Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.
***
“Mama was my greatest teacher, a teacher of compassion, love, and fearlessness. If love is sweet as a flower, then my mother is that sweet flower of love.”
(Stevie Wonder)
Sesosok tubuh kecil dengan timbunan lemak di perut, bekas sayatan pisau di tangan, guratan seperti cacing di paha. Wajahnya kusam dengan debu yang melekat, tidak bercahaya dengan noda-noda hitam di wajah. Wajah sucinya mulai kusut dan keriput, tangannya mulai dipenuhi dengan kerutan dan begitu kasar. Ibuku berperawakan kurus dan kecil karena setiap hari harus memikul beban makan ternak yang sangat berat di punggungnya.
Namaku adalah Nisfiatur Ramdliyah. Aku dilahirkan di sebuah desa yang sangat jauh dari jangkauan kota, sebuah desa terpencil di Kabupaten Semarang yakni desa Prangkoan. Qadarullah, aku dilahirkan di tengah keluarga yang kurang mampu. Ibu dan bapakku berprofesi sebagai seorang petani, sehingga mereka sudah sangat akrab dengan sengatan teriknya matahari di sawah. Bagiku, ibu adalah pahlawan yang memberi jasa terbesar dalam hidupku. Bagaimana tidak? Aku terbiasa memanggil ibu dengan sebutan mae (panggilan untuk ibu dalam bahasa Jawa). Mae melakukan banyak hal yang sangat berarti dalam hidup yang penuh dengan rintangan ini. Segala hal yang dilakukannya, tak lain adalah untuk kebaikan anak-anaknya.
Advertisement
Bapakku adalah tukang angon kebo (penggembala kerbau) di mana seseorang mengamanahkan pae (panggilan untuk bapak dalam bahasa Jawa), untuk memelihara dan merawat kerbau-kerbau itu. Apabila anak dari sepasang kerbau itu telah dilahirkan, gudel (anak kerbau) dapat dimiliki oleh pae, dan itulah bayaran sebagai gajinya.
Melihat keadaan ekonomi yang sangat sulit, tentu mae tidak ingin hanya berdiam diri dalam rumah. Mae selalu membantu pae untuk mencari makanan ternak, dan tentunya berat beban rerumputan itu mencapai puluhan kilo. Jarak yang sangat jauh ke sawah dan mencapai puluhan kilo meter harus dilewati mae untuk mendapatkan makanan bagi hewan ternak itu. Tingginya jurang dan curamnya tebing sudah biasa dilewati oleh mae untuk mendapatkan makanan ternak. Mae juga bekerja di sawah milik orang lain untuk memenuhi kebutuhan kami. Bekerja serabutan dengan penghasilan tidak seberapa, menjadikan mae terbiasa dengan situasi sulit dan selalu menghadapi pahitnya hidup dengan selalu sabar.
Aku memiliki dua saudara kandung, yakni bang Kholiq sebagai anak pertama, sedangkan saudara keduaku adalah mbak Tsani. Mae sering bercerita, “Dulu waktu abang kau kecil, dia dan mbak Tsani sering minta gendong pada mae. Padahal waktu itu, mae sedang membawa sekarung gabah (padi) di punngung. Abang kau minta gendong, begitu pula mbakmu. Jadi mae gendong itu sekarung gabah di punggung sama ada abangmu naik di atasnya, sedangkan mbakmu digendong di depan. Rasanya nyawa ini mau terpisah dari badan, mae tidak kuat.” Namanya anak kecil, kalau tidak dituruti pasti menangis meraung-raung. Ibu berjalan menapaki tebing yang sangat curam, ditambah lagi kakak-kakakku yang minta digendong.
Meskipun ibu bekerja di sawah milik orang lain, namun penghasilannya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Dapur bisa mengepul pun kami sudah sangat bersyukur. Untuk makan sehari-hari saja sangat susah. Ibu bercerita sambil menangis bila mengingat masa-masa yang sangat pahit itu. Ibu selalu khawatir apabila kami tidak tidak bisa makan esok hari.
Dulu ibu selalu membeli beras di pasar, tapi beras yang bau, kutuan, dan lebih tepatnya beras jatah orang miskin. Mengapa ibu melakukan hal itu? Karena kami tidak punya cukup uang untuk membeli beras yang bagus. Bahkan waktu itu para tetangga mendapatkan jatah raskin, namun keluarga kami tidak terdaftar sebagai warga miskin. Entah para pemerintah desa tidak kasihan atau mereka tidak tahu akan keadaan paceklik ekonomi keluarga kami, kami pun tidak tahu. Yang pasti, ibu selalu selalu mengajarkan kepada kami bahwa meskipun kami berada dalam kekurangan, kami tidak diperbolehkan untuk meminta-minta. Berusaha lebih sungguh-sungguh dan berjuang dengan usaha sendiri jauh sangat lebih baik daripada harus meminta-minta.
