Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.
***
Bunga-bunga cantik menghiasi singgasana Raja dan Ratu sehari, di depannya mengalir air terjun buatan dari kolam kecil yang cantik. Tamu-tamu undangan dihibur oleh biduan bersuara merdu diikuti alunan musik yang mengajak kaki dan tangan bergoyang mengikuti irama. Makanan yang menggoda untuk dinikmati pun tak luput terpajang di sana. Bagiku dulu acara pernikahan seperti itu yang sering aku hadiri di beberapa pesta pernikahan teman atau kerabat hanya angan semu. Aku tak ingin membebani bapakku di usia senjanya dipusingkan untuk mencarikan dana pernikahanku nanti.
Dia yang datang menghangatkan jiwa sepiku
Targetku dulu untuk menikah adalah saat usiaku mencapai 23 tahun, tapi sayang kuliah belum juga bisa kurampungkan meski usia sudah lebih dari itu. Terlebih mengingat sudah beberapa kali aku gagal menjalin hubungan dengan beberapa pria, hal itu membuatku malas untuk memulai suatu hubungan dekat. Biarlah Tuhan saja yang menentukan kapan waktu yang tepat penenang jiwaku itu datang mengisi relung hati yang sepi ini. Rasa sedih yang menggerogoti waktuku menguap seiring kesibukanku mengerjakan tugas skripsi, keyboard komputer lebih memerlukan sentuhan jari-jemariku yang kurus ini. Hari-hariku lebih sering bergerumul dengan tumpukkan buku, mencari referensi demi kertas-kertas yang beberapa kali dicorat-coret oleh dosen pembimbing.
Advertisement
Siang itu ketika hendak mengerjakan lanjutan halaman yang sudah kuketik semalam, komputerku entah kenapa layarnya tak mau menyala. Untunglah data-data sudah kusimpan dalam flashdisk berwarna hitam pemberian dari mantan kekasihku yang sudah almarhum. Aku berniat mengerjakan lanjutannya di rumah tanteku yang jaraknya lumayan jauh. Karena di kampungku susah transportasi dan sayangnya aku pun tak mahir mengendarai motor, terbesit satu nama yang biasanya bisa dimintai tolong. Segera saja kuambil handphone dan menekan nomor kontaknya. Dia adalah Bery, kakak kelas SMA dari sahabat di rumahku dulu, Ela mengenalkanku padanya saat aku main ke sekolahnya.
Bery terkadang main ke rumahku sewaktu-waktu, aku memanggil dia Aa karena dia 3 tahun lebih tua. Semenjak hari itu dia jadi lebih sering main ke rumah dengan makanan kesukaanku. Maklum jalan dekat rumahnya berjejer makanan yang sudah terkenal di Cirebon, mulai dari bakso sampai es campur yang menyegarkan.
Tak pernah dia menyatakan perasaan sukanya padaku, hanya kehadiran dan perhatiannya yang membuktikan bahwa cinta itu hadir di antara kami. Saat hari wisudaku, rasa sedih menyelinap diam-diam di hati ini. Teman-temanku kompak untuk menyewa baju dan menghias diri di sebuah salon, betapa aku ingin seperti mereka tapi aku tak mungkin merajuk kepada Bapak untuk memenuhi inginku. Rupanya Bery menangkap rasa sedih itu dalam mataku. Ia mengajakku untuk pergi ke salon agar aku bisa seperti yang lain, aku menolaknya karena aku terlalu malu untuk merepotkan dia.
Pagi itu suasana di aula kampus sudah ramai dengan mahasiswa-mahasiswi yang akan diwisuda. Setelah selesai acara, kami berfoto dengan teman-teman dan kemudian keluarga. Aku mencari keberadaan Bapakku yang ternyata sudah pulang terlebih dulu, lagi-lagi Bery menyadari mataku yang hampir saja menumpahkan gerimisnya. Ia menggandeng tanganku dan mengajakku ke studio foto yang lumayan jauh dari kampus. Seketika hatiku terasa hangat dan kesepian itu rontok dengan perhatiannya.
