Hidup adalah pilihan. Menentukan pilihan adalah kewajiban manusia untuk melanjutkan hidupnya. Setiap orang berhak menentukan pilihan hidupnya masing-masing. Begitu pula denganku.
Aku baru saja lulus dan menjadi sarjana. Para sarjana baru ini lantas berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan di tempat yang diinginkannya. Berbeda dengan kebanyakan teman-temanku, aku memilih untuk tak berkarir di kota besar. Ya, aku telah memilih untuk pulang ke kampung halamanku.
Banyak orang yang menyangsikan pilihan yang kuambil. Terutama orang-orang terdekatku. Mereka menganggap aku tak akan bisa betah jika memilih untuk pulang ke kampung halaman. Mengapa aku tak berkarier saja di kota? Mengapa aku tak ambil saja pekerjaan di kota dengan gaji yang besar? Atau mengapa aku tak melanjutkan saja pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi sedini mungkin? Mereka menyayangkan jalan pikiranku yang memilih untuk pulang.
Advertisement
Hal ini cukup membuat diriku merasa kebingungan. Aku merasa bimbang dengan pilihan yang kuambil. Aku merasa orang-orang di sekitarku tak mendukung keputusanku. Meski begitu, aku tahu mereka bertindak demikian karena mengkhawatirkan masa depanku. Tak jarang aku juga merasa khawatir. Aku khawatir dengan masa depanku nanti. Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku dan terus saja membayangiku. Apakah aku akan bahagia dengan pilihan yang kuambil, atau apakah aku akan sanggup menjalaninya?
Aku tentu punya pemikiran sendiri. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Aku berpikir bahwa jika aku pulang, setidaknya bisa merawat menyenangkan hati orangtuaku. Aku ingin berada di samping mereka yang sudah mulai berusia lanjut. Aku yakin mereka akan tetap bangga denganku, meskipun aku tak bekerja di kota besar. Meski banyak yang berkomentar tentang keputusanku ini, tapi aku tahu di lubuk hati mereka, ayah dan ibu tetap bangga dengan putrinya ini.
Akhirnya dengan segala rasa yang bercampur baur di hati dan pikiranku, aku tetap pada keputusanku untuk pulang. Aku memutuskan untuk menjadi guru honorer di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan jurusan pendidikan yang kuambil di bangku perkuliahan. Menjadi guru honorer dengan gaji yang pas pasan tentu bukan hal yang mudah. Namun, jika dijalani dengan hati yang tulus semua terasa ringan. Aku menemukan kebahagiaan dari pekerjaan baruku ini. Menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus mengajarkanku tentang arti mensyukuri nikmat. Aku jadi lebih banyak bersyukur dengan segala nikmat yang kudapatkan dari Tuhan.
Aku menilai dalam hidup tak ada yang namanya ‘pilihan yang salah’. Semua pilihan tentu ada konsekuensinya. Kita lah yang menjalani pilihan yang kita ambil dan akan menanggung konsekuensi itu, bukan orang lain. Orang lain akan selalu berkomentar tentang pilihan yang kita ambil. Mungkin orang lain memandang aku telah memilih pilihan yang salah. Tapi aku selalu yakin, pilihanku ini akan membawa ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupku. Juga membawa secercah senyuman bagi dua orang yang selalu kusayangi, ayah dan ibuku. (Lina/Jawa Timur)
- Hari Pendidikan Nasional: Tetaplah Semangat Rekan-Rekan Guruku di Indonesia
- Mengubah Penampilan Ternyata Bisa Mengubah Banyak Hal dalam Hidup
- Menjadi Guru dan Mengabdi, Meski Gajinya Kecil Tetap Kujalani dengan Hati
- Masa-Masa Sulit Saat Sekolah Bisa Membuat Mental Seorang Wanita Lebih Kuat
- Bergelar Sarjana Jadi Ibu Rumah Tangga, Nggak Masalah Kok!