Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.
***
Kami adalah sepasang pengantin baru. Demikian bisa disebut karena usia pernikahan kami baru menginjak 2 bulan. Aku adalah seorang guru di salah satu bimbel ternama di kotaku. Sedangkan Sang Pangeran, begitu aku memanggilnya, juga seorang guru swasta. Usia kami sama-sama menginjak 23 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Kami sama-sama baru diwisuda setahun yang lalu meskipun tidak di kampus yang sama. Itu artinya baru setahun ini kami bekerja menjadi guru honorer dengan gaji tak seberapa.
Kami memulai kehidupan baru kami dari nol. Selama dua bulan ini kami masih tinggal di rumah orangtuaku. Di saat awal-awal menikah, kami sepakat untuk menetap sementara di rumah orangtuaku maksimal 3 bulan awal untuk memikirkan rencana masa depan. Menetap sementara di sana selain ayah dan ibuku belum mengizinkan pindah, juga karena kami belum mampu membeli atau menyewa hunian kontrakan. Meskipun berada di rumah orangtua sendiri, hal itu tentunya tetap ada rasa tidak nyaman di hati kami. tetap ada impian untuk memiliki rumah sendiri dan membangun keluarga mandiri sebagaimana orang lain.
Advertisement
“Mas, ini udah 2 bulan kita di sini. Katanya Mas 3 bulan aja. Berarti ada waktu 1 bulan untuk kita mencari rumah. Enak ya, kalau punya rumah sendiri, Mas!” gumamku.
“Iya ya. Bersabarlah sebentar lagi. Mas juga pasti akan mengusahakannya. Memangnya kenapa? Sudah tidak betah di sini?” tanyanya padaku.
“Bukan, tapi membayangkan mengurus rumah sendiri kayaknya indah sekali. Tapi bagaimana ya, Mas. Uang kita tak ada. Tabunganku hanya 2 juta sedangkan di ATM Mas cuma ada 5 juta. Kayaknya masih jauh angan untuk punya rumah ya!” tambahku.
“Baiklah, nanti akan mas pikirkan caranya. Mas akan memberikan istana untukmu, Sayang. Insyaallah. Sekarang tidurlah dulu” rayunya padaku.
Perbincangan malam itu sudah membuka usaha kami untuk mulai bergerak menuju yang diimpikan. Tentang sebuah rumah. Tentang sebuah tempat yang akan menjadi pondasi membangun keluarga, tentang sebuah cita-cita dan impian bersama.
Setelah dihitung-hitung, uang tabungan kami berdua memang hanya kurang lebih berjumlah tujuh juta rupiah saja. Nominal ini tentunya tak seberapa untuk ukuran membeli sebuah rumah. Jangankan untuk membeli rumah, untuk membayar DP saja tentunya tak cukup. Tak sampai di sana akal suamiku.
Aku awalnya sudah menyerah. Kupikir, kami memang harus bersabar dulu tinggal di rumah orangtuaku hingga terkumpul jumlah yang lebih besar. Aku hampir pesimis. Tidak sependapat denganku, ternyata suamiku punya rencana lain. Ia memang tidak sepertiku. Ia berkarakter tenang, sedikit bicara namun tajam dalam menganalisa.
Saat ia mulai mengatakan akan melakukan sesuatu maka hal itu benar-benar akan ia lakukan sepenuh jiwanya. Ia tipe orang yang jika sudah memulai sesuatu maka ia juga harus menyelesaikannya. Aku sangat paham sifatnya. Hal inilah yang sangat membuatku jatuh cinta kepadanya. Optimismenya dalam memandang suatu urusan membuatnya tak kehabisan akal jika mengalami kendala atau kesulitan.
Aku merasakan binar keteguhan prinsip memenuhi jiwanya. Aku terharu melihatnya cintanya untuk mewujudkan impianku.
Dengan cermat suamiku menulis semua nama keluarga, rekan, dan sahabatnya. Aku bingung, sedang apa dia. Aku coba melihat isi tabel yang ia buat di agenda hariannya. Mengapa banyak nama orang tertulis di sana. Kami mulai berdiskusi. Ternyata itu adalah list peminjaman uang. Aku terkejut. Ternyata itu adalah list rencana peminjaman uang yang akan ia lakukan kepada daftar nama tersebut. Sebanyak-banyak nama yang ia kenal dan percaya semakin banyak peluang mendapatkan pinjaman. Tentu saja, hal ini dilatarbelakangi bahwa ia berprinsip tak ingin meminjam yang berbau riba. Sekiranya bisa maksimal 1-2 juta per orang dengan jangka waktu 2-3 bulan pengembalian rasanya itu tidaklah berat. Aku mulai paham jalan pikiran dan rencananya.
