Kisah mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi pengalaman yang tak terlupakan. Tapi apa jadinya bila setelah pernikahan digelar, malah derita yang didapatkan, seperti tulisan sahabat Vemale tentang kerabatnya dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.
***
Aku mempunyai paman. Adik dari ibu itu usianya tidak lagi muda, yaitu 35 tahun. Karena belum menikah aku sering memanggilnya dengan sebutan Mas Lik. Satu–satunya anak dari nenek yang belum menikah ya hanya dia. Nenek sangat menginginkan anak yang terakhir itu cepat mendapatkan jodoh. Aku wajar jika Mas Lik tidak cepat mendapatkan jodoh, karena karakter orangnya yang tertutup. Tidak mudah bergaul dengan orang, terutama wanita. Tetapi di usia yang cukup tua itu mengubah keinginannya untuk segera menikah.
Advertisement
Suatu ketika ada teman nenek yang menyarankan untuk menjodohkan Mas Lik. Kebetulan teman nenek itu mempunyai kawan yang mempunyai anak wanita yang belum menikah. Akhirnya teman nenekku ingin memperkenalkan anak temannya kepada pamanku. Karena nenek cukup dekat dengan temannya itu maka nenek sangat menghargai usaha temannya dalam mencarikan wanita untuk pamanku. Akhirnya kedua orangtua dari pihak wanita dan laki–laki segera merencanakan pernikahan dengan waktu dekat yaitu satu bulan kemudian dengan tanggal yang telah ditetapkan.
Persiapan pernikahan dalam kurun waktu satu bulan bagi keluarga yang tidak kaya itu pasti sangat sulit. Terutama pada keluarga nenekku yang belum mempunyai persiapan uang sama sekali. Gaji dari pekerjaan paman tidaklah banyak hanya cukup untuk makan dan membiayai kebutuhan kakek nenekku. Sedangkan tabungan juga tidak memiliki atau punya tetapi sangat sedikit, tidak bisa untuk melaksanakan acara pernikahan.
Bagi paman kemewahan pesta pernikahan bukan hal yang utama. Yang terpenting adalah kesiapan kedua calon mempelai. Paman sangat menghargai wanita itu bagaimanapun kondisinya, jika belum siap menikah dia akan menunda dahulu. Karena kedua orangtua pihak wanita ingin segera menyegerakan maka tidak masalah bagi paman yang memang niat awalnya segera menikah. Bagi paman baik buruk karakter wanita itu akan diterimanya asalkan masih dalam taraf wajar dan bisa diajak berkompromi dalam rumah tangga. Karena yang utama dalam rumah tangga adalah kesediaan untuk menerima apaapun hal baik atau buruk dari kedua pasangan.
Paman menawarkan untuk tidak mengadakan pesta pernikahan, karena mengingat waktu terbatas dan kondisi keuangan tidak baik. Sehingga yang utama adalah ijab qabul dan bisa dilaksanakan di masjid. Akan tetapi berbeda dengan keinginan nenek, namanya juga orang tua.
Nenek ingin melihat upacara pernikahan anak terakhir yang paling disayang itu bisa berada di pelaminan dengan dekorasi yang indah, seperti pada umumnya. Bahkan nenek juga ingin menunjukkan kepada tetangganya jika perjaka tua itu bisa menikah seperti yang diharapkan. Tak berbeda dengan keinginan nenek, kedua orang tua pihak wanita juga menginginkan acara pernikahan tersebut, katanya hanya sekali seumur hidup, tidaklah baik jika tidak dirayakan. Katanya juga suatu saat nanti pasti akan kecewa tidak bisa mengenang perayaan pernikahan itu yang hanya sekali.
Akhirnya kedua belah pihak menyetujui untuk mengadakan pesta pernikahan. Suatu keputusan pernikahan dalam rentang waktu yang cepat bagi kedua keluarga itu. Paman sangat niat untuk menjalankan pernikahan itu, tetapi kesulitan secara finansial. Hal itu tidak membuat kehabisan cara untuk segera mensukseskan pernikahan itu.
Karena nenek sangat mendukung agar paman segera menikah maka nenek juga banting tulang membantu persiapan pernikahan anaknya itu. Nenek dan paman mempersiapkan pernikahan dengan mengumpulkan uang hasil utang sana–sini. Tentunya saudara–saudara terlebih dahulu yang diminta tolong, termasuk ibuku. Ibuku yang tidak mempunyai uang lebih, tetap dipaksa nenek untuk meminjamkan uang. Alhasil segala perhiasan ibu seperti gelang, kalung, anting, ibu jual demi membantu adiknya yang akan menikah. Tak hanya itu sepeda motor yang baru dibeli yang harusnya untukku juga digadai untuk membantu pernikahan itu.
Tidak hanya keluarga saja yang dimintai utang, teman dekat nenek juga diminta tolong untuk memberikan hutang. Bahkan pedagang sayur di pasar juga nenek utangi untuk keperluan jamuan makan. Dengan biaya sedikit membuat acara pernikahan seirit mungkin. Dengan berbagai bantuan pihak lain, keluargaku bersama gotong royong untuk membantu pernikahan Mas Lik itu.
Aku hanya bisa membantu mencarikan barang untuk seserahan lamaran. Aku yang mempersiapkan barang untuk lamaran itu mulai dari pakaian, alat mandi, kosmetik, sepatu, dan perhiasan. Bahkan aku yang merangkainya menjadi barang yang dikemas cantik siap diserahkan. Aku mempelajari dari buku kerajinan dan video tutorial.
