Hai Sahabat Vemale, aku mau berbagi kisah tentang persahabatanku yang dulunya indah tapi sekarang rasanya begitu menyedihkan.
Waktu baru kenaikan kelas tiga SMP aku berkenalan dengan teman-teman sekelas yang baru, dari situ aku berkenalan dengan orang yang tanpa aku tahu akan menjadi sahabatku, sebut saja namanya Dea. Singkat cerita, aku dan Dea menjadi teman yang sangat akrab dan persahabatan itu berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya sampai kami dewasa.
Begitu lulus SMP, kami sekolah di SMA yang berbeda. Tapi hal itu tidak menghalangi kami untuk tetap berteman akrab karena hubungan persahabatan kami begitu kuat. Dari Dea aku mengenal dunia remaja yang sebenarnya. Mulai kenal yang namanya naksir-naksir cowok dan pacaran. Ibuku sempat tidak mengizinkanku berteman dengan Dea karena menurut beliau, Dea memberikan pengaruh yang buruk untukku karena sejak berteman dengan Dea, aku jadi suka berontak, tidak mau dilarang dan lebih suka keluar rumah.
Advertisement
Akan tetapi yang namanya ‘anak baru gede’ mana ada yang bisa dilarang. Apalagi aku merasa sejak bersahabat dengan Dea, hidupku jadi lebih berwarna. Sehingga bagaimanapun ibuku melarangku untuk tidak lagi berteman dengan Dea, tidak akan mempan buatku. Seperti misalnya waktu SMA, pulang sekolah aku sering mampir ke rumah Dea dan baru pulang kalau sudah menjelang magrib. Biasanya setelah itu aku langsung tegang memikirkan orangtuaku yang pasti akan memarahiku habis-habisan. Tapi aku selalu lebih memilih dimarahi daripada tidak berteman dengan Dea lagi. Ikatan persahabatan kami sudah sangat kuat. Kami saling berbagi rahasia yang bahkan keluarga pun tidak ada yang tahu. Dea sudah kuanggap lebih dari saudara sendiri, begitupun juga bagaimana dia menganggapku.
Setelah lulus SMA, aku dan Dea akan memasuki jenjang perkuliahan. Aku berencana akan melanjutkan studi di Surabaya, sementara Dea masih belum punya rencana untuk kuliah di mana. Dalam hal pendidikan, Dea memang tidak terlalu serius, sementara aku berbanding terbalik dengannya. Aku sangat memikirkan masa depan pendidikanku seperti apa. Mungkin ini juga jadi salah satu faktor kenapa orangtuaku tidak terlalu suka aku berteman dengan Dea. Tapi orangtuaku sedikit lega karena akhirnya aku akan berpisah dengan Dea untuk kuliah di Surabaya.
Akan tetapi ternyata Dea juga memutuskan untuk kuliah di kota yang sama denganku. Jadilah orangtuaku merasa khawatir lagi karena berarti kami akan tetap berteman akrab. Sementara bagiku dan Dea, kami merasa sangat bahagia karena ternyata kami memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keakraban kami ini sampai membuat orangtuaku curiga apakah aku dan Dea hanyalah bersahabat biasa atau apa kami memiliki “hubungan spesial”. Kalau diingat-ingat sekarang, aku cuma bisa merasa lucu dengan dugaanku orangtuaku pada saat itu, akan tapi aku mengerti kalau kecurigaan orangtuaku cukup beralasan. Meskipun kenyataannya, aku dan Dea hanyalah sepasang sahabat yang sulit dipisahkan.
Pada saat menjalani tahun pertama perkuliahan, Dea tiba-tiba mengalami kelumpuhan dan harus dioperasi berkali-kali. Kata dokter dia mengalami penyakit saraf yang sudah ada dari dulu dan tidak diberi penanganan, sehingga efeknya baru terasa setelah sekian lama dan mengakibatkan kelumpuhan. Aku sedih sekali melihat kondisinya yang cuma bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Setiap ada kesempatan untuk menengok Dea, aku pasti memanfaatkannya meskipun jarak dari kosan dan rumah sakit tempat Dea diopname cukup jauh.
Kadang juga aku rela menginap di kamar rumah sakit untuk menemaninya. Saat itu Dea juga sudah berpacaran serius dengan teman kuliahnya, Reza, yang juga setia menemani Dea di rumah sakit. Terkadang aku merasa sedikit tergantikan oleh Reza, akan tetapi aku tidak mau egois dan mengerti posisiku. Beberapa bulan kemudian penyakit Dea akhirnya berangsur-angsur sembuh meskipun dia tidak bisa lagi melanjutnya kuliahnya dan terpaksa harus berhenti di tengah jalan.
Dan beberapa tahun kemudian, di usia yang sangat muda yaitu 21 tahun, Dea memutuskan untuk menikah dengan Reza. Masa–masa itu adalah momen yang sangat emosional untukku karena sahabatku telah memasuki jenjang kehidupan yang baru yang akan sangat berbeda dari sebelumnya. Aku merasa lumayan sedih karena merasa “ditinggalkan” oleh Dea tapi aku punya jalan kehidupan sendiri yang aku pilih. Aku akan fokus menyelesaikan kuliahku dan memulai karir.
