Akhir bulan Februari tahun ini genap delapan tahun saya dan suami melangkah bersama dalam biduk rumah tangga. Banyak sekali suka duka yang telah kami lewati. Rasanya baru beberapa waktu lalu sah menjadi suami istri. Walau sewindu akan dijelang namun tetap saya masih merasa amazing, masih merasa sedikit tidak percaya akan sosok yang menjadi suami saya.
Perkenalan itu enggak disengaja. Jauh dari tahun pernikahan kami. Waktu itu masih berstatus anak kampus. Kami dikenalkan oleh sahabat saya di kosan yang tidak lain adalah adik tingkat pak suami saya di kampus. Ah, waktu itu mah biasa aja. Kami sempet deket namun tidak lama. Setelah itu takdir membawa kami berkelana sendiri-sendiri. Meninggalkan kota Bandung. Menjelajah kota lain. Mengadu nasib. Berganti status menjadi kuli perusahaan. Oh ya, tidak hanya sampai di sana, kami juga sibuk dengan pasangan masing-masing.
Walau lama tidak bertatap muka, kami sesekali masih bertukar kabar melalui SMS atau pun telepon. Eh jangan salah sangka dulu. Tidak ada yang istimewa. Hanya sekadar bertanya keadaan saja. Basi basi bangetlah pokoknya.
Waktu berlalu, liburan penghujung tahun tiba. Dan kami sama-sama cuti. Enaknya liburan ke mana ya? Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di Jakarta kemudian sama-sama ke Bandung. Kerja beda kota euy. Pulang ke Bandung seperti napak tilas masa-masa kuliah. Mengenang kembali jalan yang pernah dilalui.
Jadi waktu di Bandung itu kami tidak jalan berdua, tapi bertiga. Seorang teman bertanya saya ada di mana. Ketika saya jawab Bandung ia pengen nyusul karena males di Jakarta. Saya pun mengiyakan, keesokan paginya teman saya ini nyusul ke Bandung. Walau sampai di Bandung dia agak kaget dengan sosok pak suami saya yang kala itu berstatus sebagai teman saja.
Teman saya mengira bahwa saya menghabiskan waktu liburan sendiri aja di Bandung. Tapi nasi sudah jadi bubur, mau nggak mau kami jalan bertiga. Walau teman saya bisik-bisik begini, "Iiiih ngapain ngajakin gue nemenin orang yang lagi pedekate seh? Kok nggak bilang kemaren?" Kala itu jawaban saya santai. "Nggak ada yang pedekate. Ia cuma temen lama aja yang udah lama nggak ketemu dan kebetulan lagi cuti. Kasihan, kerja tengah hutan, enggak kayak kita kerja tengah kota." Tapi sahabat saya bersikukuh bahwa semua ini ada udang di balik batu.
Salah satu obrolan basa-basi selama di Bandung yaitu tentang liburan awal tahun. Akhirnya memutuskan untuk ke Yogya. Semua serba dadakan dan terburu-buru. What a surprise bagi saya. Ketika kereta mulai perlahan jalan meninggalkan Stasiun Gambir, sebuah pesan singkat masuk di HP saya. Yayaya bisa ditebak bukan kalau itu adalah SMS dari pak suami saya. Pesannya singkat saja, "Bisakah kita lebih dari sekadar teman?"
"Tuh ya. Apa gue bilang. Semua ini ada udang di balik batu," begitu kata teman saya ketika ikutan baca isi SMS. Setelah itu ia dengan santainya melanjutkan makan bento-bentoannya.
Di Yogya kami kembali bertemu. Jalan-jalan lagi bertiga. Ah saya mau liburan, enggak mau pusing harus jawab pertanyaan di SMS. Jadi ya cuek aja dulu. Sampai pulang kayaknya ada yang gemes menanti jawaban. Sesaat sebelum masuk ke dalam pintu keberangkatan bandara Adi Sucipto, pak suami pesen untuk jawab pertanyaannya via SMS tempo hari. Jawaban saya singkat aja saat itu, "Nanti ya."
Advertisement
Kembali ke Jakarta. Liburan usai. Ups, satu pertanyaan belum dijawab. Akhirnya ada yang nggak tahan. Jadi bagaimana? Hahaha. Setelah menimbang ini dan itu, setelah percakapan panjang, finally we made it. Saat itu kami sudah sama-sama sendiri alias sama-sama jomblo. Hehe. Lupa tanggal pastinya, tapi yang pasti itu adalah bulan Januari tahun 2009. Hehehe.
Kabar berhembus cepat. Sahabat yang dulu mengenalkan saya dengan pak suami terkejut mendengar kabar saya menjalin hubungan yang serius dengan kakak tingkatnya. Ia mengira saya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan pak suami. Dan sebuah label pun disematkan, "Iiih kalian gerakan bawah tanah. Saya mau dong ditraktir makan." Jadilah traktiran-traktiran. Parit 99. Aaah Bandung lovers tahu deh tempat ini. Hehe.
Well, faktor usia yang udah cukup matang. Yang pasti lebih dari seperempat abad, persiapan demi persiapan kami lakukan. Pak suami kenalan dengan keluarga saya, kemudian saya kenalan dengan keluarga pak suami. Tahap ini berjalan mulus. Lanjut dengan pertemuan antar orang tua. Ihiiiy lulus lagi. Persiapan lanjutnya lamaran dan persiapan untuk BIG DAY. Tanggal yang kami sepakati yaitu 28 Februari 2010. Akhirnya kami sah jadi sepasang suami istri.
Kini genap delapan tahun kami jalani semua, rasa itu masih sama. Saya masih merasa amazing dengan sosok yang menjadi suami saya ini. Ia yang dulu datang ke kosan hanya untuk mengantarkan temennya yang pedekate dengan sahabat saya, berujung kenalan dengan saya. Jodoh bener-bener rahasia Ilahi ya.
Mataram, 25 Februari 2018
- Jangan Mau Ikut 'Gila' Gara-Gara Pria Posesif yang Tingkahnya Seenaknya Aja
- Cinta Digantung, Haruskah Berhenti Berharap?
- Cinta yang Tak Tersampaikan Selalu Meninggalkan Luka di Dalam Dada
- Cinta Jadi Luka Saat Cuma Ditakdirkan Bertemu Tapi Tak Untuk Bersatu
- Beda Status Pendidikan dengan Pasangan Jadi Penghalang Restu Orangtua