Satu per satu keluarga dan sahabat-sahabatnya ia datangi atau telpon. Ada yang meminjamkan lima ratus ribu hingga 1 juta rupiah. Sesuai rencana kami akan mengembalikannya dalam 2-3 bulan ke depan sesuai kemampuan kami. Alhamdulillah, uang pinjaman telah terkumpul sebanyak 12 juta rupiah. Ditambah uang tabungan kami sendiri sekitar 7 juta sehingga totalnya sudah hampir dua puluh juta rupiah. Angka ini cukup jika sekadar untuk membayar DP kredit rumah.
Dari hari itu, kami berdua berusaha mengumpulkan lebih banyak pundi pundi uang kami. Aku sendiri mengambil jam tambahan bimbel hingga pukul 21.00 malam. Sedangkan suamiku mengambil les privat di malam hari. Kami tahu ini adalah proses yang harus kami lalui untuk mewujudkan mimpi besar. Untuk sebagian orang yang bekerja dengan gaji tinggi atau berasal dari keluarga yang berada hal ini tidaklah sulit. Namun, untuk kami berdua yang memiliki latar belakang keluarga yang pas-pasan menjadi sesuatu yang sulit dan butuh pengorbanan besar untuk mendapatkannya.
Diam-diam kami mulai mencari informasi tentang rumah atau tanah yang dijual di seputaran kota. Hal ini kami lakukan tanpa ketahuan oleh orangtuaku. Kami datangi para pengembang perumahan dan mulai membandingkan harga. Betapa terkejutnya kami berdua ternyata harga rumah di saat ini luar biasa fantastisnya.
Adapun yang termurah, yang sesuai dengan dana yang kami miliki adalah perumahan di pinggir kota yang jarak tempuhnya 40 menit dari pusat kota. Namun, karena kondisi keuangan, akhirnya kami coba untuk mengambil tawaran tersebut. Perumahan ini ternyata sangat jauh. Kondisi tanahnya becek karena belum ada pengaspalan. Hatiku ragu. Aku mulai tak berminat. Suamiku pun mengerti. Akhirnya kami batalkan membeli perumahan.
Tak lama, ada teman yang menawarkan rumahnya. Posisinya di tengah kota, namun di belakangnya adalah selokan yang besar yang tiap kali hujan maka akan meluap ke sekitarnya dan menyebabkan banjir. Harga rumah itupun murah sekali hanya 36 juta. Tentu saja murah karena terletak di zona banjir. Aku ragu juga tapi kami terus mencoba yang terbaik.
Rumah itu kecil dan sangat sederhana. Jika kami bisa mengakalinya tentu banjir takkan jadi masalah. Kami mancari uang pinjaman berikutnya tentunya dari bank. Namun sayang kami ditipu. Uang administrasi yang kami bayarkan lenyap. Dan pegawainya tak kunjung menghubungi kami. Kami berusaha ikhlas, mungkin sudah nasib kami untuk melewati perjuangan ini semua. Yang kedua ini pun batal.
Suatu hari setelah hampir 2 minggu kami rasanya kehabisan langkah untuk mencari informasi kembali tentang rumah. Suatu hari ada seorang teman menelepon bahwa ia ingin menjual tanahnya. Posisi di tengah kota dan ukurannya luas. Lima hari setelah info tersebut, kami baru sempat untuk mendatangi lokasi.
Kami bertanya ke sana dan ke sini dimana lokasi yang dimaksud. Setelah mendapatkan lokasinya, kami mulai mengumpulkan informasi dari tetangga sebelah tanah yang dimaksud. Ternyata sayang disayang, tanah tersebut sudah dibeli orang lain 2 hari yang lalu. Siang hari itu terasa lebih terik dari biasanya. Kami lelah, ditambah lagi sedikit kecewa bahwasanya peluang memiliki tanah dengan harga terjangkau sudah lenyap rasanya. Aku berjalan dengan gontai. Suamiku berusaha menenangkanku. Mungkin memang belum rezeki kami. Kami pun berniat pulang.
Siang itu benar-benar panas. Kami menyapa setiap orang yang melihat kami berjalan meninggalkan lokasi tanah. Sampai di suatu rumah berwarna hijau. Satu satunya rumah yang ada di gang tersebut. Rumahnya besar namun terlalu sepi untuk tinggal di gang tersebut. Ada seorang ibu-ibu yang paruh baya menyapa kami.
“Dari mana, Dik?”
“Dari Bumi Ayu bu, kami mau lihat tanah milik teman yang katanya mau dijual,“ suamiku menjawab.
“Silakan mampir sebentar. Duduklah dulu hari ini sangat panas,” ujarnya ramah sambil memberikan 2 gelas air kepada kami.
