Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Perkenalkan namaku Nadia Ulfa, biasa di panggil Nanad, aku adalah mahasiswi semester 4 jurusan Bahasa Inggris di salah satu universitas di Aceh. Aku kelahiran tahun 1998 dan sekarang usiaku 19 tahun. Kisah ini berdasarkan pengalamanku sendiri. Aku mendapat kesempatan menjadi volunteer di salah satu sekolah terpencil di Aceh. Sekolah tersebut hanya mempunyai 2 orang guru tetap dan memiliki 5 kelas yang berfungsi. Mereka sama sekali tidak menggunakan kurikulum yang telah disepakati pemerintah. Sekolah itu pun tak pernah mendapatkan bantuan dana.
Kugambarkan terlebih dahulu sekolah yang membuat aku enggan pulang ke rumah. Nama sekolah tersebut adalah Sekolah Merdeka, walau seluruh siswa siswi bahkan para guru di sana belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Sekolah itu asing dari rumah penduduk, terletak di atas bukit tinggi, jauh dari permukiman warga. Jika kau dapat melihat, bangunan pertama sekolah tersebut persis seperti sekolah yang ada di film Laskar Pelangi. Jauh dari kata nyaman. Tak ada aliran listrik maupun sinyal di kampung tersebut.
Aku berangkat ke Sekolah Merdeka pada 1 April 2018, untuk berbagi ilmu bahasa Inggris yang selama ini aku pelajari, selama 2 minggu. Tanpa digaji maupun dijamin keselamatannya selama di perjalanan. Sebelum hari keberangkatan, aku sudah banyak mendengar tentang perjalanan ke sekolah tersebut, tentang masyarakat di sana, dan tentang sekolah itu sendiri, yang awalnya dibangun oleh warga. Untuk ke sana hanya ada satu jalan yang dapat dilewati, dan itu bukan jalan darat. Aku harus menyusuri sungai selama lebih dari 7 jam untuk dapat ke sekolah tersebut. Di saat aku berangkat air sedang naik dan menguning.
Rasa bosan dan kantuk pun menghampiriku, sesekali mataku terpejam dan terbangun karena percikan air. Di perjalanan aku melihat buaya besar yang sedang berjemur di pinggir sungai. Entah mengapa, tak ada rasa takut pada diriku. Hanya rasa penasaran yang semakin membesar tentang sekolah itu. Kurang lebih 1 jam lagi sampai ke tempat tujuan, aku bertemu dengan batu katak yang banyak diceritakan orang. Batu besar yang berada di tengah sungai dan sudah banyak memakan korban jiwa. Memang benar batu tersebut susah untuk dilewati, karena menutupi jalan kapal dan kadang mempunyai pusaran air, terlebih lagi keberangkatanku ke sana melawan arus air.
Advertisement
Tak jauh dari batu katak, aku melihat banyak kain kafan yang diikat pada ranting-ranting pohon di pinggir sungai. Menurut cerita warga, kain itu memang sengaja mereka ikat di sana untuk menghargai orang-orang yang mati di saat melewati batu katak tersebut. Sudah banyak memakan korban, termasuk para pembagi ilmu lainnya yang ke sana sebelum aku. Sedikit menyeramkan memang, tapi aku percaya jika niat yang baik itu tidak akan menghasilkan kekecewaan.
Kepergianku untuk ke Sekolah Merdeka juga tidak semulus yang dibayangkan, mengingat bulan ini aku dipenuhi dengan ujian di kampus. Di unitku hanya aku yang tertarik untuk mengajar ke sana. Dari beberapa dosen yang aku jumpai, mereka mendukung kegiatanku, tapi ada juga yang tidak. Beliau berpendapat bahwa kuliah lebih penting daripada mengajar. Memang sih, aku masih semester 4 dan jadwalku mengajar masih lama. Tapi, aku juga mempunyai pendapat sendiri, tujuanku kuliah untuk berbagi ilmu, untuk memperbaiki diriku ke arah yang lebih baik. Jika hanya kuliah, apa yang aku dapatkan? Karena pada nyatanya keadaan di lapangan selalu berbeda dengan teori yang dipelajari di kampus.
Aku senang beberapa dosen mendukungku, walau ada dosen yang berat memberiku izin untuk itu. Aku paham, beliau takut aku ketinggalan pelajaran. Tapi ini pilihanku, anak-anak di pelosok sana sangat butuh guru untuk membimbing mereka ke arah yang lebih baik, mungkin setelah aku akan ada guru-guru baru yang tertarik untuk mengajar di sana, walau jauh dari keramaian, tidak ada listrik dan sinyal, tapi apa yang aku dapatkan di sana tak akan pernah aku dapatkan hanya dengan diam di kampus.
Masyarakat di sana sangat menghargai guru, mereka menungguku di pinggir sungai walau hari sudah malam, mengantarku untuk beristirahat di rumah yang aku tempati selama 2 minggu. Di sana aku benar-benar berjumpa dengan murid-murid yang haus akan ilmu. Sangat tekun dan bersemangat, aku sangat merasa dihargai, tidak dengan uang memang, tapi perlakuan mereka sudah lebih dari cukup untukku. Walaupun banyak rintangan yang harus aku lalui untuk itu, tapi kembali lagi. Ini pilihan hidupku, berbagi ilmu untuk mereka yang merindukan ilmu. Ke pelosok daerah dan jauh dari orang tua. Setelah lebaran ini aku akan kembali mengajar di sana. Tak ada rasa takut maupun lelah, semangat mereka yang membuatku malu jika aku berhenti cukup sampai di sini.
Sebelum pulang, aku diantar murid-muridku ke pinggir sungai. Banyak surat dari mereka yang aku bawa pulang ke rumah, termasuk surat yang tertuju untuk ayah ku. Isi surat tersebut, "Untuk ayah Miss Nanad, tolong izinkan Miss Nanad kembali ke Sekolah Merdeka lagi untuk mengajar kami." Kurang lebih begitu.
Muridku merasa takut jika ayahku tidak mengizinkan aku kembali ke sekolah tersebut, karena ayah juga tahu, untuk ke sana banyak jalan yang dapat membuatku dalam bahaya. Tapi niatku untuk kembali sudah bulat. Aku meyakinkan ayah untuk mengizinkanku kembali ke sana. Apapun itu, aku hanya ingin berbagi ilmu, bertahan bagaimana jauh dari orang tua, dan belajar menghargai segala sesuatu. Cita-citaku simpel, hanya ingin berbagi ilmu dan bermanfaat untuk orang lain.
- Daripada Galau Nunggu Jodoh, Mending Sibuk Berkarier dan Memantaskan Diri
- Sebelum Menikahi Pria Beda Keyakinan, Restu Orangtua Harus Didapatkan
- Meski Dihina Bodoh dan Buruk Rupa, Jangan Sampai Dendam Melumpuhkan Jiwamu
- Jadi Tulang Punggung Keluarga, Wanita Sulung Selalu Punya Hati yang Tabah
- Kita Nggak Punya Kewajiban Mengikuti Gaya Hidup Semua Teman Kita
(vem/nda)