18 Februari, 2012 malam itu entah berapa kali aku mondar-mandir merapikan dandananku. Dengan mengenakan kemeja berwarna kuning dan pashmina berwarna selaras serta rok hitam panjang aku menanti keluarganya datang. Menanti dengan gelisah dan takut kalau penyambutan keluargaku ada yang kurang berkenan. Pukul delapan malam mereka datang, dengan membawa beberapa buah tangan. Bapak, aku, dan kakak-kakakku menyambut mereka dengan kehangatan juga kesederhanaan rumah kami. Mereka mengutarakan tujuan kedatangan mereka adalah untuk melamarku sekaligus menentukan tanggal pernikahan.
Setelah berdiskusi panjang lebar akhirnya kami menyepakati acara pernikahan diadakan hari sabtu tanggal 7 april, 2012. Tadinya pihak keluarga pria menginginkan diadakan hari kerja tapi Bapak takut sanak saudara tidak bisa hadir, maka kami pun mengambil hari Sabtu saja. Satu hal yang membuat aku khawatir adalah saat pihak keluarganya menanyakan bagaimana acara pernikahan yang ingin Bapak adakan. Bukan tanpa alasan aku takut dengan tanggapan mereka, aku tahu persis Bapak tak punya biaya untuk menyelenggarakan pernikahanku.
Bapak hanya ingin anak perempuannya ini segera menikah, dan tak menginginkan ada acara resepsi mengingat ketidakmampuan kami. Tapi alangkah lega dan senang hati kami, bahwa mereka tak mempermasalahkan hal itu. Pihak keluarga lelaki ingin mengadakan acara resepsi di rumahnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku yang ingin aku sampaikan, yaitu terkait acara akad nikah yang ingin aku selenggarakan di rumah wanita seperti halnya orang-orang kebanyakan. Alhamdulillah, mereka menyetujui bahkan acara akad pun mereka siap danai.
Aku tidak ingin memberatkan keluarga calon suamiku, acara akad hanya dekor sederhana saja yang tidak perlu budget besar, sedangkan riasan pengantin didatangkan oleh kerabat dekat calon suamiku. Untuk acara masak walimahan dan makanan prasmanan tetangga yang mungkin kondangannya datang ke rumahku, aku meminta bantuan keluarga dari Bapakku.
Tiga minggu sebelum hari H, aku masih disibukkan dengan mengajar di PAUD dekat rumah, sedangkan siang hari aku dan Bery mengantar undangan ke beberapa teman kami. Terkadang kami salah jalan dan ada juga teman yang ternyata rumahnya sudah pindah, jadi terpaksa undangannya kami simpan kembali karena tak tahu harus dititipkan pada siapa. Ada orang yang bertanya, apa kami tidak dipingit? Bukannya kami mau melanggar tradisi, hanya saja kami tidak mau merepotkan orang lain.
Seminggu sebelum hari pernikahan, flu melanda. Aku sudah izin untuk tidak mengajar sampai hari pernikahan nanti dan hanya tinggal memantau persiapan pernikahan yang tinggal beberapa persen saja.
Ada rasa sedih menyeruak dalam dada, saat hari pernikahan itu tiba. Aku merindukan sosok almh. Mamahku yang aku harap bisa mendampingi anak perempuan satu-satunya ini akhirnya menikah.
“Sah” pernyataan para hadirin dan saksi menggema di ruangan kecil di mana akad nikah dilaksanakan, senyum kelegaan mengembang di bibir kami. Setelah selesai berfoto, kami menuju rumah keluarga suamiku di mana resepsi pernikahan diadakan, sedangkan di rumah aku serahkan pada saudara dan tetangga yang ikut membantu.
Persis seperti yang kukira dulu hanya akan jadi khayalan semu, di sana dipelaminan bunga-bunga pengantin menyambut kami dengan keharumannya. Terima kasih suamiku yang sudah membuat acara pernikahan yang indah untuk cinta kita.
- Selama Pacaran Cuma 2 Kali Ketemuan, Menikah Setelah Setahun Tunangan
- Duka Mendalam di Hari Bahagia, Akad Nikah Dilangsungkan di Rumah Sakit
- Begini Jadinya Kalau Pernikahan Dibiayai Ayah yang Pelit
- Problematika Perbedaan Agama dalam Menuju Pernikahan
- H-14 Ayah Meninggal, Momen Persiapan Menikahku yang Penuh Tangis dan Haru
(vem/nda)