Tahun demi tahun berlalu, persahabatanku dan Dea mulai terasa renggang. Karena mungkin kami telah menjalani dunia yang sangat berbeda. Dea sibuk dengan keluarga kecilnya sementara aku sibuk dengan karierku. Akan tetapi aku masih sangat bisa meluangkan waktu untuk bertemu dengan Dea dan bermain dengan anaknya. Tapi lama kelamaan Dea yang seperti tidak ada waktu lagi untuk berkomunikasi denganku.
Contohnya di saat kami chatting, dia selalu tiba-tiba menghilang tidak membalas pesan. Alasannya karena selalu sibuk ini dan itu. Lama kelamaan, kami sudah sangat jarang berkomunikasi. Aku merasa sedih, merasakan ada sesuatu yang hilang. Kami yang dulunya sangat akrab sampai dikira mempunyai “hubungan spesial”, sekarang sudah hampir tidak pernah berkomunikasi lagi. Ditambah karena Dea juga sudah memiliki teman-teman baru yang adalah ibu-ibu muda sama sepertinya. Dia seperti tidak membutuhkanku lagi seperti dulu karena mungkin dunia kami yang sudah berbeda.
Beberapa tahun kemudian aku melangsungkan pernikahan. Karena kami tidak akrab seperti dulu lagi, Dea sama sekali tidak mengetahui cerita tentang calon suamiku dan belum pernah ada kesempatan untuk berkenalan dengan calon suamiku. Padahal di masa-masa remaja dulu, kami saling berbagi cerita tentang pacar kami dan sangat akrab dengan pacar masing-masing. Contohnya aku yang akrab sekali dengan Reza. Tapi sekarang keadaannya sudah sangat berbeda.
Reza pun juga sikapnya berubah 180 derajat denganku. Pada saat kami bertemu baru-baru ini dia hampir tidak bicara denganku seolah-olah kami tidak pernah kenal satu sama lain. Aku juga tidak mengerti kenapa mereka berubah seperti itu. Semua keadaan ini membuatku bertanya-tanya tapi hanya bisa kuungkapkan dalam hati.
Pada saat pernikahanku, Dea datang dengan seluruh keluarga besarnya. Karena aku dengan keluarga besarnya sudah sangat kenal baik, begitu juga Dea dengan keluargaku. Aku senang sekali dia bisa hadir di pernikahanku. Akan tetapi situasinya sudah berbeda sekali dengan yang dulu. Kalau dulu aku hadir di pernikahan Dea sebagai seorang sahabat dekatnya. Aku hadir mulai dari acaranya baru dimulai sampai selesai dan banyak merekam momen bahagia Dea dan Reza. Foto-foto pernikahan mereka aku posting di Facebook dengan folder khusus.
Tapi sekarang di pernikahanku, Dea dan keluarga besarnya hanya hadir sebagai tamu. Tidak ada satu pun foto di acara pernikahanku yang diposting Dea di media sosialnya. Meskipun begitu, Dea memberiku hadiah pernikahan yang istimewa, yaitu sebuah cincin emas yang pas sekali di jariku. Tapi tetap saja aku merasa sangat sedih, harusnya Dea menjadi salah satu bridemaids-ku tapi dia hadir di pernikahanku hanya sebagai tamu.
Setelah beberapa bulan menikah, aku sudah sama sekali tidak berkomunikasi dengan Dea. Pernah sebelumnya sesekali kami chatting,tapi rasanya sudah tidak seperti dulu lagi. Percakapan kami terasa sangat canggung, dan lagi-lagi Dea hilang di tengah-tengah percakapan. Itulah komunikasi terakhirku dengan Dea.
Kami tinggal di satu kota yang sama, tapi kami tidak pernah bertemu lagi satu sama lain. Bahkan aku belum sempat mengenalkan suamiku secara khusus kepada Dea dan Reza. Suamiku sama sekali tidak tahu kalau aku pernah punya sahabat yang dulunya dekat sekali denganku seperti saudara sendiri. Terkadang aku merasa kangen dengan sahabatku itu.
Kalau rasa rindu tiba-tiba ada, aku cuma bisa berkunjung ke halaman sosial media nya dan melihat aktivitasnya. Dia lumayan rutin kumpul-kumpul arisan dengan teman–teman ibu mudanya. Dea sekarang sudah mempunyai dua anak dan hidup bahagia dengan Reza. Aku turut senang melihatnya. Meskipun hampir tidak mungkin, tapi harapan untuk kembali akrab dengan Dea seperti dulu waktu masa-masa kita sekolah, selalu ada di hatiku. Karena meskipun aku juga sudah memiliki teman-teman perempuan yang baru tapi tidak ada yang bisa menggantikan keakrabanku dengan Dea yang dulu.
You will always be my bestfriend, Dea.
(vem/nda)