Dalam sehari, ibu memasak nasi satu gelas dan itu pun harus diirit-irit. Ibu selalu mewanti-wanti (berpesan) kepada bapak agar tidak makan nasi terlalu banyak karena aku dan kakak-kakakku harus diberi makan. Bisa dibayangkan, beras segelas yang bau dan berkutu, harus dibagi untuk lima orang dalam sehari. Agar bisa kenyang, ibu menyiasatinya dengan memperbanyak lauknya, yakni daun pepaya yang dipetik dari kebun kemudian dicocol dengan sambal. Begitulah betapa mengenaskannya hidup kami.
Meskipun kami hidup dengan ekonomi yang sangat kurang, ibu selalu berpesan kepada kami, “Ora popo urip kurang bondho, sing penting tetep teteg karo agomo (Tidak apa-apa hidup kekurangan harta, yang terpenting adalah selalu berpegang teguh pada ajaran agama)." Ibu selalu mengajarkan kebaikan kepada kami, terutama dalam hal spiritualitas dan ibadah.
Ibu selalu mengajarkan kami agar selalu hidup tegar. Dulu ketika kami kecil, ibu hanya memberi ASI. Setelahnya, ibu tidak mampu untuk membeli susu, sehingga ibu memberi kami tajin (air bekas memasak nasi). Ibu tidak menamatkan SD-nya karena mbah meminta ibu untuk bekerja di sawah ketika masih kecil. Meskipun demikian, ibu ingin agar anak-anaknya memiliki nasib yang lebih baik darinya. Ibu berpesan, apapun yang terjadi, kami harus menuntut ilmu setinggi-tingginya walaupun dalam keadaan ekonomi sulit sekalipun. Pesan itu selalu kami tancapkan dalam ingatan kami.
Suatu ketika, bapak bekerja di sawah milik orang lain, sehingga ibu harus menggantikan bapak untuk menggembala kerbau sambil menggendong abangku yang masih kecil. Namun, tiba-tiba kerbau itu mengamuk dan melarikan diri hingga ibu harus pontang-panting mengejar kerbau-kerbau itu. Napas ibuku terengah-engah dan ibuku tidak sanggup lagi untuk mengejar kerbau-kerbau yang lari dengan sangat cepat.
Ibuku adalah wanita yang sangat kuat dan tegar, sehingga ibu tidak mau menyerah. Dinginnya senja mulai menusuk, namun ibu tetap berusaha mencari kerbau-kerbau itu. Kuburan-kuburan yang gelap, bentangan sawah dan kebun, hingga berbagai desa pun disusuri ibu agar bisa menemukan kerbau itu. Hingga akhirnya, ada seseorang yang memberitahu bahwa kerbau-kerbau itu berlari menuju ke arah kebun karet. Pagi hari itu, ibuku menggiring kerbau-kerbau yang nakal itu menuju ke kandang. Itu artinya, ibu tidak tidur semalaman karena beliau merasa harus bertangggung jawab akan kerbau-kerbau itu.
Kehidupan ekonomi kami penuh dengan kesulitan. Mae merasa tersayat-sayat hatinya manakala mengingat masa kecil abangku dulu. “Dulu, abangmu kalo berangkat ke sekolah pasti merengek-rengek minta uang saku. Tapi ibu tidak punya uang, satu rupiah pun. Abangmu meminta sampai menangis-nangis bahkan sampai memeluk kaki ibu. Perih, sekali hati ini. Mau kasih uang saku buat anak pun tak mampu. “Ibu marahin abangmu itu, 'Pergi sekolah sekarang atau kalau kau tak mau, ya sudah sana, lepas seragam tak usah berangkat.' Akhirnya abangmu langsup usap air matanya, dan dia langsung lari pergi ke sekolah," ibu bercerita.
Sebenarnya ibu tidak tega, namun bagaimana lagi. Keadaan yang sulit mengharuskan kami untuk menerima kenyataan.
Di sepertiga malam, ibuku selalu bangun untuk mendoakan kami, kesuksesan bagi anak-anaknya. Butiran air matanya mengalir deras di penghujung malam, membasahi sajadah di setiap sujud salat tahajudnya. Ibu mengadukan segala keluh kesahnya kepada Sang Kuasa. Ibu memohon ampun kepada-Nya, karena ibu merasa bersalah tidak dapat membahagiakan anak-anaknya. Oleh karena itu, ibu berdoa agar kami menjadi orang yang lebih baik, sukses di dunia akhirat, dan mampu bermanfaat bagi nusa, bangsa, dan agama.
Keadaan ekonomi semakin sulit. Keperluan kami untuk sekolah, makan sehari-hari, kebutuhan rumah tangga, bahkan pernah suatu ketika kami tak mampu membayar tagihan listrik Ibu memutuskan untuk pergi ke luar negeri menjadi seorang TKW karena keadaan ekonomi yang semakin sulit. Ibu sangat sadar bahwa anak-anaknya masih kecil dan berada dalam masa dimana sangat membutuhkan sosok seorang ibu sebagai panutan. Namun keadaan mengharuskan kami berpisah dengan ibu. Kami sangat beruntung karena dikelilingi oleh orang-orang yang sangat baik seperti mbah, bulek, dan om yang selalu ada di saat kami membutuhkan bantuan.
