Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Aku kuat. Aku bisa. Aku harus tetap hidup. Semua akan baik-baik saja. Setiap hari aku bertekad dalam hati. Semua akan indah pada waktunya.
Advertisement
Saat itu aku baru kelas 4 SD. Nenekku membuatkan nasi goreng bawang spesial. Dengan tangan keriput dan berwajah sedih dia berkata, “Papa udah pergi, jangan sedih, ya." Ia menyeka air mata yang hampir menetes. Aku melengos dan tidak mengerti apa yang dimaksud nenek. Teringat ketika aku bertanya kepada papa, “Papa mau ke mana?” tanyaku. “Ke Bandung, teteh mau ikut?” balasnya. Lupa sudah berapa lama aku tidak menyadari bahwa saat itu papa sudah pergi. Meninggalkan mama, aku, dan adik. Mereka berpisah. Tapi aku belum mengerti.
Setelah bertahun-tahun, aku mulai mengerti dan merasa kehilangan papa. Sampai seorang teman bertanya keberadaan papa, kujawab ia bekerja di Bandung. Iya, aku sudah dewasa lebih dulu daripada usiaku. Kau tidak pernah tahu bagaimana rasanya sedih tapi tidak bisa diutarakan. Aku harus terlihat tegar di depan mama dan adik perempuanku. Terlebih teman-teman. Aku menjadi sosok anak perempuan yang kadang lebih ceria daripada teman sebayaku. Membuat lelucon yang konyol untuk menghibur diri sendiri. Tapi, aku menjadi pribadi yang tertutup, tidak ingin berbicara kepada tetangga maupun saudara sendiri. Bahkan, berbicara kepada mama saja aku batasi. Aku jago memendam perasaan. Memendam rindu pada papa. Memendam semua pertanyaan. Memendam amarah. Memendam kesedihan.
Saat itu bulan Desember, aku masih SMP. Mama menyodorkan undangan. Undangan pernikahan. Kulihat nama papa di situ. Dengan wanita Bali. Rasanya sakit sekali. Ketika kau mempunyai orang yang kau sayang lalu bukan milik kau lagi. Aku menangis di balik bantal. Keesokan harinya, aku lupakan kejadian semalam. Bukan manusia jika tidak punya perasaan iri. Aku iri dengan teman-teman saat papanya datang untuk mengambil raport anaknya. Aku juga ingin papa ikut. Tapi tidak bisa. Papa sudah menjadi milik orang lain. Aku bercita-cita, suatu saat, aku akan menemukan sosok papa yang lebih baik. Dan aku akan menjadi pribadi yang tangguh dan dicintai priaku.
Saat SMA, aku mulai jatuh cinta dengan teman kelas. Sebenarnya, hal itu mulai saat SD. Tapi ketika teringat mama, Ia bilang, jangan pacaran dulu. Pria akan datang ketika kita sudah sukses. Aku juga bukan pejuang cinta yang mati-matian untuk cinta. Keluargaku, prioritasku. Semua akan aku lakukan untuk mama dan adik.
Cita-citaku saat itu adalah lulus dan masuk PTN dengan jurusan yang aku sukai. Namun sayang, PTN tidak bertuju padaku. Aku berkuliah di PTS terkemuka di Depok. PTS yang jago akan IT-nya. Aku mengambil Sastra Inggris, karena memang itulah yang aku sukai. Aku suka membaca novel, majalah, bikin puisi cinta-cintaan, nonton film, dengerin musik, apapun yang bernuansa seni. Dan di situlah aku mengikuti kegiatan mahasiswa yaitu paduan suara. Aku suka bernyanyi. Aku bisa eksplor kelebihanku di sana. Karena itu, aku pun punya kesempatan untuk ikut berlomba di dalam dan luar negeri. Kesempatan yang sangat berharga. Aku pernah berlomba di Jakarta, Depok, Bandung dan Korea Selatan! Salah satu negara yang aku cita-citakan untuk berkunjung. Sangat beruntung sekali! Setidaknya, pengalamanku sangat menghiburku. Aku seolah lupa dengan kesedihanku yang sudah bertahun-tahun itu.
