Beberapa hari yang lalu, saya melihat sebuah cuitan di Twitter tentang bagaimana seharusnya perempuan bisa mandiri. Berdiri sendiri di atas kakinya tanpa perlu bantuan dari siapapun. Sebuah pernyataan yang berseberangan dengan pendapat banyak orang tentang "Di balik seseorang yang sukses, ada bla-bla-bla di belakangnya."
Dalam hati saya, "Really?"
Memaknai mandiri: Tidak tergantung, bukan berarti tidak butuh
Lantas, saya mengerinyit. Di satu sisi, saya sangat mendukung bahwa siapapun di dunia ini, entah itu laki-laki atau pun perempuan, harus mandiri. Namun, makna kata "mandiri" bagi saya dan bagi orang lain memang tak sama. Ada yang memaknai "mandiri" dengan keras sebagai "tidak membutuhkan orang lain."
Advertisement
Bagi saya, memaknai kata "mandiri" adalah tak bergantung pada orang lain. Tak bergantung, bukan berarti tidak membutuhkan orang lain. Ada perbedaan yang tipis antara keduanya. Mandiri secara finansial, artinya pada waktunya sudah memasuki usia produktif sudah tidak lagi disokong setiap bulan oleh orang terdekat. Tetapi jika suatu saat kita membutuhkan bantuan dana dari orang terdekat (misalnya saat membutuhkan biaya berobat), bukan berarti kemandirian itu serta-merta runtuh bukan?
Tidak menggantungkan keputusan hidup pada orang lain dan mampu bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil, bagi saya hal itu adalah kemandirian yang sebenarnya.
Menjadi mandiri dengan support system
Dua puluh tujuh tahun saya belajar tentang kehidupan ini seorang diri dengan melihat yang ada di sekitar saya. Tidak ada orang yang mengajari saya bagaimana caranya bisa survive dengan uang jajan hanya Rp150.000 sebulan saat kuliah dulu. Jual jajanan sampai akhirnya kerja di start up yang baru berkembang, jadi cara saya untuk tidak merutuki kemampuan almarhum Papa. Beliau sudah mati-matian bekerja meski hanya mampu memberi saya jatah uang jajan yang tidak seberapa dibandingkan kebutuhan sebagai mahasiswa.
Pun tidak ada seorang pun yang mengajari saya secara literally bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang saya hadapi dan mengatasi perasaan-perasaan tak nyaman yang saya rasakan pada suatu waktu. Saya sangat setuju dengan pernyataan bahwa "Hidup ini adalah universitas tempat kita belajar hingga kita mati." Tentu saja pelajaran pertama dan terutama yang kita pelajari setiap hari adalah tentang membentuk diri menjadi pribadi yang mandiri.
Dari jatuh bangunnya hidup dan karir yang membentuk saya menjadi pribadi yang on-the-way menjadi mandiri seutuhnya, justru saya merasa pentingnya support system. Terdengar bertentangan? Mandiri, tapi kok membutuhkan support system?
Dulunya saya menganggap dengan menjadi mandiri, itu artinya saya bisa melakukan semuanya sendiri. Nggak butuh orang lain. Tapi pernah suatu kali saya merasa alangkah sulitnya menanggung suatu masalah sendiri. Merasa gengsi sendiri dengan ode kemandirian yang saya agung-agungkan, saya berhenti dengan keputusasaan. Hingga suatu hari, ajakan ngopi sore-sore sepulang kerja dari sahabat masa kecil, mengubah pandangan saya. "Mandiri boleh, tapi jangan sinis dengan orang sekitarmu."
Saya seperti tersentak. Ya, betul, menjadi mandiri bukan berarti sinis dengan sekitar. Orang-orang yang tak tampak mengulurkan bantuannya. Sesederhana mereka yang mau mendengarkan keluh-kesah kita, tapi membiarkan kita mencari solusi masalahnya sendiri. Sesederhana teman-teman yang rela jatuh bangun luka-luka demi mengajari naik motor pertama kalinya.
Seringkali dengan keegoisan kita, kita lupa bahwa mereka juga lah support system yang berperan dalam hidup kita, kemandirian kita. Support system adalah orang-orang yang mengatakan apa yang perlu didengar. Bukan cuma apa yang ingin kita dengar. Dan bagaimana pun juga, adanya mereka berkontribusi dalam hidup ini.
Pada akhirnya, saya berprinsip, "Di balik orang sukses, tidak ada siapapun di belakangnya. Melainkan ada kemandirian, kebijaksanaan dan menghargai orang lain di belakangnya."
Tulisan ini merupakan opini pribadi Winda Carmelita. Kenali lebih jauh Winda Carmelita diĀ www.windacarmelita.com
(vem/wnd)