Ibu adalah sosok yang sangat bertanggung jawab. Setiap gajian, ibu selalu mengirim uang ke rumah. Namun apa daya, uang tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami secara keseluruhan. Pasak lebih besar daripada tiang, pengeluaran kami lebih besar daripada pemasukan. Rumah kami yang terbuat dari gedeg (anyaman bambu) harus segera diperbaiki. Bahkan, dinding-dinding kayu rumah kami pun berlubang karena dimakan oleh rayap.
Rumah kami berlantai tanah sehingga rentan terhadap rayap di musim hujan. Sedangkan kandang kerbau kami pun juga semakin parah kerusakannya karena kerbau-kerbau tersebut sering mengamuk. Uang yang dikirimkan oleh ibu digunakan untuk merenovasi rumah, memperbaiki kandang, memplester lantai, dan memperbaiki dinding dan atap yang ada. Sedangkan untuk kamar mandi belum dapat diusahakan karena uangnya tidak mencukupi. Jika ada keperluan ke kamar mandi, kami harus pergi menuju toilet musala. Sedangkan untuk makan sehari-hari, menu sarapan kami adalah nasi hangat dicampur dengan kelapa parut dan garam. Menu spesial kami adalah telur yang dicampur dengan banyak parutan kelapa agar kami tetap kenyang.
Kontrak kerja ibu bekerja sebagai TKW telah berakhir. Selama dua tahun ibu bekerja sebagai pembantu di Saudi Arabia. Aku sering meneteskan air mata karena selalu merindukan ibu. Mbah tidak memperbolehkan ibu untuk pergi menjadi TKW lagi karena ibu adalah problem solver dalam rumah tangga kami.
Segala permasalahan di rumah tentu akan menjadi semakin runyam apabila ibu meningggalkan kami. Rumah sudah mulai diperbaiki. Lantai yang sebelumnya tanah kemudian diplester, dinding-dinding kayu yang bolong pun diganti, atap-atap yang bocor pun mulai diperbaiki. Ibu adalah pahlawan terbaik yang pernah kutemui, wanita tercantik baik dari parasnya maupun hatinya. Beliau selalu tegar dan sabar dalam menghadapi kenyataan hidup yang sangat pahit ini.
Dadaku terkadang terasa sesak bila mendengar nyinyiran tetangga–tetangga terhadap keluarga kami. “Opo iyo to anake wong tukang kebo iso kuliah? Arep dadi opo to?” (Masak iya sih anak tukang penggembala kerbau bisa kuliah? Mau jadi apa emang?) Aku semakin terpacu bahwa aku harus bisa dan sukses. Banyak gunjingan, nyinyiran dan ledekan dengan nada meremehkan kami sebagai keluarga ekonomi bawah. Aku harus bisa dan aku harus sukses. Titik. Kondisi keluargaku dalam kondisi ekonomi bawah memberikan ibrah wal i’tibar untukku. Hal tersebut menjadi cambuk untukku agar belajar lebih giat lagi agar menjadi orang yang sukses pada suatu saat nanti.
Hampir dua puluh tahun aku alami dengan hidup serba kekurangan memantik ku bahwa aku harus sukses. Aku harus bisa membahagiakan keluargaku. Pae dan Mae dan menginspirasi orang-orang di lingkunganku bahwa dengan belajar sungguh-sungguh dan azzam yang kuat, Allah SWT akan mewujudkan cita-cita kita. Aku sangat ingin bisa menginpirasi keluargaku dan orang-orang di lingkunganku, bahwa dengan belajar sungguh-sungguh maka kita akan dapat meraih cita-cita dan mendapatkan taraf kehidupan yang lebih baik.
Kini akhirnya, berkat kesabaran, keteguhan, serta semangat dalam menjalani hidup yang ditanamkan oleh ibu telah membuahkan hasil. Kami terbiasa berada dalam kesulitan, dan hal itu memberi pelajaran yang sangat berharga untuk kami.
Dengan penuh kegigihan, abangku akhirnya dapat kuliah di STAN dan telah mendapatkan pekerjaan. Sedangkan mbakku, kini sedang berjuang untuk mendapatkan gelar magister S2-nya. Aku sendiri saat ini sedang berkuliah di UII program kelas internasional.
Ibu selalu berpesan, “Jadilah wanita yang yang tangan kanannya mampu membesarkan anaknya untuk menjadi generasi terbaik umat dan bangsa sedangkan tangan kirinya mampu mengguncang dunia.” Pesan itu akan selalu kuingat dan menjadi peyemangatku. Doa ibu di setiap sepertiga malam telah didengar oleh Sang Pencipta, hingga tembus hingga langit ketujuh. Semoga suatu saat aku bisa membalas semua kebaikan ibuku. Thanks Mom for everything.
- Ibu Menjadi Orang Paling Berpengaruh dalam Membantu Mewujudkan Mimpiku
- Berbagi Pikiran untuk Keluarga dan Pekerjaan, Berat Tapi Ini Tanggung Jawab
- Ibu Diam-Diam Telah Menangis
- Ibu dan Luka yang Dipendamnya Seorang Diri
- Pejuang Senyuman Malaikat-Malaikat Kecil
(vem/nda)