Namun, hidupku serasa hancur berkeping-keping saat mama jatuh sakit dan didiagnosa stroke. Saat itu tepat setelah selesai lomba di Penabur, Jakarta Utara. Aku menjerit dalam hati. Aku terbiasa memendam emosi. Rasanya sangat menyakitkan. Mama satu-satunya harapan agar aku bisa semangat melewati hari-hariku, kini ia tidak berdaya.
Aku usap kepalanya, aku ciumi wajahnya, rasanya menyakitkan sekali. Tidak lama dari ruang ICU salah satu rumah sakit di daerah Petamburan, Jakarta Barat, seseorang datang menemuiku. Pria yang aku kagumi dan aku cintai. Namun, seperti yang kau tahu, aku hanya memendam semua perasaanku. Tidak berani mengungkapkan perasaan kepadanya. Terlebih aku perempuan. Dengan celana pendek chino,kemeja biru lengan panjang yang ia lipat sampai siku dengan sengaja, ia membawakan makanan dan minuman yang ia beli tak jauh dari rumah sakit. Rasanya semua kesedihan runtuh saat itu juga. Ia mengatakan hal-hal yang membuatku semangat. Itu saja sudah cukup.
Adzan maghrib berkumandang, aku dan dia bergegas mengerjakan salat Maghrib di masjid rumah sakit. Setelah itu, dokter memanggil untuk mengantar mama ke ruangan baru. Mama belum sadar. Kata dokter, mama harus segera dioperasi untuk pengambilan cairan di kepalanya. Sebelumnya, mama harus dicukur dulu rambutnya supaya tidak ada kesulitan saat operasi. Aku tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Pria itu setia menemani sampai teman-teman paduan suaraku datang. Ia langsung bergegas pergi. Datang sendirian dari rumahnya yang lumayan jauh dari lokasi rumah sakit. Terima kasih. Aku akan selalu mengingat kebaikan dan perhatian kau, Di.
Berhari-hari akhirnya mama pulih juga. Makan pun harus lewat selang. Aku melewati hari-hari kelam. Terbayang sudah bagaimana hari-hari ke depan nanti. Apa kuliahku juga akan terancam? Bagaimana dengan kegiatanku di kampus? Haruskah aku mengorbankan kuliah dan kegiatanku? Lalu bagaimana aku merawat mamaku? Aku hampir putus asa. Memang kehidupanku masih ditanggung papa. Tapi jika mama sakit, fokusku hanya untuknya.
Saat itu juga, aku harus menjadi orang yang benar-benar kuat. Tidak boleh cengeng. My life, my choice. Inilah hidupku. Bukan hidup orang lain. Masa bodoh dengan hidup orang lain. Fokusku, hidupku. Tidak terasa sudah dua tahun pasca mama stroke. Keadaan mama sudah tidak seperti dulu lagi. Tapi mama sangat semangat untuk menjalani hidup. Kata mama, hidup itu harus enjoy. Kalau nggak enjoy, mau ngapain lagi? Hidup ini sudah runyam. Tak usah merasa terbebani. Asal kita masih bisa makan, tidak ada masalah. Aku bersyukur dilahirkan oleh seorang perempuan tangguh yang menginspirasi. Walaupun single parentdan tak lagi seperti dulu, beliau masih tetap semangat dan bangga padaku.
Waktu silih berganti. Dari Muharam sampai Dzulhijjah. Tiba waktunya aku lulus dari universitas kelas dunia. Sorak-sorai kemeriahan atas sebuah kelulusan. Tidak ada bandingannya saat menghadapi dunia yang nyata setelah ini. Balon-balon cantik, bunga-bunga plastik sampai asli, coklat faforit, snacks, pajangan, serta barang lucu yang sampai di tanganku. Bak seorang putri yang baru berhasil melewati ujian kehidupan. Tapi, nyatanya, bukan itu.
Setelah ini, aku akan lepas dari title mahasiswa. Aku akan menjadi seutuhnya manusia yang harus berjuang melawan dunia. Membela diri dan bertahan hidup dari serta-merta godaan dunia. Tak habis pikir, gadis kecil yang dulu dewasa sebelum umurnya ini, harus berperan dewasa karena sudah waktunya. Meninggalkan hobi tercintanya, kebiasaan-kebiasaan yang menyenangkan, dan pola pikir yang masih seumur jagung. Apa lagi yang dibutuhkan manusia selain survive? Kita tidak butuh teman. Teman meninggalkan. Yang kita butuh adalah sahabat.
