Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.
***
Akhir-akhir ini sering kali terdengar berita di koran, televisi, maupun media sosial tentang bullying. Dan apakah kamu tahu? Aku salah satu korban dari bullyingitu. Aku tahu betul apa yang mereka rasakan saat harga diri mereka dimainkan.
Advertisement
Mulailah dengan prasangka baikmu
Setelah lulus sekolah aku sempat menjalani kursus menjahit. Selama 3 bulan aku sudah bisa dikatakan lulus tes menjahit. Tempat kursusku menyalurkanku dan dua orang temanku ke pabrik busana di sekitar tempat tinggalku. Aku berharap pekerjaan ini dapat membawa pengaruh positif kepada kami. Aku dan temanku diterima baik oleh seorang kepala bagian dan karyawan di sana.
Sudah beberapa minggu di sana, aku sudah merasa lelah dengan rutinitas pekerjaan ini. Sehingga aku mulai mencari informasi pekerjaan lain tanpa sepengetahuan kepala bidangku. Salah seorang temanku bertanya tentang karierku. Aku pun bercerita jika bekerja di sini menyenangkan tapi tidak menuntut kemungkinan kalau nanti aku akan berpindah tempat kerja. Tanpa sepengetahuanku teman kerjaku ini menceritakan keinginanku untuk berpindah tempat kerja kepada kepala bidangku. Beliau memang tidak marah secara terang-terangan kepadaku. Tapi beliau menghukumku dengan batinku sehingga beliau memberi pekerjaan yang tidak sesuai job desk-ku.
Aku bingung, kenapa dengan kepala bidangku? Apa aku melakukan kesalahan? Memang benar pada waktu itu aku masih tidak mengetahui bahwa teman kerjaku telah menusukku dari belakang.
Apakah kamu tidak bisa bersikap bijaksana dan berwibawa?
Aku dipindahkan dari mejaku karena alasan bahwa aku harus membantu tugas potong-potong kain. Baiklah aku terima. Beberapa hari aku bergulat dengan gunting dan kain. Hingga begitu asyik. Itu salah satu cara untuk menutupi bagian kesedihanku. Bagian personalia ditarik lagi ke meja jahit untuk diajari menjahit pola yang lebih rumit, karena dirasa aku bisa melakukannya. Aku pun beberapa hari belajar dengan beliau. Tepat H-1 lebaran, aku bingung dengan keputusanku. Apakah ingin tetap di sini atau pergi ke Jakarta untuk bekerja sesuai dengan keahlianku yang lain.
Sampai siang hari aku masih belajar menjahit pola. Beberapa saat kemudian kepala bidangku mendekatiku. Beliau bilang kalau aku harus membersihkan ruangan ini dan tempat meja kain sekarang juga. Tanpa berpikir panjang, aku melaksanakan perintahnya. Tak peduli job desk awalku apa, yang penting selagi perintah itu bukan maksiat akan aku kerjakan dengan kekuatanku.
Pelan-pelan aku membersihkan meja kain itu dari debu-debu. Dan karena memang waktu itu aku berpuasa. Aku tahan air mataku. Aku harus berjanji pada diriku bahwa selagi orang lain menghinamu, jangan tampakkan kesedihanku di depan mereka. Dengan senyum aku masih menyapu lantai ruang ini sedangkan semua karyawan sibuk dengan pekerjaannya. Hingga salah satu temanku menyuruhku berhenti melakukan hal itu. Sampai sore hari, kepala bidangku mulai membagikan gaji karyawan.
Dendam hanya akan membuat luka di hati
Aku masih termenung. Tidak pernah menyangka bahwa kejadian seperti itu menimpaku. Aku berpikir kejadian itu hanya akan ada di cerita televisi. Ternyata salah, hal buruk itu menimpaku saat ini. Aku sangat sedih, hancur, harga diriku diremehkan di sini. Aku tidak menyangka perusahaan sebesar ini mempekerjakan seorang manusia dengan hati yang sangat buruk.
Sampai akhir sore di ruangan ini aku tidak melihat temanku yang melaporkanku waktu itu. Entah dia bersembunyi di mana. Apakah dia takut denganku? Waktu pulang tiba, semua karyawan saling bermaaf-maafan. Tak terkecuali aku dengan kepala bidangku. Kami saling berjabat tangan dengan muka masamnya.
Aku tidak pernah mengerti apa yang membuat dia begitu membenciku. Padahal apabila keputusanku untuk keluar dari perusahaan ini benar, itu tidak akan merugikannya. Jelas, banyak karyawan-karyawan ahli dibanding aku. Dan bukan seperti itu cara memperlakukan seorang pekerja jika kamu adalah pemimpin yang bijaksana.
Keputusanku sudah bulat, untuk mengundurkan diri. Sepanjang jalan menuju rumah aku menangis, melampiaskan kesedihanku yang mungkin sudah tersimpan sejak pagi tadi. Rasa marah, kecewa, dan sedih bercampur. Aku harus menyelesaikan air mataku ini di jalanan. Aku tidak ingin membuat orangtuaku bersedih dengan apa yang terjadi denganku. Sepanjang jalan aku hanya berpikir, apakah ini adalah kesalahanku? Apakah aku harus meminta maaf dengan beliau? Yang terpenting adalah aku mencoba memaafkan luka itu. Kalaupun itu berat, akan aku coba dengan ikhlas.
- Pantang Menyerah, Pria Jalan Kaki dari Pekalongan Menuju Mekkah
- Setelah Gagal Menikah, Allah SWT Memberiku Kesempatan Merawat Ibu
- Kukorbankan Kesucianku Untuknya Tapi Teganya Dia Menyayat Hatiku
- Telat Wisuda karena Hamil, Berat Rasanya Tapi Malah Berbuah Manis
- Diperbudak Cinta & Nafsu, Hidupku Hancur Sampai Allah Menuntunku