Inilah kisah antara aku, ayah dan ibuku demi pendidikanku.
Aku adalah bukan aku jika tanpa kasih sayang kedua orangtuaku. Mereka sangat berpengaruh besar dalam setiap proses hidupku dan dalam setiap pencapaianku. Mereka selalu berusaha membuat damai kehidupanku.
Ibu, perempuan mulia yang tidak pernah mengeluh. Setiap pagi selalu membuat sarapan terbaik sebagai pemacu semangatku untuk menggapai ilmu. Aku meninggalkan ibu di rumah sendirian hingga waktunya aku pulang dari sekolah, selalu begitu.
Advertisement
Ayah, laki-laki tangguh penepis segala kesulitan dalam keluarga. Sampai kini aku tidak pernah melihat bagaimana bercucurannya keringat ayahku mengais rezeki di perantauan, merantau berpuluh-puluh tahun demi aku dan keluarga, demi menunaikan kewajibannya. Aku tidak pernah melihat bagaimana kesusahan yang ayah alami demi kemudahan dalam setiap hidupku.
Semakin aku tumbuh dewasa, aku mulai menyadari bahwa waktu bersama ibu dan ayah semakin sedikit. Kini aku melangkah lebih jauh meninggalkan ibu sendirian untuk melanjutkan pendidikanku. Kini juga menjadi lebih susah bertemu ayah, karena semenjak aku kuliah ayah hanya pulang ke rumah setiap enam bulan sekali atau bahkan satu tahun sekali.
Aku selalu meluangkan waktu untuk menghubungi ayah melalui telepon. Aku menanyakan kabar ayah, begitu juga ayah yang selalu menanyakan bagaimana keadaanku, bagaimana kesehatanku, apakah aku sudah makan, bagaimana kuliahku, apakah uangku sudah habis dan sebagainya, ya begitulah ayahku. Aku merasa ayah menjadi lebih bekerja keras sekeras kerasnya demi kuliahku.
Aku juga tidak pernah lupa untuk bercanda tawa dengan ibu dan adik-adikku melalui telepon, menanyakan kabar ibu dan keluarga di rumah, membicarakan apa yang sedang terjadi di rumah dan menanyakan apa yang ibu masak setiap hari. Aku tidak bisa duduk bersuka ria di bangku kuliah tanpa perjuangan keras ayah dan ibuku. Pendidikan untuk anak-anaknya adalah hal paling penting bagi kedua orang tuaku. Padahal aku mengetahui bahwa untuk memasuki dunia kampus membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Agar anaknya bisa kuliah dengan lancar, kesana-kemari ibu dan ayahku mengumpulkan pundi-pundi rejeki.
Sebagai seorang buruh bangunan, pendapatan ayah tidak seberapa. Kadang ayah mendapat rezeki lebih atau bahkan kadang ayah tidak bekerja karena tidak ada proyek bangunan untuk ayah kerjakan. Lagi-lagi demi kuliahku, ayah dan ibuku menjadi lebih sering terlibat dalam lingkaran hutang piutang. Semakin kesini semakin aku sadari bahwa perjuangan ayah dan ibuku untuk pendidikanku sangatlah besar. Bisa dikatakan bahwa mereka tidak punya modal atau tabungan sama sekali untuk menempatkanku hingga di bangku kuliah.
Aku ingat betul saat detik-detik kelulusanku dari SMA, ayah dan ibuku mulai ketar-ketir membayangkan bagaimana jika anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Padahal saat itu juga ayah sedang tidak mempunyai proyek bangunan untuk dikerjakan, ayah bekerja serabutan, jelas bahwa penghasilan ayah saat itu selalu pas-pasan.
Setelah aku sudah dinyatakan lulus dari SMA, ayah dengan lantangnya berkata mantap untuk mengkuliahkanku, walaupun jelas-jelas ayah dan ibuku tidak memiliki biaya untuk kuliahku. Bisa dikatakan bahwa ayah dan ibuku hanya modal nekat dan modal dengkul saja. Tiada cara lain yang lebih cepat, ayah nekat berutang di bank agar setidaknya tersedia uang untuk biaya masuk kuliah. Utangnya berpuluh-puluh juta dengan bunga yang cukup besar nominalnya.