Aku bersyukur punya dua sahabat sejak SD. Yang jika aku membutuhkan mereka, hanya beberapa langkah jaraknya ke sana. Namanya, Hilda dan Ricke. Entah sudah berapa kali aku berkeluh-kesah ke mereka, menumpahkan apa yang bersarang di kepala, tertawa riang untuk sebuah lelucon ringan. Aku rindu sahabatku. Mereka sudah bergelut dengan kerjaan masing-masing. Hilda, yang lulusan Akuntansi, dan Ricke lulusan Sastra Jepang. Kami sering kali berbeda pendapat hanya karena masalah kecil, setelah itu, kami tertawa lagi. Mereka menginspirasi. Mereka menemani. Menurutku, tidak perlu punya banyak teman di dunia ini jika mereka saja sudah mencukupi.
Lepas menjadi mahasiswa, aku memulai peruntunganku. Apply CV ke setiap kesempatan: job fair, walk-in interview, sampai tiap website aku kunjungi. Sebelumnya, aku sudah menjadi replacement di perusahaan industri Amerika di daerah Pancoran Barat. Walaupun hanya menggantikan orang cuti, aku banyak belajar. Ya, walaupun bukan dalam field yang sama, menjadi Sales Admin dalam waktu yang singkat membuatku belajar bagaimana mengumpulkan invoice dari distributor yang berbeda, mailing, dan mengurutkan invoices.
Tiga bulan mencoba pengalaman itu, aku mencoba peruntungan lain. Apply ke stasiun TV, namun tidak membuahkan hasil. Sampai setelah sebelum wisuda tiba, aku mendapat telepon dari perusahaan outsourcing. Aku kira akan menjadi replacement lagi di bulan April 2018, ternyata mendapat tawaran untuk menjadi Customer Servicedi perusahaan yang aku tempati sebelumnya. Rezeki memang nggak kemana.
Aku mengiyakan tawaran tersebut dan akan interview di tanggal yang sudah ditentukan. Selang beberapa hari, tiba waktunya interview. Dengan persiapan yang seadanya, aku tiba di kantor dan menunggu. Tidak ada ekspektasi apa-apa saat itu. Yang di dalam pikiranku saat itu, interview dengan cepat dan langsung pulang. Tiba juga orang yang kutunggu. Interviewernyabernama Pak Roger. Setelah ia beberapa kali melihat-lihat CV-ku yang sederhana tanpa warna-warna yang dipakai kebanyakan mahasiswa baru lulus, Ia bertanya, “Kamu ikut paduan suara? Oh kamu ikut lomba ke Busan ya? 2016? Teman saya juga ikut,” tanyanya. “Iya, pak,” balasku singkat.
Aku balik bertanya sedikit lancang, "Bapak ikut paduan suara juga?” tanyaku. “Iya, saya pernah ikut, di Filipina, tapi tidak terkenal,” balasnya. Dan kau tau apa selanjutnya? Aku disuruh bernyanyi di hadapannya. Oh God. Baik, akan aku ikuti. Dengan berbagai alasan aku mencoba menolaknya. Aku bilang, belum pemanasan. Tapi beliau tetap meminta bernyanyi. Ia mengusulkan lagunya Andrea Bocelli. Ah, aku tidak hapal lagu-lagunya. Memang aku chorister, tapi aku tidak terlalu mendalami. Banyak yang lebih mendalami daripada aku. Kau tahu sendiri, aku tidak ada apa-apanya. Lalu aku menawarkan lagu klasik dan folksong. Bodohnya, seharusnya aku tidak membuat pilihan seperti itu.
Ternyata ia bilang, bawakan lagu saat aku mengikuti lomba saja. Ah, aku sangat blank saat itu. Yang terlintas di pikiranku yaitu lagu Quell Augellin Che Canta yang pernah dibawakan saat lomba di Institut Teknologi Bandung. Aku bernyanyi dengan seada-adanya. Setelah bernyanyi, beliau berkata, “If you are accepted, I’ll learn from you,” ringkasnya. “No, I’ll learn from you,” sahutku. Apakah ini pertanda kalau aku akan diterima? Apa beliau mulai menyukaiku? Ah, aku tidak mau menerka-nerka. Biar saja nanti terjadi kehendak Tuhan. Aku tidak akan mencampurinya. Setelah interview, aku bergegas pulang dan menaiki Transjakarta sampai halte Sarinah. Di sana, aku menunggu Transjakarta tujuan Tanah Abang. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Kau tahu? Aku diterima! Betapa senangnya aku. Bayangkan, belum wisuda saja, aku sudah diterima di perusahaan terkemuka itu. Alhamdulillah. Aku tidak lupa bersyukur.
