Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Aku adalah seorang perempuan yang memasuki usia akhir dua puluhan. Aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara dan menjadi perempuan satu-satunya. Aku belum punya pekerjaan tetap. Begitupun dengan urusan jodoh, belum ada yang berniat menetap. Mungkin Tuhan tahu kalau aku belumlah siap. Keadaanku saat ini mungkin juga bisa dialami oleh perempuan lain di luar sana. Alih-alih bersembunyi, pilihanku jatuh pada ikut sertanya diriku dalam perlombaan ini. Aku merasa ingin membela diri.
Menjadi seorang perempuan tidaklah mudah. Terlebih jika kita belum terlihat menjadi sesuatu atau menyandang status tertentu. Ya, aku sedang mengalaminya. Aku selalu berpindah-pindah pekerjaan. Orang di luar diriku bertanya ‘apa dan kenapa, juga, maunya apa?’. Aku belum menikah, di kala satu per satu teman mulai meninggalkan status lajangnya. Orang di luar diriku bertanya lagi, ‘apa dan kenapa?’. Pertanyaan yang sepertinya tidak pernah habis ditelan zaman. Aku lebih banyak menyunggingkan senyum sebagai jawaban karena enggan menarik urat dengan mereka yang tak sejalan.
Advertisement
Sebenarnya aku juga tidak begitu paham, apakah sikapku ini termasuk dalam sebuah prinsip atau tidak. Tetapi apa yang kurasakan adalah bagaimana aku menjadi lebih mengenal diriku ketika mencoba untuk mengabaikan hal-hal di luar aku. Dulu, aku selalu berpikir mengenai orang-orang di luar diriku. Apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka katakan bahkan apa yang mereka lakukan padaku selalu menjadi bahan yang kupikirkan dalam jangka panjang. Kini aku sadar kalau aku hanya akan membuang-buang waktu jika terus melakukannya.
Seperti perihal pekerjaan, dulu aku sering mengeluh mengenai pekerjaan yang tidak pernah membuat nyaman kepada banyak teman. Seiring berjalannya waktu, semakin aku mengeluh dan semakin banyak saran yang ku
rengkuh, aku merasa semakin terjatuh. Aku terus berganti pekerjaan mengikuti saran juga emosi tanpa pikir panjang. Hingga pada satu titik paling rendah dalam hidup, aku merasa sudah mencapai batasku. Aku merasa gagal karena tanpa sadar aku membandingkan kehidupanku dengan teman-teman yang kehidupannya mulai terlihat mapan.
Aku sibuk mengeluh dan berganti pekerjaan, sedangkan teman-temanku tidak melakukan hal yang sama. Mereka tidak menyerah dan memilih bertahan dengan pekerjaan yang juga sering mereka keluhkan kepadaku. Walaupun sempat merasa bingung juga terpukul, aku mencoba bangkit dan berprasangka baik. Aku menganggap itu adalah pilihan hidup. Keluar dari pekerjaan yang membuatku tidak nyaman dan mulai mencoba mewujudkan impian, kuambil sebagai pilihan. Sedangkan mereka memilih untuk bertahan dengan alasan yang pastinya baik bagi masa depan.
Begitupun dengan urusan pasangan hidup. Ibuku menikah pada usia 25 tahun. Beliau sempat khawatir karena anak perempuannya telah melewati angka 25 namun belum juga berkeluarga. Jangan ditanya soal seberapa sering ibuku membahas tema jodoh dan pernikahan, aku pun sudah tidak sanggup menghitung durasinya. Perjodohan sudah pernah menyambangiku dan tidak membuahkan hasil karena ketidakcocokan. Lagi-lagi aku mendapat pertanyaan, ‘apa dan kenapa, juga maunya apa?’. Kembali memilih tersenyum sebagai jawabnya.
Sempat aku berpikir untuk pasrah jika ibuku memang menginginkanku segera menikah dengan siapapun yang dijodohkannya padaku. Namun lagi-lagi hatiku memberontak. Aku mendengar suara yang bergema dalam diri, “Ini adalah hidupku, aku ingin menjalaninya sesuai inginku!” Dan itulah yang kupilih untuk dijalani hingga saat ini. Setelah mengalami banyak hal yang membuatku jatuh juga terpuruk bahkan hingga telungkup, aku menyadari satu hal: hidup terus berjalan dan Tuhan tidak mungkin tinggal diam.
Aku mulai memahami bahwa hidup ini adalah hidup kita. Hidup yang berbeda pada setiap makhluk-Nya. Kalau teman-temanku telah hidup mapan sedangkan aku masih menyusun papan menuju impian, itu adalah hal yang wajar bukan untuk menjadi perbandingan. Kalau teman-temanku sudah menemukan belahan jiwa dan memutuskan untuk menikah, sedangkan aku masih menikmati kesendirian tanpa merasa salah, itu juga hal yang wajar, bukan hal yang kurang ajar.
Aku memilih untuk mewujudkan impianku menjadi penulis karena aku tidak ingin menyesal ketika ajal datang. Memang masih amatir tetapi aku terus bergerak tanpa khawatir. Aku memilih untuk menikmati masa lajang hingga aku siap untuk dipinang. Memang masih abu-abu, tetapi aku tahu Tuhan akan mempertemukanku dengan belahan jiwa jika waktu telah setuju. Ya, ini pilihanku. Aku tidak lagi ragu ataupun malu untuk menjalani pilihan hidupku. Timeline atau linimasa kita adalah diri kita sendiri bukan orang lain atau alasan lain. Linimasa kita pasti berbeda dan nikmatilah perbedaan itu agar terasa indah.
- Untuk Memilih Jurusan yang Tepat, Jangan Cuma Menuruti Gengsi
- Melalui Lukisan, Pemuda Ini Bangkit dari Bipolar & Terus Mencetak Prestasi
- Cinta Bisa Datang Belakangan Saat Sudah Sama-Sama Merasa Nyaman
- Harta yang Melimpah Nyatanya Tak Bisa Mengobati Kesepian
- Beri Makan & Uang ke Pemulung, Ini Klarifikasi Artis Tampan Jefri Nichol
(vem/nda)