Untuk hidangan makanannya tidak menyewa dari layanan katering, akan tetapi sesuai dengan budaya ?Jawa menggunakan bantuan tenaga warga ibu–ibu dan bahannya nenek sendiri yang mepersiapkan dari hasil hutang. Dengan begitu tidak banyak mengeluarkan biaya. Sedangkan untuk pakaian pengantin, nenek berani meminjam dari kenalannya tanpa harus membayar.
Untuk dekorasi, kebetulan kakek mempunyai kemampuan untuk menghias dekorasi dari janur yang telah dibentuk bermacam–macam. Kakek mempunyai keterampilan membuat kerajinan tangan dari janur disebabkan sebelumnya telah mengabdi di suatu keraton. Tempat resepsi tidak menyewa di gedung, tetapi menggunakan jalanan depan rumah. Alhasil, berhasilah sebuah pernikahan yang dipersiapkan dalam waktu singkat dengan bantuan utang.
Saya begitu miris melihat acara pernikahan itu. Tidak tega karena melihat kemampuan yang kecil tetapi harapannya besar. Bagaimana tidak miris, aku yang saat itu membawa uang Rp150 ribu saja juga dipinjam katanya untuk beli bensin kendaraan pengantar pengantin.
Setelah pernikahan usai, satu hari paman tinggal di rumah istrinya. Baru semalam kemudian esok harinya paman mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Sepasang suami istri yang harusnya bahagia di hari pertama pernikahannya menjadi suasana yang mengharukan. Bagaimana tidak, jika seorang suami ingin mendekati istrinya, wanita itu menjauh. Tidak hanya itu paman mendapatkan perlakuan yang cukup buruk, seember air diguyurkan ke wajah paman oleh istrinya.
Satu hal yang belum dipersiapkan dengan baik adalah pengantin wanitanya. Saat itu usia pengantin wanita menginjak 18 tahun. Usia yang terlalu belia untuk menikah dengan pria 35 tahun. Sebuah alasan yang tak diketahui bahkan oleh suaminya sendiri kenapa saat awal dijodohkan hingga ijab qabul wanita itu menerima dipersunting. Akan tetapi satu hari pasca pernikahan wanita itu menolak berkeluarga bahkan hingga menjerit–jerit dan membanting barang–barang. Hal itu juga tidak diketahui alasannya. Bahkan saat diajak bicara baik–baik tidak sepatah katapun dikeluarkan. Bukankah itu sangat membingungkan dan menyedihkan bagi keluargaku, terutama bagi paman menimbulkan kekecewaan yang luar biasa.
Jika dilihat saat pendekatan selama satu bulan sebelum menikah, katanya wanita itu cukup baik. Saat paman datang ke rumahnya, dia menyuguhkan makanan dan minuman. Dia juga tersenyum dengan sopan. Dia bisa diajak berbicara dengan baik meskipun tidak sering. Hal itu mungkin wajar karena belum terbiasa saja, batin paman mungkin kalau sudah menikah semua akan biasa dan semakin terbuka satu sama lain. Jika persoalan usia bukankah tidak terlalu bermasalah. Zaman dulu bahkan zaman sekarang pernikahan juga sering terpaut jauh usianya.
Aku sangat terkejut ketika mendengar berita itu. Seketika itu paman pulang ke rumah dan tak kembali lagi ke rumah wanita itu. Ya Tuhan, saya menangis ketika melihat kisah itu. Pernikahan yang diperjuangkan tidak berujung pada hasil yang memuaskan. Perjuangan nenek yang pontang panting menahan rasa malu harus utang kepada tetangga. Utang-utang dari keluarga yang tidak terbayarkan.
Semua itu hilang sia–sia. Bahkan naasnya usai pernikahan itu puluhan juta utang telah menumpuk. Siapa yang akan membayar? Suara tetangga kanan–kiri yang menanyakan kenapa menyendiri setelah menikah, harus diberikan alasan apa? Perasaan malu satu keluarga karena hutang menumpuk itu harus dibawa kemana? Masih mending jika pernikahan itu berhasil, tetapi ini gagal.
Begitu tegakah pihak dari wanita, terutama orangtuanya yang ternyata memaksa menikahkan anaknya yang ternyata tidak mau menikah. Termasuk juga teman nenek yang berani menyarankan untuk menikahkan dengan wanita itu. Ini bukanlah sebuah pernikahan melainkan permainan belaka. Orangtua macam apa yang tega menjodohkan anaknya yang ternyata mempunyai gangguan psikis.
Mengingat banyaknya fenomena proses menuju pernikahan seperti menikah disertai pacaran dahulu, langsung menikah setelah kenal atau langsung menikah tanpa mengenal secara dalam. Membuat aku mengerti mana yang terbaik di antaranya. Sebuah pernikahan haruslah dipersiapkan dengan matang, tidak hanya semata pada acara resepsi itu.
Demikian adalah kisah nyata yang telah membukakan mata saya lebar–lebar bahwa sebuah pernikahan akan lebih baik berjalan tanpa paksaan dan sebuah keluarga akan berdiri kokoh dengan cinta yang tulus.
- Dijodohkan dengan Pria 11 Tahun Lebih Tua, Pernikahan Hampir Kubatalkan
- Cobaan Jelang Pernikahan: Souvenir Salah Cetak Hingga Ditipu Rp20 Juta
- Melamarlah Saat Sudah Benar-Benar Siap Menyiapkan Pernikahan
- Kehilangan Pekerjaan Jelang Pernikahan Hingga Terpaksa Menyalahi Tradisi
- Baru Kenalan Seminggu Langsung Ngajak Nikah, Jodoh Tak Pernah Salah Waktu