Tepat tanggal 25 Maret 2018. Acara wisudaku digelar. Seperti yang kau tahu, aku berharap papa bisa datang ke acara bahagia ini. Namun kau tahu? Ia tidak bisa datang. Bukannya ia tidak mau, tapi urusan pekerjaannya sangat penting. Kalau ia menolak pekerjaan itu, tamatlah riwayatnya.
Aku juga harus tahu diri, apa yang aku dapatkan, pasti adalah dari hasil papaku bekerja. Aku tidak mau egois. Mungkin ini yang disebut dewasa. Mengerti akan semua hal. Mama, adik, om, dan sahabat mendampingiku. Aku bersyukur. Setelah acara sakral itu, tidak lupa aku menemui teman-teman seperpaduan suaraku. Tak sedikit mereka memberikan hadiah, coklat, bunga dan bingkisan lain. Terima kasih. Kau tahu? Dia yang aku ceritakan sebelumnya, pria itu, dia memberi gelas. Lucu sekali. Berbeda denganku, ia wisuda lebih dulu dariku. Hidupnya sangat berbeda denganku yang sangat complicated ini. Ia meminta untuk selfie. Bahagianya aku. Semoga kau sehat-sehat terus ya, Di.
Melewati hari sakral itu, tentunya banyak sekali hal-hal yang ingin aku lakukan ke depan. Seminggu setelah wisuda, aku bergegas untuk pergi ke kantor untuk pertama kalinya. Campur aduk dalam benakku. Mulai dari gugup, malu, sampai mulas. Sesampainya di sana, aku langsung bertemu Pak Roger dan diantarkan ke ruangan kerjaku. Bersyukurnya, aku mempunyai ruangan kerja sendiri, seperti layaknya ruangan kepala sekolah. Berkenalan dengan trainerku dan diajarkan berbagai materi.
Aku banyak belajar. Seolah dipoles menjadi pribadi yang lebih terbuka. Aku dituntut untuk lebih sering berbicara, menanggapi pendapat orang lain, dan peduli. Mungkin lambat laun aku akan lebih berani untuk mengungkapkan pendapat. Tidak hanya memendam. Aku menyadari bahwa inspirasi itu bukan datang dari orang lain, tapi dari hati. Kalau kita lebih mau peka dengan sekitar, kita akan mendapatkannya.
Aku tahu kelemahanku sendiri. Aku kurang talkative.Tapi dengan pekerjaanku sekarang, aku akan berubah. Berkembang menjadi lebih baik. Semoga aku jauh dari kata depresi. Dulu aku sering merenung, memikirkan nasibku ditinggal papa dan mama yang sakit. Kini aku tahu, hidup tidak melulu soal kesempurnan, tapi bagaimana kita menyelesaikan masalah dan bertahan. Aku berharap papa selalu sehat dan bahagia dengan istri dan anak-anaknya. Begitu juga dengan mama. Jodoh pasti bertemu, ma.
Sekarang, aku menjalani segala sesuatu tanpa berpikir berlebihan. Apa yang aku lakukan hari ini, aku lakukan dengan sepenuh hati. Biar esok menjadi rahasia Tuhan. Jangan menebak-nebak. Karena itu akan membuat kau runyam. Because your life, your choice.
- Memilih Sesuatu yang Ditentang Banyak Orang adalah Keputusan yang Berani
- Baru Kuliah di Usia 24 Tahun, Tak Ada Perjuangan yang Sia-Sia
- Menikah Lagi Setelah Suami Meninggal Tak Selalu Jadi Pilihan Terbaik
- Jalan Hidup Harus Dipilih Sendiri, Sebab Kita Bukan Boneka Orang Lain
- Bermimpi Jadi Sineas, Aku Wanita yang Senang Bercerita dalam Visual