Kira-kira apa yang orang pikirkan pertama kali ketika mendengar kata “perempuan”? Mungkin masih banyak orang yang mengaitkannya dengan kosakata seperti anggun, make-up, sensitif, atau bahkan ‘drama queen’. Tapi bagaimana kalau misalnya diri kita sendiri merupakan perempuan yang jauh dari kosakata tersebut? Dan bagaimana pula jadinya kalau ternyata diri kita justru berada didalam lingkaran orang-orang dengan pemikiran seperti demikian? Pastinya akan ada minimal satu kata yang akan disematkan kepada diri kita, yaitu ‘tomboy’.
Demikian pula yang terjadi pada diriku. Parahnya, bukan hanya satu kata tersebut saja yang disematkan, tapi ada banyak. Ditambah pula kalimat-kalimat yang dilontarkan dengan beragam jenis, ada kalimat pernyataan dengan nada mengejek, ada juga kalimat tanya yang tak berhenti menghantui. Kalimat-kalimat seperti, "Oh ya, aku lupa kalau kamu kan bukan perempuan." "Kamu kan cewek maskulin," atau yang lebih parah, "Kapan sih kamu bisa jadi cewek?" Kalimat-kalimat tersebut jelas bukan sebuah pujian, tapi cibiran. Karena fakta yang ada, yaitu aku benar-benar seorang perempuan. Meski agak maskulin.
Menjadi perempuan maskulin sebenarnya tidak sulit, justru menurutku ini sesuatu yang sangat sederhana. Bagaimana tidak, perempuan maskulin sepertiku tidak perlu pusing memikirkan mahalnya membeli make-up, ribetnya memilih gaun, ataupun susahnya berjalan menggunakan high-heels 15 cm. Tapi tetap saja, masih banyak orang yang memberikan stereotipe bahwa perempuan itu harus feminin. Harus selalu pakai make-up kalau bepergian, cara berjalan ataupun naik kendaraan harus anggun, juga hal-hal lainnya yang diidentikkan dengan feminin seperti warna pink, boneka, sensitif,dll. Duh, kok jadi ribet ya?
Tekanan bertubi dari dampak stereotipe ini lama kelamaan cukup mengahantuiku. Tak kurang dari satu cibiran hampir-hampir selalu kudapatkan setiap harinya. Pertanyaan, "Kapan kamu bisa jadi perempuan?" selalu diungkapkan orang-orang di sekitarku dengan berbagai versi. Alhasil, ketika telinga cukup panas mendengar hal itu, akupun sering menolak ajakan keluar oleh beberapa teman dengan mengatakan kebohongan-kebohongan yang kubuat sealami mungkin. Bagi mereka mungkin itu suatu bentuk nasehat ataupun dorongan agar aku berubah. Berubah menjadi feminin. Tapi wujud penyampaian lewat kalimat-kalimat demikian justru membuat mentalku turun.
Pada suatu waktu, ketika aku sedang berbaring di kamar sesaat setelah aku menolak ajakan keluar, aku tiba-tiba mendapat motivasi untuk berubah. Seperti ada suara berbisik di telingaku untuk mencoba hal baru kearah menuju perempuan feminim. Aku mulai belajar.
Mulai dari membaca informasi di website, menonton YouTube, sampai mengamati ‘perempuan-perempuan feminin’ yang aku jumpai di manapun aku berada. Aku mulai mencari tahu apa saja kebiasaan perempuan feminim, bagaimana memilih pakaian, sampai yang paling ekstrem aku mencoba mengamati cara perempuan menaiki motor dengan anggun ketika di jalan raya, yang gara-gara hal itu membuatku hampir celaka.
Alhasil, di suatu waktu aku mulai ingin mengubah sedikit penampilanku. Aku memakai long dress dengan dilengkapi dengan atribut kaki berwarna peach yang aku tak tahu namanya, entah wedges, high heel, atau namanya cuma sekadar sandal. Dan ketika aku bertemu beberapa temanku, respon mereka sungguh membuatku terharu, hampir-hampir menangis. Mereka berkata, "Dejak kapan kamu jadi perempuan?" Well, pada faktanya aku adalah perempuan sedari lahir.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah memikirkan lagi tentang apakah aku ini feminin atau maskulin, dan juga tidak memikirkan lagi bagaimana cara mengubahnya. Aku memakai baju yang aku suka, sandal yang aku suka, dan segala aksesoris yang aku suka.
Pertanyaan, "Kapan kamu bisa jadi perempuan?" sudah tidak sering kudengar lagi. Hal itu terjadi karena aku selalu memakai earphone kapanpun, di mana pun. Walau kadang aku tidak sedang mendengarkan musik atau menggunakannya untuk telepon, cukup kugunakan saja untuk sekadar menghindari pertanyaan, "Kapan kamu bisa jadi perempuan?"
Advertisement
- Menjalin Hubungan Jangan Cuma Asal 'Jalani Dulu' Tapi Juga Perlu Kepastian
- Trauma Kekerasan di Masa Lalu Bisa Membuat Wanita Takut Jatuh Cinta Lagi
- Pernikahan Bukan Undian, Tak Bisa Sembarangan Asal Pilih Pasangan
- Meski Seumuran Waktu Sekolah, Takdir Menikah Belum Tentu Sama
- Ejaan Cantik Itu Bukan K-U-R-U-S, Iya Kan?