Mimpi atau cita-cita di masa remaja adalah sesuatu hal yang akan menjadi penentu kesuksesan seseorang di masa depan. Hal itulah yang aku anggap penting di usia remaja yang terkadang masih memiliki pemikiran labil. Terlebih lagi, prinsip tersebut juga menjadi penentu setelah kita mencapai usia pendidikan lanjut tingkat akhir. Manusia pada dasarnya selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam hidupnya, setiap manusia tersebut mengambil suatu pilihan, maka akan selalu ada hal yang dikorbankan.
Di usia 18 tahun, tepatnya di tahun 2009, aku masih memegang prinsip tersebut. Impian sejak kecil menjadi wanita karier yang bekerja di kantor dengan komputer di depannya adalah salah satu hal yang aku kagumi sejak dulu sampai di umurku yang ke-18 tahun. Menurutku, wanita dengan setelan kemeja, blazer dengan rok pendek atau dengan celana bahan adalah style yang paling keren untuk perempuan pekerja. Maklum, aku adalah sosok yang pendiam dan sering terlihat dengan penampilan boyish.
Setelah mengikuti ujian nasional di tahun 2009, aku langsung didaftarkan ke sebuah universitas swasta dengan mengambil jurusan Akuntansi Komputer, selama aku sekolah, aku memang cukup menguasai Akuntansi dan sering didaftarkan mengikuti lomba akuntansi semasa sekolah. Hal itulah yang membuatku percaya diri melanjutkan pendidikan dengan mengambil jurusan yang aku suka dan aku kuasai.
Namun, dua hari setelah aku selesai melakukan pembayaran di universitas tersebut, pengumuman SNMPTN keluar. Ya, aku sudah didaftarkan untuk mengikuti tes SNMPTN oleh wali kelasku, dia memaksaku untuk mencobanya. “Sayang kalau tidak dicoba, kamu kan pintar," ucap wali kelasku. Saat itu, SNMPTN masih dengan sistem tes tertulis. Tahu, apa yang aku pilih saat pendaftaran? Aku memilih jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada pilihan pertama dan Jurusan Perbankan Syariah di pilihan kedua. Entah kenapa aku memilih pendidikan bahasa, mungkin karena aku suka menulis puisi sejak SMA. Sejak aku menyukai kakak kelasku, tiba-tiba aku menyukai menulis, terutama puisi.
Aku telah lupa dengan SNMPTN, hingga ayahku yang sangat antusias dengan hasil pengumuman SNMPTN, membelikan aku koran di pagi hari itu. Di zamanku, pengumuman tersebut dapat dilihat di koran tertentu. Penasaran dengan hasilnya, aku mulai mencari di deretan nama yang dicetak sangat kecil di koran tersebut. Aku mencarinya berdasarkan nomor peserta, tiba-tiba aku melihat namaku terselip di antara ribuan nama. Hanya ada satu kata dan hanya dieja 4 huruf, dengan polosnya kuteriakkan ada namaku. Ayah terkejut, ibuku terkejut, lalu mereka heboh. Akhirnya ibuku menyuruhku untuk memilih. Pilih universitas swasta yang aku sudah daftar dan sudah dibayarkan atau pilih PTN tersebut untuk menjadi guru?
Tiba-tiba perasaan labil memelukku. Pertama, aku membayangkan kalau aku menjadi guru maka saat aku menikah, aku masih bisa bekerja karena pekerjaan sebagai guru yang masih bisa disesuaikan dengan kesibukanku nantinya sebagai ibu rumah tangga. Kedua, ilmuku akan terus mengalir pada anak didikku bahkan ketika aku sudah meninggal. Ketiga, aku merasa banyak berdosa dan aku ingin menebusnya dengan mencerdaskan anak bangsa. Sungguh pikiran yang sangat idealis bagiku. Aku pun optimis memilih menjadi guru.
Sebenarnya ibuku kurang setuju dengan pilihanku, ia ingin aku bekerja di kantoran untuk membantu keuangan keluarga. Ditambah lagi, aku sudah melunasi pembayaran di universitas swasta sebelumnya dan tidak bisa dikembalikan lagi karena sudah lewat dari tenggat waktu. Namun, setelah kusampaikan alasanku memilih menjadi guru, ibuku pun berusaha menerimanya, ia merasa terharu dengan alasanku memilih. My life, my choice, begitulah aku mengakhiri perasaan labil di usia remaja saat dihadapkan dalam dua pilihan penentu masa depanku.
Sekarang setelah aku menjadi guru, aku tidak pernah menyesal. Cita-citaku menjadi wanita karier pekerja kantoran hilang sudah, berganti menjadi seorang guru yang bertolak belakang dengan cita-cita abadiku. Cita-cita abadiku berhenti di usia 18 tahun. Walau jadi guru tidak mudah bagiku karena aku harus memahami karakter anak ternyata berbeda-beda. Aku malah makin mencintai dunia pendidikan.
Aku bahagia bisa mencerdaskan anak-anak, aku selalu belajar memahami anak-anak didikku. Di balik suatu pilihan selalu ada yang dikorbankan, ada yang dikalahkan. Tapi semua tergantung bagaimana cara kita memaknai hidup dan menerima konsekuensi dari pilihan yang sudah kita ambil.
Advertisement
- Yakin Saja, Setiap Bidang Pekerjaan Punya Ladang Rezekinya Masing-Masing
- Meski Tidak Bisa Menyelesaikan Kuliah, Selalu Ada Jalan Wujudkan Mimpi Lain
- Bergelar Sarjana Jadi Ibu Rumah Tangga, Nggak Masalah Kok!
- Masa-Masa Sulit Saat Sekolah Bisa Membuat Mental Seorang Wanita Lebih Kuat
- Remuk Hatiku Saat Suami Memilih Pelakor, Tapi Kutegarkan Jiwa demi Putraku
(vem/nda)