Tidak semua pahlawan memakai jubah, beberapa menjadi pegawai negeri sipil.
Kata ibu, pengorbanan ibu dan aku akan berbeda karena jalan yang dilalui juga tidak lagi sama. Yang pasti, arah tujuan kita harus sama. Sama-sama menuju perbaikan diri, kebahagiaan bersama, dan restu dari Tuhan.
Sore itu, sedang berlangsung acara peringatan hari besar nasional di sebuah sekolah dasar. Semua anak bersama orangtuanya duduk, berjalan–jalan melihat bazar, dan berbincang–bincang bercerita tentang kegiatannya di sekolah. Hanya saja, seorang anak perempuan yang memakai kacamata duduk sendiri karena orangtuanya belum datang, ingin sekali ia membeli buku–buku cerita di bazar, tapi dia tidak memiliki uang.
Advertisement
Lalu, seorang wanita dewasa datang menghampirinya setelah memarkirkan sepeda motornya di halaman sekolah. Wanita itu memakai jaket tebal dan memakai ransel besar. Ia segera menghampiri anak sulungnya yang telah menunggunya dari siang. Sang anak tersenyum, ibunya telah pulang bekerja.
“Bu, beli buku ya.”
Ibu tersenyum. Akhirnya, sang gadis memiliki buku cerita pertamanya.
Pengorbanan tidak selalu tentang perang senjata. Ibuku seorang dosen, baru saja terdaftar sebagai PNS. Jam kerjanya sama setiap hari, tidak boleh telat 1 menit pun. Aku berusaha memakluminya, meski selalu bertanya mengapa ibuku lebih sibuk dari ibu teman–temanku yang selalu sempat datang ke sekolah dan menunggui anaknya hingga waktu pulang.
Tapi, sejujurnya, aku merasa iri. Iri karena ibuku sangat jarang berada di sampingku. Setidaknya, ibuku memberikanku sebuah laptop sejak aku masih di bangku SD. Laptop, satu satunya teman yang selalu menemaniku sepanjang hari. Saat itu, aku berpikir apakah ibuku tidak sayang aku? Apakah ibuku gila bekerja hingga meninggalkan aku sendiri dari pagi hingga sore, sendiri. Aku sangat benci sendirian dan ditinggal oleh ibu seharian.
Seiring waktu, aku menyadari sesuatu. Ibuku tidak punya pilihan lain selain pergi bekerja untuk membiayai hidupku. Bahkan satu pekan setelah melahirkan aku dulu, ibuku langsung kembali bekerja; walau dengan alasan ‘bosan di rumah’ yang diberikan ketika orang lain bertanya. Padahal, jauh di lubuk hati ibu, aku tahu, finansial satu–satunya alasan itu.
Waktu bergulir, aku tumbuh menjadi remaja awal. Aku disekolahkan di sekolah swasta dengan alasan kualitas pendidikan. Biaya sekolahku sangat mahal, apalagi tuntutan gaya hidup dari pergaulannya. Ibuku tidak memiliki smartphone, tidak juga bedak dan gincu yang biasa dipakai ibu teman–temanku. Tapi, ibuku tak pernah telat bayar SPP dan aku memandangnya sebagai sesuatu yang biasa saja, bukan perjuangan berarti.
Saat itu, semua temanku memakai smartphone kecuali aku. Aku merajuk, ngambek beberapa hari agar dibelikan smartphone. Ibuku, wanita yang tak memakai perhiasan apapun selain cincin mahar akhirnya membelikanku smartphone. Saat itu, aku senang. Aku bisa percaya diri jika berkumpul dengan teman–temanku. Ibuku tetap tersenyum, tanpa menjelaskan sama sekali definisi pengorbanan.
Ibu lahir di keluarga yang sangat miskin. Beberapa kali memakai baju seragam untuk bermain karena tidak ada yang tersisa. Beberapa kali mengeringkan sepatu di atas kompor karena tak tersisa sepatu lain, tapi sepatu itu malah menciut. Meskipun begitu, ibu berhasil lulus dari perguruan negeri terbaik di ibu kota, sebuah mimpi yang tak pernah dibayangkan oleh gadis yang tak punya baju main.
Sampai saat itu, ibu tidak punya sepatu bagus, semuanya beli di pasar seharga Rp30 ribu. Namun, saat perpisahan sekolah, aku kembali ngambek minta sepatu olahraga yang biasa dipakai teman–temanku. Ibuku bilang tidak ada uang. Aku dengan egoisnya ngambek, malu dengan semua teman. Akhirnya, ibuku membelikan sepatu olahraga seharga Rp350 ribu untukku, walau, dirinya tak pernah memakai sepatu semahal itu.
Saat ini, aku sudah menjadi seorang mahasiswi. Cukup mengerti kalau selama ini aku begitu egois dan memiliki gengsi tinggi. Cukup mengerti bahwa pengorbanan ibu lebih tinggi dari rasa gengsiku. Sekarang aku memahami semuanya. Masa kecilku yang sendirian bukan salah ibu, hanya guratan takdir yang tak boleh dikeluhkan karena mengandung rencana Tuhan. Masa remajaku dengan gaya hidup sederhana bukan salah ibu, salah aku yang terlalu peduli dengan pendapat teman–teman. Masa kini yang telah menjadi lebih baik bukan karena aku, melainkan karena doa ibu yang tak pernah putus.
Apa itu pengorbanan? Tidak harus berada di dasar untuk disebut berkorban. Tidak harus di atap untuk disebut telah berkorban. Ibu beruntung masih bisa lulus S1. Walaupun sekarang ibu juga belum menjadi orang yang tersohor. Terkadang, antara dasar dan atap, tersimpan jutaan pengorbanan yang tak kunjung kita ketahui karena mata hati kita yang tertutup; terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, merasa masalah kita yang paling berat, hingga lupa pengorbanan dari orang lain.
Jangan pernah membiarkan gengsi kita membuat kita melakukan hal–hal yang kemudian akan kita sesali. Keinginanmu, gengsimu, cukuplah disimpan dan dituruti sesuai porsinya. Jangan biarkan mereka mengganggu kenyamanan ibumu.
- Ada 'Monster' yang Bersarang di Kepalaku
- Ayah, Sepeda, dan Sekeping Kenangan yang Tersimpan Indah
- Aku Rela Memangkas Kebahagiaanku demi Melihatmu Bahagia
- Kakakku yang 'Tak Punya Hati'
- Hanya Perlu Saling Menatap dan Menggenggam untuk Merasakan Indahnya Cinta
(vem/nda)