Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Hidup adalah pilihan. Seperti itulah aku memaknai perjalanan hidupku. Usiaku 30 tahun ketika memutuskan menikah dengan pria yang usianya lebih muda 5 tahun dariku. Banyak pertimbangan saat itu ketika memutuskan menikah dengan pria yang lebih muda, termasuk perbedaan-perbedaan yang sejak awal kami bawa. Tapi setelah proses perkenalan selama 3 tahun kuputuskan untuk menerima pinangannya.
Aku pernah bertanya kepadanya, “Mengapa harus menikahi perempuan yang lebih tua? Aku akan lebih cepat menua mungkin juga aku akan lebih dahulu pergi meninggalkanmu?” Dia menjawab, “Urusan hidup dan mati bukan urusanmu, biarkan Allah SWT menentukan siapa yang lebih dahulu akan pergi." Jawaban itu yang membuatku mengiyakan menikah dengannya.
Menikah dengannya membuat kami terpisah. Kami menjalani hidup berumahtangga long distance relationship. Aku bekerja di Kendari sebagai PNS dan dia bekerja di Jakarta. Saat itu tak mudah bagi kami karena aku dan suami harus bolak balik meluangkan waktu untuk bertemu sebulan sekali atau dua bulan sekali, belum lagi karena setelah 6 bulan pernikahan aku mengalami keguguran dan setelah itu sangat sulit bagi kami untuk memperoleh anak.
Advertisement
Kami menjadi pejuang buah hati, berobat kesana kemari, mendatangi beberapa dokter kandungan untuk mendapatkan opsi lain, mendatangi tukang urut karena kata orangtua itu biasa berhasil, bahkan sampai berniat untuk mengangkat anak sebagai pancingan. Semua kami lakukan untuk punya anak, tapi sampai tahun kedua pernikahan kami belum juga dikaruniai buah hati.
Aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti suami, pindah ke Jakarta. Alhamdulillah urusannya dipermudah. Aku akhirnya pindah ke Jakarta dan mulai bekerja di sana. Itulah pilihanku, mengikuti suami, pikirku saat itu lebih mudah melepaskan pekerjaan ketimbang harus melepas suami, karena bagiku ridho suami yang terpenting dalam hidup ini.
Hidup di Jakarta tidak mudah bagiku, ke kantor setelah subuh dan sampai ke rumah setelah isya. Tiga tahun pernikahan dan enam bulan setelah pindah ke Jakarta, aku akhirnya hamil. Kami bahagia sekali saat itu, sayangnya, kehamilanku tak berjalan mulus. Di minggu keenam, flek merah mulai keluar. Saat itu terbayang lagi ketakutan saat keguguran anak pertama.
Dokter kandunganku saat itu membuatku memilih lagi, “Ibu, lebih menyayangi anak atau pekerjaan, jika anak maka berhentilah bekerja sampai kandungannya kuat,” kata dokter kandungan. Aku akhirnya cuti selama hampir 2 bulan, bersyukur memiliki atasan perempuan yang juga punya pengalaman yang sama sehingga mudah bagiku meminta izinnya untuk tidak bekerja.
Tapi Allah SWT berkehendak lain, setahun hidup bersama di saat kandunganku menginjak usia enam bulan, suamiku meninggal setelah sehari sebelumnya didiagnosa hiperglekimia. Saat itu duniaku runtuh, laki-laki yang kuikuti sampai ke Jakarta pergi meninggalkanku. Dunia menjadi gelap, satu-satunya yang kuingat bahwa saat itu hidup seorang anak bergantung padaku.
Semua kesedihanku, kelaraanku, kedukaanku, kulepaskan karena tia pkali aku merasakan semua itu, janin dalam kandunganku bergerak kencang tak berhenti. Kehilangan suami membuat keduaorangtuaku memanggilku kembali untuk pulang bersama mereka. Pilihannya pulang ke Kendari untuk melahirkan anak lalu kembali bekerja di Jakarta, atau pindah ke Kendari dan merawat anak ini. Aku memilih pindah kembali ke Kendari, karena kusadari semua hal yang dijanjikan di Jakarta sudah tidak ada artinya lagi. Pulang kembali ke Kendari melahirkan anak perempuan yang cantik dan kembali bekerja di kantor sebelumnya adalah pilihanku.
Sekarang adalah tahun ketiga di mana aku memilih tinggal di Kota Kendari meninggalkan kegemerlapan Jakarta menjadi single parent yang merawat anakku dengan sepenuh hati dan cinta meski dalam ketidaksempurnaan, karena kita takkan pernah tahu kapan waktu untuk kita berhenti, kenangan-kenangan indah tidak akan terulang lagi. Tumbuh kembang anak bukan hal yang bisa ditunda dan diulang, itulah sebabnya aku memilih pulang ke tempat yang bebas macet, yang akses ke mana saja mudah sehingga jika sewaktu-waktu anakku membutuhkanku maka aku akan selalu ada di dekatnya.
Entah besok jika aku bertemu jodoh lagi. Hanya Allah SWT yang mengetahuinya yang kuharapkan semoga aku dan anakku selalu bahagia.
- Dapat Suami dari Foto Medsos, Ada Kisah Unik Saat Jatuh Bangun Mengejarnya
- Pilihan Hidup Itu Terus Bertumbuh, Meski Lebih Memusingkan Saat Kita Dewasa
- Lanjut Kuliah Setelah Menikah Bukan Hal yang Mustahil, Kok!
- Kalau Belum Bisa Resign, Ya Sudah Nikmati Saja Pekerjaan yang Ada
- Hamil di Usia 15 Tahun, Bercerai Juga di Usia 15 Tahun
(vem/nda)