Sebagian masyarakat Indonesia memiliki sifat Knowing Every Particular Object (merasa selalu ingin tahu) akan setiap hal, baik itu penting atau tidak. Biasanya, pertanyaan yang dilontarkan terkesan sederhana. Namun, tanpa disadari terkadang dapat menyinggung perasaan lawan bicaranya.
Saya termasuk salah satu orang yang bosan dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Contohnya, seperti pertanyaan yang menanyakan kapan nikah, sudah ada calon belum, kenapa sudah umur segini belum nikah, dan yang paling menjengkelkan adalah pertanyaan, “Kuliah terus ngapain? Nanti juga di rumah. Nikah saja sana!”
Pertanyaan seperti itu sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di desa saya yang mayoritas remaja setelah SMA langsung dinikahkan oleh kedua orangtuanya. Saya saja yang masih berusia 19 tahun ditanya seperti itu merasa jengkel, apalagi jika pertanyaan itu ditujukan kepada orang yang sudah berusia matang untuk nikah atau orang yang pengen nikah tapi belum menemukan jodoh pasti menyakitkan hati. Hal demikian sangat tidak menyenangkan bagi orang yang memutuskan untuk tidak menikah.
Sebagai masyarakat yang berpendidikan cobalah untuk menahan diri untuk tidak bertanya kepada kaum muda atau seseorang yang masih sendiri, atau kepada siapapun yang kalian tidak benar-benar kenal tentang persoalan kehidupan dan latar belakangnya. Karena, hal tersebut termasuk tindakan yang lancang untuk mencampuri urusan orang lain.
Kita sebaiknya berpikir terlebih dahulu sebelum melontarkan pertanyaan kepada orang lain. Pernahkah kalian memikirkan perasaan orang lain? Bagaimana perasaan orang yang baru saja cerai atau suaminya meninggal, kalau kalian menanyakan hal demikian, bukankah itu menyakitkan?
Tidakkah kalian berpikir bahwa pertanyaan sederhana itu berakibat besar bagi mental seseorang? Bagi sebagian orang mungkin menjawab hal demikian dianggap mudah, bahkan ketika mereka berada dalam posisi seperti di atas. Tapi, tidak semua orang memiliki kondisi psikologis atau sifat yang sama.
Tidak semua orang dapat terbuka dan menceritakan apa yang sedang mereka alami kepada orang lain, apalagi kepada orang yang baru dikenal. Bahkan, kepada orang yang terdekat sekalipun masih sulit bertukar cerita. Begitupun dengan saya, saya adalah sosok seseorang yang sulit percaya dan bercerita kepada orang lain, apalagi berbagi cerita yang bersifat personal.
Semua yang terjadi pada mereka merupakan pilihan yang sudah dipikirkan secara matang, tak terkecuali mengenai dampak apa yang akan terjadi. Jadi, kalian sebaiknya jangan menempatkan impian besar kalian untuk segera memiliki pasangan (menikah) kepada orang lain.
Masing-masing orang memiliki indikator kebahagiaan yang berbeda-beda. Memperoleh gelar doktor, karier mapan, dapat keliling dunia, menjadi orang penting di Indonesia merupakan salah satu contoh indikator mereka yang memutuskan untuk menunda menikah.
Kalian tidak berhak menilai dan mengatur hidup orang lain. Janganlah bersikap seperti halnya seorang wasit yang menentukan keberhasilan hidup seseorang. Akan tetapi, sebaiknya introspeksi diri dahulu supaya menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk orang lain.
Advertisement
- Hanya karena Fisikku Berbeda, Tak Berarti Aku Bisa Dijadikan Bahan Candaan
- Melewati Batas Antar Negara untuk Sekolah, Kisah Anak Ini Inspiratif
- Bantu Buka Jalan Untuk Mobil Ambulans, Driver Ojol Ini Banjir Pujian
- Kerja Keras Membuat Perempuan Ini Sukses Bangun Bisnis Kecantikan
- Merantau Sambil Bekerja, Ini Salah Satu Caraku Berbakti pada Orangtua
(vem/nda)