Sekali lagi ayah tidak berpikir panjang mengenai bagaimana nantinya ayah akan membayar cicilan utang. Yang kulihat dari raut wajah ayah adalah bahwa beliau optimis akan kesuksesan anaknya, bahwa beliau tidak apa-apa akan bekerja lebih keras lagi demi kuliah anaknya. Begitu juga terlihat jelas raut wajah ibuku, terlihat bahwa beliau senang anaknya akan kuliah entah itu bagaimanapun caranya, walaupun di sisi lain ibu juga khawatir dan rasanya tidak sanggup untuk menempatkanku di bangku kampus.
Doa ibu selalu dilantunkan agar kesuksesan anaknya tercapai melalui pendidikan yang lebih tinggi. Harapan ibu adalah agar kelak anaknya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak serta mulia, bisa mengangkat derajat orang tua dan bisa mengubah nasib keluarga ke arah yang lebih baik.
Saat ini aku sedang kuliah di semester tiga. Untuk mencapai semester tiga di Kota Bandung lagi-lagi memang butuh perjuangan besar, terutama perjuangan keras dari ayah dan ibuku. Saat ini ayah masih di perantauan dan syukurnya ada pekerjaan. Untuk membantu keuangan keluarga, ibu terbiasa bekerja serabutan seperti mengupas kulit melinjo, dan beberapa pekerjaan di kebun. Akan selalu terpatri dalam dadaku bahwa ayah dan ibu lah yang benar-benar menguras tenaga, waktu dan pikiran untuk mendukung segala kebutuhan pendidikanku. Ayah dan ibu tidak pernah lelah untuk mendukungku baik secara finansial maupun mental.
Sekarang aku harus benar-benar berubah menjadi manusia dewasa dan mandiri. Aku tidak iri dengan teman-teman kuliahku yang berasal dari keluarga berada, aku selalu percaya bahwa setiap orang punya jalan kesuksesan masing-masing entah bagaimanapun latar belakang mereka asal mereka tetap berusaha dan pantang menyerah.
Sebelum bisa berkuliah di kampusku saat ini, ayah dan ibuku selalu memberikan motivasi terbaik untukku. Mereka mengatakan bahwa aku harus belajar keras dan berdoa agar bisa melewati tes masuk kampus. Mereka selalu bersikeras kepadaku agar aku harus kuat dan tabah serta tidak usah khawatir soal biaya. Mereka yang bergantian mengantarku kesana-kemari untuk mengikuti tes seleksi masuk kampus, sebelum akhirnya takdir mengantarku untuk berkuliah di kampusku saat ini. Aku selalu menangis jika mengingat kata-kata motivasi dari ayah.
“Yang penting kamu sekolah yang pintar, bisa jaga diri, jangan nakal, menurutlah kepada orangtua, jangan berani dengan orangtua karena itu dosa besar. Sudah, permintaan ayah hanya itu. Kalau ingin jadi orang pintar dan sukses harus semangat! Jangan menyerah! Ok? Pasti ayah kerja kan demi anak-anak biar pintar di sekolah. Makanya harus semangat sekolahnya. Jadi ayah yang kerja banting tulang tidak sia-sia anaknya jadi orang pintar.”
Begitulah ucap ayah padaku. Saat aku sedang tergoda dengan kemalasan, terbebani dengan tugas dan jadwal organisasi yang menumpuk, tetap harus aku ingat perjuangan ayah dan ibu sebagai motivasiku meraih kesuksesan.
Alhamdulillah berkat kerja keras serta doa dan perjuangan kedua orangtuaku, saat ini aku mendapatkan beasiswa prestasi dari kampusku. Mungkin ini bukan apa-apa, tapi aku berharap hal ini bisa memberikan angin segar untuk ayah dan ibuku. Sekarang aku tidak takut untuk tetap melangkah maju dan gigih melawan segala keterbatasan yang menghadangku. Semoga Allah memberikan kesehatan, keselamatan, kemuliaan dan panjang umur untuk ayah dan ibuku. Semoga Allah mengganti segala jerih payah perjuangan ayah dan ibuku dengan hadiah surga di akhirat nanti. Aamiin. – Dari Dian yang selalu semangat karena Ayah dan Ibu.
(vem/nda)