Menjadi penerjemah novel sekaligus dosen adalah cita-citaku, meskipun aku sendiri sudah bekerja sebagai staf di salah satu universitas di Yogyakarta. Tapi entah mengapa, aku kesulitan untuk mengembangkan kemampuan untuk menulis yang aku sukai. Terlebih lagi, aku takut kemampuan bahasa Inggrisku akan menguap sia-sia. Aku tetap berdoa kepada Tuhan, supaya Ia mengabulkan doaku suatu hari nanti. Walaupun banyak sekali orang-orang yang meragukan kemampuanku untuk membiayai sekolahku sendiri. Tapi aku tetap bekerja dengan baik, tidak pernah absen, selalu memperbaiki diri, dan tak lupa, aku menabung.
Di tengah rasa optimisku, Tuhan memiliki rencana lain. Ayahku sakit dan tak lama kemudian beliau meninggal. Rasanya sungguh berat ketika Ayah berpulang. Ayahku adalah pensiunan PNS. Karena beliau sudah meninggal, pensiunan janda yang diterima Ibu jumlahnya tidak seberapa. Kini aku memiliki tanggung jawab untuk menopang ekonomi keluarga.
Aku menimbang-nimbang rencanaku untuk resign dan melanjutkan S2. Rasanya sungguh berat untuk melepaskan mimpi. Dan aku memilih untuk tetap bertahan di tempat kerja saat itu. Kendati demikian, aku pun tak lelah mencoba peruntungan melamar pekerjaan sebagai penerjemah paruh waktu di penerbit di kota yang sama.
Kesempatan itu datang tiba-tiba. Suatu hari, seorang editor penerbit menawariku untuk membuat sebuah buku conversation. Rupanya, beliau melihat CV yang kukirim beberapa bulan yang lalu sehingga memutuskan untuk menghubungiku. Sungguh, rasanya luar biasa. Aku berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan ini. Tentu, uang tabunganku bertambah. Rasa optimis itu bangkit lagi. Aku melihat peluang. Aku melihat banyak kesempatan. Dengan hanya mengandalkan Tuhan dan hanya Tuhan, akhirnya aku mengambil sebuah keputusan besar, yaitu untuk resign dari pekerjaan dan memilih untuk melanjutkan sekolah pascasarjana.
Ketika aku sekolah pun, pertolongan Tuhan tiada habis-habisnya. Justru ketika aku sedang dalam masa kuliah, order untuk menerjemahkan novel berdatangan. Di sela-sela kesibukanku kuliah dengan segala tuntutan akademik dan tesis selama dua tahun, aku sudah menghasilkan satu buah buku conversation, tiga buah novel terjemahan, dan dua buah jurnal. Aku tidak pernah menunggak uang semesteran. Tentu saja, aku bisa membantu Ibu untuk memenuhi kebutuhan bulanan, terutama untuk membeli beras. Lagi-lagi aku bersyukur kepada Tuhan.
Sekarang aku sudah lulus kuliah. Berbekal titel M.Hum di belakang namaku, aku bersyukur kepada Tuhan. Tanpa pertolongan-Nya, aku tidak bisa apa-apa. Keputusanku resign dari pekerjaan di masa lalu adalah keputusan yang tepat. Kalau tidak, aku tidak akan mendapatkan banyak ilmu. Aku percaya, jika kita punya mimpi, kalau hal yang kita kerjakan adalah hal yang baik dan tidak merugikan orang, niscaya, mimpi itu itu akan kita raih, walaupun jalan yang kita lalui terjal sekalipun. Saat ini, aku masih bekerja sebagai penerjemah paruh waktu. Dan suatu hari nanti, aku juga yakin, aku mengajar di sebuah universitas. Di mana pun itu.
Advertisement
- Konflik Menantu dan Mertua Bisa Dipicu Gaya Pengasuhan Anak yang Berbeda
- Menikah Itu Mudah, yang Sulit adalah Berdamai dengan Perubahan Hidup
- Sempat Ditolak Kerja karena Berjilbab, Kini Aku Sukses Raih Mimpi Besarku
- Kupilih Kuliah Meski Ditentang Ayah daripada Dijodohkan dengan Perjaka Tua
- Perpisahan Tak Selalu Jadi Jalan Terbaik, Waktu Bisa Damaikan Luka
(vem/nda)