Aku suka membaca novel remaja. Membayangkan diriku adalah tokoh utama perempuan yang selalu diperlakukan dengan manis oleh kekasihnya. Meski demikian, aku tidak pernah berdoa agar imajinasiku menjadi kenyataan. Akan tetapi, Tuhan mengizinkanku untuk merasakan drama kehidupan seperti di dalam novel.
My story began 5 years ago. Saat itu aku dekat dengan seorang laki-laki yang merupakan teman sekelasku. Namanya populer di kalangan sekolah berkat segudang prestasi yang dia miliki. Dia memang multitalenta dan karismatik, tetapi hal itu tak jarang membuatku jadi insecure sendiri.
Awalnya, aku mengira bahwa akan sulit untuk berkomunikasi dengan orang yang hobi berdebat seperti dia. Ternyata aku salah. Kenyataannya, dia malah pandai menempatkan diri, dia pandai mencari topik obrolan yang ringan tapi menarik, dia juga pandai meyakinkanku. Ya, kukatakan padamu, dia pandai meyakinkan lawan bicaranya.
Semakin hari, semakin bertambah rasa kagumku padanya. He was almost perfect. Dia benar-benar selayaknya boyfriend material. Dia bukan hanya perhatian dan penuh kejutan, tetapi juga perencana jangka panjang yang baik. Cita-citanya terstruktur dengan jelas.
Aku sadar bahwa perempuan yang menyukainya lumayan banyak. Dan pada dasarnya, dia memang terlihat welcome dengan kehadiran perempuan-perempuan itu. Bahkan dia masih sering berinteraksi dengan mantannya. Aku cemburu, tapi tidak berani mengadu.
Hingga beberapa bulan kemudian, dia mulai mengaturku, melarangku berdekatan dengan teman laki-laki, dan satu hal lagi yang baru kuketahui setelah putus, ternyata dia juga meminta salah satu temanku untuk mengawasiku selama kami menjalani LDR.
Sejak LDR itulah, lama-kelamaan, kami jadi posesif terhadap satu sama lain. Berbagai peraturan tak tertulis dibuat untuk menghindari perselisihan. Waktu berkumpul bersama teman jadi tidak seasyik dulu karena objek fokusku hanyalah dia, begitu pun sebaliknya. Kami sama-sama takut kehilangan, tapi usaha yang kami lakukan untuk mempertahankan hubungan malah terkesan memaksakan takdir. Lebih parah lagi, aku merasa terlalu bergantung padanya. Diriku saat itu adalah definisi dari budak cinta yang sesungguhnya.
Tahun berikutnya, kami semakin sering bertengkar. Kisah masa lalu diangkat kembali ke permukaan, menjadi topik hangat pemicu pertangkaran. Kami selalu menuntut disuapi tanpa berinisiatif menyuapi duluan. Batu dibentur batu. Hancur.
Di tahun kedua, setelah perdebatan panjang, dia pun menyudahi semuanya. Dia memintaku untuk melupakan janji-janjinya. Dia memintaku untuk menganggap bahwa janji dan sumpahnya untuk tidak menikah jika bukan denganku, untuk selalu setia denganku itu tidak pernah ada. Dia juga sempat bilang, setelah ini dia tidak akan mencari pacar lagi kecuali dia sudah menemukan perempuan salihah untuk dipersunting kelak.
Namun nyatanya, satu tahun setelah putus, dia malah mengincar salah satu temanku. Karena ditolak, dia lantas menggandeng adik kelasku. Entah apa faedahnya, dia menulis nama inisial gebetannya tersebut di bio Instagram. Aku sempat tak menyangka. Aku sempat menangis dan kecewa karena pada saat itu, perasaanku untuknya masihlah sama.
Aku cemburu pada sesuatu yang seharusnya tak kucemburui. Penyesalan atas apa yang terjadi selalu menghantuiku. Setiap mengingat wajahnya, aku hanya bisa menahan amarah. Hidupku tidak tenang karena kebencian. Hatiku tidak lega karena tak suka melihatnya bahagia bersama perempuan lain. Aku tidak sudi memaafkan dia.
Namun, hubungannya dan adik kelasku tidak bertahan lama. Dengan jahatnya, aku menganggap berakhirnya hubungan mereka adalah kabar bahagia. Bahkan aku senang melihat postingan-postingan galau di akun sosial media adik kelasku.
Tidak lama setelah itu, tiba-tiba dia kembali menarik perhatian dengan memamerkan sosok pacarnya yang baru lagi. Perempuan berambut panjang itu seorang model, cantik sekali. Baik si perempuan maupun si dia cukup sering mengunggah foto-foto kemesraan. Sungguh, I lost my words.
Dia benar-benar tidak bisa memegang perkataannya. He is just able to make a promise, but he is not able to keep it. Lagi-lagi aku kecewa, tapi untuk kali ini kupastikan tak ada setetes pun air mata yang keluar.
Aku menyadarinya sekarang, bahwa segala sesuatu yang terjadi padaku di masa lalu benar-benar tidak pantas disesali. Aku tak berjodoh dengannya merupakan kehendak Allah yang tak mungkin bisa kulawan, oleh sebab itu aku tak boleh menyalahkan diri sendiri.
Justru dengan rasa sakit hati ini, Allah sedang berusaha menjauhkanku dari laki-laki yang salah, laki-laki yang mungkin tepat tapi bagi perempuan lain. Aku juga belajar, bahwa maaf tidak memberi pengaruh besar kepada pihak yang bersalah walaupun sejatinya, merekalah yang minta dimaafkan. Lebih dari itu, memaafkan adalah untuk ketentraman batin kita sendiri. Dengan memaafkan, hati kita akan terasa damai dan ikhlas. Mari saling memaafkan, insya Allah hidup kita jadi lebih bahagia.
Advertisement
- Cinta Sejati, Suami Istri Ini Adalah Pasangan Tertua di Dunia
- Cinta Sempat Kandas Terhalang Weton, Akhirnya Malah Berjodoh dengan Mantan
- Jangan Katakan Sudah Berkorban Jika Belum Tahu Arti Sulitnya Mengikhlaskan
- Pria yang Berani Berkorban Untukmu Bisa Jadi Cinta Pertama dan Terakhirmu
- Hubungan Manis 4 Tahun Kandas karena Masalah Mahar dan 'Beda Kelas'
(vem/nda)