“Apakah kalian ingin membeli tanah untuk membangun bedengan?” tanyanya.
“Tidak Bu, jangankan kontrakan, rumah saja kami belum punya. Kami ingin mencari tanah untuk kami sendiri. Bukan untuk bisnis. Kami ini pengantin baru," jawab suamiku.
Aku hanya duduk sambil sesekali mengangguk melihat obrolan mereka. Aku lelah sehingga tak berselera mengobrol.
“Kalau kalian ingin mencari tanah, beli tanah Ibu aja mau nggak?” tanyanya.
“Ibu punya tanah di ujung gang tak jauh dari tanah yang kalian lihat tadi. Tapi bentuknya tidak bagus selayaknya tanah kavlingan. Tanah ibu berbentuk segitiga yang tidak cukup luas. Itu hanya sisa tanah setelah dibagi-bagi oleh orang tua ibu dulu. Mau lihat nggak?” sambungnya.
“Ibu ini hanya ingin punya tetangga. Di gang ini hanya ada rumah ibu kan.”
Kami berdua saling berpandangan dan tersentak kaget mendengar tawarannya. Kami langsung mengikutinya menuju tanah yang dimaksud. Oh, ternyata tanahnya memang tidak luas. Tapi untuk membangun satu rumah sederhana sepertinya bisa. Kami mulai bertanya harganya. Ia bilang Rp10 juta saja. Kami berusaha menawar. Dan akhirnya. Dia memberikan dengan harga Rp8 juta. Alhamdulillah. Kesepakatan dimulai di atas sebuah kuitansi. Tanah tersebut memang belum ada sertifikatnya. Namun hal itu akan mudah untuk diurus di kemudian hari.
Seperti hujan yang menyirami kemarau. Tuhan seperti memberi apa yang diminta di ujung perjuangan yang sudah mencapai klimaksnya. Kami pulang dengan bahagia dan memberitahukan hal tersebut dengan ayah dan ibuku. Uang kami tersisa beberapa juta lagi. Syukurlah, uang pinjaman masih ada. Kami membelikan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk bangunan kami. Untuk menyewa tukang juga tidak akan cukup. Akhirnya dengan uang seadanya, suamiku bertekad untuk membangun rumah itu sendiri. Berbekal keterampilan seadanya, ia berusaha mengerjakan rumah itu sendiri. Aku sempat ragu apakah ia bisa. Toh sebelumnya ia tak pernah mengerjakan bangunan.
Setiap pulang sekolah ia mengunjungi tanah baru kami. Digambarnya sketsa rumah kami yang mungil, lalu ia kerjakan sedikit demi sedikit. Terkadang aku membantunya jika tidak ada jadwal mengajar. Sekadar mengumpulkan paku atau hanya menemaninya mengobrol. Secara naluri, aku tak tega melihat suamiku harus bertukang seperti ini. Panas terik membakar tubuhnya saat menaikkan satu demi satu batu bata rumah kami. Namun, demi mimpi inginkan hunian sendiri ia rela mengerjakannya.
Lama sudah suamiku mengerjakan proyek pembangunan rumah kami. Nyaris 8 bulan lamanya karena hanya mengandalkan sisa waktu sepulang bekerja, itu pun tidak setiap hari. Rumah mungil kami pun telah siap huni. Cukup hanya untuk kami melakukan aktivitas utama kami di rumah. Mungil namun bagiku itu sebuah karya besar seseorang untukku. Rumah ini telah banyak dibasahi keringat pengorbanan seorang suami untuk istrinya.
Hari itu, 9 Oktober, tepat satu tahun ulang tahun pernikahan kami. Hari itu juga hari pertama kami menempati surga baru kami. Rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan. Bahagianya tak terungkapkan. Perjuangan seorang suami yang takkan terbayarkan apapun untuk istrinya. Inilah kado terindah dari belahan jiwaku, pangeran dalam hidupku, di hari bahagia kami dan bagiku seumur hidupku. Sungguh keajaiban akan datang di saat usaha dan pengorbanan telah mencapai batasan maksimal. Barang siapa bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya. Inilah Baiti Jannati, rumahku surgaku. Semoga keberkahan selalu dilimpahkan untuk rumah kami hingga kapanpun.
- Darah dan Keringat Mama adalah Hidupku
- Untuk Pengorbanan Seorang Ibu, Hanya Surga yang Bisa Jadi Balasannya
- Demi Keluarga, Terkadang Kita Harus Mengambil Keputusan Besar dalam Hidup
- Demi Anaknya, Seorang Ayah Seringkali Sengaja Menyembunyikan Rasa Lelahnya
- Ibu, Terima Kasih karena Kau Selalu Menemaniku Saat Aku Terpukul dan Jatuh
(vem/nda)