi, dengan cara apa? Mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menjadi bahan olokan di kantor karena gagal menikah itu seperti nonton di bioskop sambil makan popcorn. Saya menikmati itu hingga hari ini. Positive thinking,dia bukan calon imam yang baik untuk saya menuju surga, itu saja. Ribetnya menjadi karyawati yang dikesampingkan nggak masalah, karena saya mempunyai prinsip bekerja sesuai kewajiban, tanggung jawab dan loyalitas. Lagi dan lagi saya memutar otak, oh mungkin saya harus meningkatkan kinerja saya nih. Semakin banyaknya rasa sakit yang hinggap, semakin banyaknya ketidaknyamanan dalam menjalani hidup, dan semakin menumpuknya masalah yang datang dan pergi, membuat saya menyadari bahwa ada kalanya saya melihat ke dalam diri. “Ada yang kurang di diri ini," “Ada yang salah di diri ini."
Hal itu membuat saya terus berevolusi, saya percaya rasa sakit dan beragam problematika itu jembatan untuk saya menjadi manusia lebih baik. Semakin mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Hati. Insyaallah, kita akan lebih mudah memaafkan yang lalu-lalu sehingga itu menjadi pengobat diri hari ini. Kok bisa semudah itu sih? “Semudah” itu. Ya, karena saya dan kita semua punya Tuhan. Percaya atas apa yang telah dititipkan Tuhan kepada kita dengan waktu yang sesaat dan pergi dengan cara yang sakit adalah bisikan yang menuntun kita menuju sabar untuk menjadi manusia lebih baik.
(vem/nda)