Menikah dengan orang yang kita cintai pasti impian semua orang, begitu juga dengan saya. Enam tahun pacaran kami rasa cukup untuk mengenal satu sama lain. Dengan rasa optimis dan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim akhirnya kami pun memutuskan menikah pada tanggal 30 November 1998, bukan pesta mewah seperti yang selalu saya impikan memang keadaan yang membuat saya harus mengubur impian itu.
Kebetulan kondisi kesehatan papa lah yang tidak memungkinkan kami untuk mengadakan sebuah pesta, walaupun dirayakan dengan cara sederhana tapi saya sangat bahagia karena papa masih dapat menyaksikan pernikahan kami. Tak lama setelah menikah, saya dinyatakan positif hamil. Kehamilan ini disambut dengan suka cita oleh kami semua.
Di balik kebahagiaan itu cobaan mulai datang. Menjelang kelahiran anak pertama, suami kena pemutusan hubungan kerja. Seperti disambar petir di siang bolong rasanya tapi tidak membuat kami lama bersedih, kami sadar ada calon bayi yang sebentar lagi akan datang ke dunia. Berdua kami saling menguatkan dan bergandengan tangan.
Dua puluh lima Agustus 1999, lahirlah putri pertama kami yang diberi nama Davinia Pramudita. Seorang bayi mungil bermata sipit yang lucu menjadi hiburan kami semua. Saat itu keadaan perekonomian masih belum membaik juga, sudah berlembar-lembar surat lamaran yang dilayangkan tapi keberuntungan agaknya belum juga menghampiri. Bertambahnya kebutuhan membuat kami harus berpikir keras, apa yang harus dilakukan untuk menyambung hidup keluarga kecil ini.
Entah ide dari mana, akhirnya suami memutuskan untuk berjualan dengan modal dari tabungan yang mulai menipis. Barang-barang yang kami jual adalah daster, sprei, dan alat tulis. Pelanggan tetapnya adalah mertua dan ipar saya. Kadang kami menawarkan ke tetangga kiri kanan walaupun tidak sedikit yang menolaknya. Ada saat di mana saya merasa putus asa dan bersedih tapi lagi-lagi suami menguatkan dan meyakinkan kalau keadaan ini pasti akan berakhir.
Benar saja perekonomian mulai membaik ketika saya hamil anak kedua, suami diterima di salah satu perusahaan swasta. Saya pun mulai bisa bernapas sedikit lega. Sekarang di usia pernikahan yang menginjak tahun ke-20, kami sangat bersyukur telah dapat melewati masa-masa sulit itu bersama-sama. Kami percaya sesulit apapun keadaan jika kita saling bergandengan tangan pasti akan menjadi lebih ringan.
Advertisement
- Jodoh Terindah dari Tuhan, Dia Temui Orangtuaku untuk Melamar Tanpa Pacaran
- Please, Jangan Memaksa Minta Diundang Kalau Ternyata Tidak Datang!
- Lika-Liku Menuju Pernikahanku: Mama Nekat Utang dari Bank demi Ambisinya
- Calon Suami Masih Simpan Foto Mantan, Cemburu Hampir Merusak Rencana Nikah
- Banyak Tantangan Jelang Nikah, Seperti Muncul Rasa Tak Yakin pada Pasangan
(vem/nda)