Aku memiliki seorang sahabat yang sangat dekat sejak kami duduk di bangku kuliah. Ia adalah tempat di mana kami bisa melabuhkan setiap rasa yang kami miliki, baik suka maupun duka. Bahkan, pernikahan kami pun dilangsungkan di tahun yang sama.
Ujian datang di tahun ketiga rumah tangganya. Konflik di dalam rumah tangganya semakin berat. Kala itu, aku sebagai sahabatnya belum mengetahui keretakan rumah tangganya. Ia sengaja menutupinya dariku, untuk menjaga kehormatan suaminya, dan juga nama baik keluarganya. Meskipun begitu, sedikit demi sedikit aku mulai mencium gelagat yang tidak baik dari suami sahabatku, apalagi saat aku berkunjung ke rumah mereka.
Rumah tangga yang ia mimpikan sebagai rumah tangga yang harmonis dan penuh cinta, harus kandas karena lelakinya kini sudah tidak mau mengarungi kehidupan bersama. Lelaki itu memilih untuk menikahi wanita lain, dan meninggalkan dua orang anak yang masih teramat kecil.
Sahabatku itu berusaha mempertahankan rumah tangganya sejak awal konflik bermula. Ia berusaha menjadi sosok istri yang diinginkan oleh suaminya. Memenuhi segala tuntutan suaminya, melakukan hal-hal yang bahkan aku tahu bahwa ia tidak nyaman dengannya. Ia berusaha untuk anak-anaknya. Agar anak-anaknya tak kehilangan figur seorang ayah.
Puncaknya, saat sang suami ingin menikah lagi, sementara tanggung jawabnya sebagai suami pun tidak dilaksanakan dengan baik. Anak yang dibelikan mainan mahal, namun tidak pernah melihat ayahnya ada di rumah, anak yang selalu mempertanyakan kapan sang ayah pulang, dan anak yang mempertanyakan mengapa mereka selalu pergi tanpa ayahnya ikut serta.
Sahabatku bukanlah orang yang menentang poligami, bahkan ia mengizinkan suami untuk poligami, namun tentu saja dengan syarat tanggung jawab pada keluarga tidak diabaikan. Namun kenyataannya sebaliknya. Sehingga ia meminta untuk berpisah di tahun kelima pernikahan.
Berpisah dari suaminya, ternyata tak membuat hidupnya lebih tenang. Mantan suaminya masih sering menyalahkan dan menyudutkannya di hadapan orang lain. Ia menyebarkan pada orang lain bahwa mantan istrinya itu tidak becus dalam mengurus keluarga, dan juga mendidik anak.
Advertisement
Aku yang tidak berada di posisinya pun merasa gemas dengan apa yang dilakukan mantan suaminya. Sementara sahabatku, ia seringkali tidak mempedulikan apa yang dilakukan mantan suaminya. Meski aku tahu, hatinya pasti sakit sekali, menanggung beban hidup seperti ini. Ia tetap tegar, untuk kedua anaknya.
Semua ia lakukan untuk kebaikan anak yang ia cintai. Mencari nafkah untuk anaknya, mendidik anaknya dengan penuh cinta, juga menjaga perasaan anaknya agar tak terluka oleh perpisahan ayah ibunya. Sahabatku itu bahkan memilih untuk tidak memberikan citra yang buruk bagi mantan suaminya di hadapan anak-anaknya. Ia ingin anak-anaknya tetap menganggap bahwa ayah mereka adalah lelaki terhebat dan bisa diandalkan kapanpun juga. Meski untuk itu, ia harus menahan rasa sakit seorang diri. Ia mengorbankan masa depannya, untuk kebaikan anak-anaknya.
Bagiku, ia adalah pahlawan bagi anak-anaknya, dan ia juga sangat berarti dalam hidupku. Ia mengajarkanku banyak hal, meskipun ia tak berbicara sepatah katapun. Ia membuatku banyak bersyukur atas kondisi yang seringkali luput untuk kunikmati. Ia adalah warna dalam hidupku dan anak-anaknya.
- Tetap Setia Hingga Napas Terakhir Meski Pernikahannya Tak Bahagia
- Selalu Ada Orang-Orang Baik di Sekitar Kita
- Berjauhan dengan Suami Saat Hamil, Aku Kuat demi Kebahagiaan Bersama
- Hidup Berdampingan dengan Kanker
- Bukan Kemewahan yang Diinginkan Orangtua, Tapi Melihat Anaknya Bahagia
(vem/nda)