Ketika masih kecil, kira-kira berusia enam sampai tujuh tahun, saya sering bertengkar dengan teman-teman sampai menangis saat sedang bermain. Entah itu karena berebut mainan yang sama atau didorong oleh teman yang lain sampai terluka. Saat sedang bertengkar, beberapa teman ada yang berusaha menenangkan dan melerai atau ibu yang tiba-tiba datang untuk menjemput kami. Ketika itu, siapapun pasti merasa kesal dan enggan untuk berbaikan. Namun saat besok kembali bertemu, kami berbaikan dan kembali bermain seperti biasa.
Melihat kejadian itu, beberapa orang dewasa bergumam, "Indahnya jadi anak-anak. Saat mereka bertengkar pun besoknya bisa berbaikan."
Saat itu, saya masih belum mengerti. Memangnya kenapa? Itu kan kejadian kemarin? Kenapa harus dibawa hari ini? Bukankah kata ibu guru, kita harus berbaikan dengan teman?
Advertisement
Menginjak usia belasan tahun, di mana para gadis mulai memperhatikan apa yang dimiliki juga merawatnya dengan berbagai perawatan dan lelaki mulai memperlihatkan pesonanya, pertengkaran sewaktu kecil pun masih terjadi dengan perbedaan yang cukup jauh. Jika saat saya kecil, besok hari pun saat bertemu kami masih bisa berbaikan, namun tidak dengan sekarang.
Satu hal yang saya pahami saat menginjak usia belasan, bahwa konstruksi batin akan semakin rumit dan sulit dipahami.
Ketika sebelumnya kami bertengkar dengan seseorang dan esoknya bertemu, kadang permintaan maaf terlewat begitu saja, atau mungkin terlupakan. Entah bagaimana caranya, saat bertemu dengan orang yang sempat bermasalah dengan kita, ada saja hal yang membuat kita belum bisa memaafkan orang tersebut. Entah perasaan sakit yang belum bisa memudar saat berpapasan wajah, entah sikapnya yang pada saat itu melanggar privasi atau norma peraturan yang berlaku, atau karena pertengkaran itu meninggalkan luka yang terlalu dalam untuk kita.
Saat itulah saya memahami, bahwa untuk memaafkan orang lain perlu usaha yang cukup keras. Selain mengucapkan kata 'maaf', kita pun harus berdamai terlebih dahulu dengan segudang perasaan lainnya seperti sedih, kecewa, amarah, pilu, dan yang lainnya serta mengikhlaskan apa yang sudah terjadi.
Awalnya saya kira memaafkan orang lain memang terlalu rumit, ada banyak hal yang harus diajak berdamai. Perlahan, kerumitan itu memudar saat saya memahami satu hal, bahwa dalam kehidupan kita tidak berdiam diri pada satu sisi. Ada dua sisi yang harus kita isi dan semuanya itu berpasangan, seperti siang dan malam, panas dan dingin, begitu pula dengan baik dan benar. Dalam urusan bersama orang-orang, kita tidak mungkin berdiam diri pada satu bagian: hanya kita yang benar. Kita pasti punya sisi salah, begitu pula sebaliknya. Hal ini perlu dipahami agar kita lebih mudah memaafkan satu sama lain.
Karena hal itulah, saya bisa memaafkan orang lain meskipun harus melewati jalanan yang panjang. Seiring berjalannya waktu, tidak ada masalah saat harus memaafkan orang lain karena sudah memahami perihal benar dan salah. Namun pada suatu hari, saya pernah menyesal berbuat sesuatu dan tidak bisa memaafkan diri sendiri. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana cara memaafkan diri sendiri?
Jika orang lain melakukan sebuah kesalahan, bisa saja kita memaafkan mereka karena berbagai hal seperti memaklumi dan memahami kondisi orang tersebut. Tapi bagaimana saat diri sendiri yang bersalah? Bagaimana cara memakluminya? Bagaimana mengikhlaskan penyesalan yang tak berujung? Dan bagaimana cara memaafkan diri sendiri?
Memaafkan diri sendiri bisa saja lebih rumit dibanding memaafkan orang lain. Kita bisa saja memaklumi kesalahan orang lain, namun akan jauh lebih sulit untuk memaafkan diri sendiri. Ada banyak hal yang tidak bisa kita maklumi dari diri sendiri, selalu ada penyesalan dan rasa bersalah yang terus-menerus menghantui. Beberapa ketakutan dan keresahan seolah tidak berhenti mengikuti kita setiap hati, membuat kata 'maaf' untuk diri sendiri terasa berat diucapkan.
Di tengah kesulitan untuk memaafkan diri sendiri, ada satu hal yang terlupakan yakni penerimaan. Menerima diri sendiri, menerima apa yang telah terjadi.
Bukankah hal ini cukup sulit?
Menerima kesalahan diri sendiri bukanlah sesuatu yang mudah, namun hal yang harus kita ingat bahwa kesalahan itu terjadi di masa lalu. Kita tidak akan pernah bisa mengubah masa lalu menjadi seperti yang kita inginkan, juga tidak bisa membiarkan masa depan kita terasa sia-sia karena terus-menerus meratapi masa lalu. Kita harus bisa berdamai dengan diri sendiri, menerima segala hal yang telah terjadi serta mengikhlaskannya.
Jika kita masih belum bisa memaafkan diri sendiri setelah berdamai dengan masa lalu, perbaikilah diri. Buat diri kita menjadi lebih baik dari sebelumnya, lebih banyak tertawa dan lebih banyak tersenyum. Perlahan, kita akan bisa memaafkan diri sendiri.
Jadi, siapkah kamu memaafkan orang lain dan memaafkan diri sendiri?
- Adikku, Berjanjilah Padaku Kita Akan Tetap Saling Menguatkan
- Kita Tak Bisa Hidup Hanya dengan Satu Cinta Saja
- Ketika Sahabat Menikah, Luaskan Hati untuk Tetap Mendoakan Kebahagiaannya
- Persahabatan Rusak karena Naksir Pria yang Sama? Duh, Jangan Kekanakan Deh!
- Dalam Persahabatan, Boleh Kok Marahan Tapi Habis Itu Kudu Ketawa Lagi