Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Katanya tak ada yang lebih mudah untuk didapatkan secara gratis di dunia ini selain sebuah mimpi. Yah, di kehidupan ini kita dibebaskan untuk bermimpi tanpa dipungut biaya sepersen pun. Tapi mau seindah apapun mimpi kita, pada akhirnya semua mimpi-mimpi itu tergantung pada si pemiliknya. Apakah akan dijadikan sebuah hal yang nyata atau dibiarkan berlalu seperti halnya mimpi-mimpi pengantar tidur?
Aku juga punya mimpi. Sebuah mimpi sederhana yang tak muluk-muluk. Mau dikata apa, untuk gadis kecil yang terlahir dari keluarga kurang mampu sepertiku ini, aku harus tahu tentang porsi mimpiku sendiri. Aku boleh saja bermimpi setinggi langit, tapi aku juga tak boleh lupa bahwa kakiku masih menginjak tanah dan tubuhku masih berada di Bumi.
Advertisement
Aku hanya ingin kuliah. Ingin menjadi seorang mahasiswi. Ingin duduk di ruang kelas dan khusyuk mendengarkan materi yang dijelaskan oleh dosen. Dan aku ingin sekali memakai toga.
Aku tahu untuk meraih impian itu, aku akan menempuh jalan berliku. Jalan yang mungkin tak mudah untuk aku hadapi. Kesulitan masalah ekonomi membuatku bekerja keras dalam belajar. Aku mungkin terlahir menjadi anak orang miskin, tapi paling tidak dalam hidup ini jangan sampai aku menjadi seseorang yang miskin ilmu.
Aku belajar dengan giat setiap harinya. Dan tak ada sebuah hasil yang menghianati sebuah usaha. Nilai-nilai pelajaranku bagus dan aku bahkan mendapat peringkat pertama di kelas. Aku cukup bersyuku, paling tidak aku tak perlu membebani kedua orangtuaku dengan biaya sekolah karena aku bisa mendapatkan beasiswa.
Aku mencoba mempertahankan nilaiku hingga lulus sekolah dan beruntung aku bisa masuk ke universitas ternama di kota kelahiranku tanpa tes. Aku masih gemetaran saat mendengar kabar membahagiakan itu dari guruku. Impianku akhirnya terwujud.
Tapi hidup ini tak seindah kisah di sebuah novel. Dengan penuh kekecewaan aku akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus impianku itu. Biaya hidup saat itu sangat susah, bapak punya banyak utang dan aku tak sampai hati untuk meminta izin pada bapak untuk meneruskan sekolahku.
Semangatku untuk sekolah masih terus bersemayam di hatiku. Menganggur dan merutuki nasib bukanlah solusi dari segala bentuk kekecewaanku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk merantau ke Pulau Batam. Pulau yang jauhnya ribuan mill dari kampung halamanku. Di tempat itulah aku mengadu nasib seorang diri sebagai buruh pabrik. Sebenarnya aku takut berada jauh dari keluarga, tapi karena tekadku untuk meraih mimpiku, aku tetap bertahan di tempat itu.
Setelah tiga tahun berada di sana, aku pulang dan membawa tabungan yang akan aku gunakan untuk biaya sekolahku nanti. Tapi siapa sangka, takdir kembali mengujiku. Membuatku harus mengambil sebuah keputusan. Aku sangat ingin sekolah lagi, tapi di sisi lain bapak dan ibu sudah semakin tua. Bapak sering sakit-sakitan. Utang bapak pun masih banyak, bapak hanya petani kecil dan biaya hidup semakin hari semakin besar, utang bapak itu tak lain hanya digunakan karena untuk biaya hidup dan sekolah anak-anaknya.
Aku ingin sekolah. Ingin sekali. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak sampai hati melihat kedua orang tuaku terlilit hutang, terlebih rumah yang kami tempati, atapnya hampir roboh karena sudah 25 tahun tidak direnovasi. Akhirnya aku menyerahkan semua tabungan yang aku miliki kepada orangtuaku. Aku tahu, jauh di lubuk hati mereka juga merasa sedih. Tapi aku mencoba meyakinkan mereka bahwa aku tak apa-apa.
Setelah menganggur selama satu bulan, akhirnya aku diterima bekerja di sebuah pabrik di daerah Karawang. Aku kembali bekerja dan mengumpulkan semangatku kembali untuk memulai menabung.
Setelah hampir satu tahun bekerja, aku merasa uang yang aku kumpulkan sudah cukup untuk biaya kuliahku. Tapi lagi-lagi hatiku tergoyahkan akan kehadiran seorang lelaki di kehidupanku. Tanpa ragu-ragu dan penuh kesungguhan hati, seorang lelaki sederhana memintaku untuk menjadi istrinya. Aku sempat ragu, aku memilih untuk kuliah atau menikah?
Tapi pada akhirnya aku memilih menikah. Mungkin suatu hari nanti aku bisa meneruskan sekolahku lagi, tapi terkadang di dunia kesempatan bertemu dengan lelaki baik tak datangĀ berkali-kali. Aku menggunakan uang tabunganku untuk biaya pernikahan. Sehingga aku tak perlu membebani kedua orang tuaku.
Kehidupan rumah tanggaku berjalan indah, aku sungguh beruntung bisa memiliki suami seperti suamiku itu. Tak ada yang aku sesali. Namun setelah menikah, aku memutuskan untuk berhenti bekerja.
Lantas setelah dua tahun lamanya, aku sering menyisihkan uang belanja untuk ditabung, rencananya aku akan menggunakan uang itu untuk biaya kuliahku. Suamiku setuju. Tapi lagi-lagi, impianku harus tertunda. Adik iparku atau adik suami ingin sekali kuliah. Aku tak sampai hati membuatnya kecewa. Sejak kecil adikku ini sudah ditinggal ibunya dan dia hanya tinggal bersama bapak mertuaku yang kini sudah berusia 80 tahunan. Selama ini suamiku lah yang membiayai sekolahnya.
Selama ini aku tak pernah bercerita pada teman-temanku akan bagaimana sulitnya aku meraih mimpiku itu. Mereka yang begitu mudah mendapatkan uang dari orang tuanya tentu tak akan tahu bagaimana arti setiap mimpi ini.
Mereka akan dengan entengnya bicara padaku, "Kamu ini pinter di sekolah kok nggak nerusin sekolah sih?" "Nggak kuliah kok malah jadi buruh di tempat yang jauh sih?" atau, "Bukannya nerusin kuliah malah nikah muda sih!"
Aku hanya tersenyum saja menanggapi semua itu. Aku tak menyesal. Sungguh. Tak ada yang harus aku sesali dalam hidup ini. Aku masih terus belajar, aku terus membaca, dan aku terus menulis. Meski aku belum bisa menggunakan toga yang begitu aku impikan itu, tapi aku yakin suatu hari nanti aku akan bisa mewujudkannya. Ini takdirku. Ini hidupku. Dan semua ini sudah menjadi pilihan hidupku yang tak pernah aku sesali dalam hidup ini.
- Pilihan Hidup yang Dipaksakan Hanya Akan Menyiksa Diri Sendiri
- Berpisah untuk Bersatu Kembali, Kunikahi Mantan yang Sudah Berstatus Duda
- Memilih Sesuatu yang Ditentang Banyak Orang adalah Keputusan yang Berani
- Baru Kuliah di Usia 24 Tahun, Tak Ada Perjuangan yang Sia-Sia
- Menikah Lagi Setelah Suami Meninggal Tak Selalu Jadi Pilihan Terbaik
(vem/nda)