Pengorbanan. Satu kata yang mungkin mudah sekali mengucapkannya, tapi tidak semudah melakukannya. Terkadang kita sudah merasa berkorban demi orang lain, namun tak jarang apa yang kita lakukan tidak dianggap sama sekali.
Sejatinya berkorban itu erat dengan kata keikhlasan. Tak perlu menuntut orang untuk menganggap dan menilai apa yang sudah kita lakukan. Tapi, belajarlah berbuat sebaik mungkin dengan tujuan menabung bekal kebaikan.
Ya, karena alasan itulah seringkali saya hanya bisa tersenyum ketika orang-orang menganggap saya sudah berkorban untuk orang-orang terdekat. Saya hanya berbuat sebagaimana saya ingin diperlakukan. Tapi, ketika orang menilai lebih, cukuplah pujian itu dikembalikan kepada yang lebih berhak untuk dipuji.
Advertisement
Karena bagi saya, apa yang saya lakukan untuk kedua orangtua, belum setimpal dengan apa yang sudah mereka lakukan. Saya hanya bisa meringankan beban dalam hitungan tahun. Tapi, kedua orangtua saya sudah berkorban dari sejak saya belum terlahir ke dunia ini.
Dalam hidup saya, Mamah dan Bapaklah yang sudah sangat berjasa dan banyak berkorban untuk saya. Diberi cobaan penyakit sejak kecil hingga dewasa membuat Mamah dan Bapak direpotkan oleh saya. Bukan hanya berkorban materi, tapi pikiran dan waktu pun habis tercurahkan untuk saya.
Mamah rela tidak tidur bermalam-malam ketika penyakit saya sedang kambuh. Mamah juga rela menggendong saya kemana-kemana saat saya terkulai lemas karena sakit. Beliau dengan telaten mengurus saya setiap saat. Bahkan Mamah kehilangan me time nya karena waktunya habis mengurusi saya.
Bapak, pengorbanannya tidak jauh lebih banyak dari Mamah. Bapak tak pernah lelah menjemput rezeki agar saya bisa berobat setiap penyakit itu kambuh. Bapak juga terus mendidik saya agar bisa bangkit dan memiliki nilai lebih dibanding teman-teman yang lain.
Bapaklah yang pertama kali memperkenalkan saya dengan dunia menulis. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, Bapak rela menyisihkan uang untuk membelikan majalah anak bekas agar anak bungsunya ini bisa terus membaca. Tidak hanya itu, di tengah kesibukannya menjemput rezeki, Bapak mengajarkan saya bagaimana menulis cerita yang baik. Karena itulah, saya sering mewakili sekolah untuk ikut lomba mengarang. Mimpi saya untuk menerbitkan bukupun terwujud karena ilmu yang telah Bapak ajarkan kepada saya.
Bapak juga mau mengorbankan waktunya untuk langsung mengajari saya bahasa Inggris. Dengan caranya, saya menjadi suka dan paham dengan bahasa Inggris. Dan, karena ilmu yang beliau tularkan, saya bisa menjemput banyak mimpi dengan kemampuan bahasa Inggris yang saya miliki.
Bagi saya, Mamah dan Bapak sudah banyak berkorban untuk saya. Mereka tidak sekadar orangtua yang melahirkan dan membesarkan saya. Tapi, mereka adalah pahlawan yang telah menyelamatkan hidup saya. Karena mereka berdua saya berani punya mimpi. Karena mereka berdua juga saya berani menjemput impian itu menjadi sebuah kenyataan.
Oleh karena itu, ketika Mamah dan Bapak selalu bercerita kepada setiap orang kalau saya sudah banyak membantu keduanya, mereka keliru. Saya hanyalah berusaha untuk memberikan sedikit goresan senyuman di alur cerita hidup mereka. Dan itu tidak sepadan dengan rangkaian huruf dan kata kebahagiaan yang sudah mereka tuangkan dalam alur cerita saya.
Bagi saya, rasanya tidak berlebihan kalau saya menyebut Mamah dan Bapak sebagai pahlawan. Merekalah yang tidak pernah letih berjuang sehingga saya bisa seperti sekarang. Pengorbanan yang mereka berikan senantiasa tanpa jeda dan titik.
- Peluh dan Perjuangan Ayah Tanpa Lelah demi Anaknya Bisa Kuliah
- Jangan Menuruti Gengsi Jika Pada Akhirnya Hanya Akan Kita Sesali
- Ada 'Monster' yang Bersarang di Kepalaku
- Ayah, Sepeda, dan Sekeping Kenangan yang Tersimpan Indah
- Aku Rela Memangkas Kebahagiaanku demi Melihatmu Bahagia
(vem/nda)