Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Kapan beli rumah? Mungkin pertanyaan ini jarang banget masuk dalam area pertanyaan seputar “kapan” yang biasa dibuat meme , kata bijak, sindiran, atau apapun. Yang sering jadi bahan pertanyaan yang bertema kapan adalah “Kapan menikah?” “Kapan punya anak?” dan “Kapan lulus?” Lalu pertanyaan, “Kapan beli rumah?” yang jarang disebut-sebut, punya efek yang sama nggak dengan pertanyaan-pertanyaan dalam area ”kapan” yang lain?
Advertisement
Yups, benar sekali.. pertanyaan “kapan beli rumah?” efeknya juga sangat sama, sangat mirip dengan pertanyaan dalam lingkup “kapan” lainnya. Saya sendiri merasakannya dan luar biasa harus me-manage hati serta mengontrol emosi agar tidak menjawab dengan kalimat-kalimat menyakitkan atau bahkan akan curhat ilegal. Bagaimana tidak, saat ada pertanyaan kapan beli rumah, pastinya ingin banget ngejelasin kebutuhan hidup, masalah-masalah hidup, dan lainnya yang bisa jadi akan bermuara menjadi sebuah gosip. Iya gosip, tahu kenapa? Karena orang yang bertanya belum tentu simpati, bisa jadi hanya mencari kelemahan-kelemahan dan kemudian dijadikan buah bibir di mana-mana.
“Kapan beli rumah?” pertanyaan yang bagi saya membawa hawa-hawa panas di telinga. Apalagi kalau yang bertanya hanya orang-orang itu saja, yang notabene mereka tahu keadaan kami. Iya, kami.. kami adalah keluarga kecil dengan jumlah anak satu, berusia 27 bulan, dan kami belum mempunyai tempat tinggal.
Saya dan suami, atau sebut saja kami, merupakan warga asli Banyuwangi yang bekerja di Jember. Di Banyuwangi, kami harus mengurus dua rumah. Rumah dari orangtua suami, yang di rumah itu ada kakek atau kami sebut si Mbah yang berusia 91 tahun. Kami yang merawat. Tidak perlu diceritakan, kemana orangtua kami, karena itu bukan tema dari cerita ini.
Sementara itu, di pihak saya, ada satu rumah yang ditinggali orangtua kami, Ibu dan Bapak. Tentu saja yang sangat saya sayangi. Kedua kakak saya sudah berkeluarga dan mempunyai rumah pribadi yang tidak jauh dari tempat tinggal orangtua saya. Saya sebagai anak bungsu, menempati rumah tersebut. Dan di Jember, kami menyewa sebuah rumah, yang saya tinggali pada hari aktif kerja, saat weekend saya harus pulang ke Banyuwangi. Ya, hanya saya sendiri yang di Jember, karena suami saya di rumah merawat si Mbah dan anak saya ikut orangtua saya, dengan alasan tidak tega jika harus di TPA-kan.
Baiklah, kembali ke dalam cerita seputar rumah, intinya kami mempunyai tiga dapur yang harus ngepul setiap harinya. Suami saya wiraswasta, dan saya merupakan dosen baru di salah satu perguruan tinggi di Jember. Ketika banyak orang mengira bahwa gaji saya banyak dan selalu bertanya, “Sudah beli rumah?”atau “Kapan beli rumah?” itu merupakan sebuah pukulan tersendiri. Di satu sisi menjadikan sebuah kunci motivasi bahwa kami harus berjuang agar mempunyai rumah di Jember. Di sisi lain, terkadang hal tersebut menjadi pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami.
Suami saya selalu bilang belum siap dan andai beli rumah saat ini, kami akan bingung untuk modal usaha. Sementara di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan tentang rumah selalu muncul membuat risih.
Pernah kami akan mengambil KPR di Jember, dengan DP 24.000.000 bisa diangsur satu tahun. Uang kami sudah masuk sebagai DP 10.500.000. Namun, saat proses, yang entah saya lupa namanya, dan memang ingin melupakan, DP kami disetujui oleh bank, yang tidak perlu saya sebut namanya, sebanyak 67.000.000. Naik hampir tiga kali lipat. Ini angka yang menakjubkan untuk kami, menakjubkan untuk tidak bisa kami penuhi. Akhirnya kami memutuskan untuk membatalkan dengan KPR tersebut dengan DP dikembalikan, kalau tidak salah hanya 50%, dan diangsur pula. Inilah ujian. Uang kami harus terpotong dan kami harus ikhlas.
Hal tersebut menjadi sebuah pembelajaran bagi kami, agar kepada siapapun kami menghargai dan menjaga lisan kami. Karena pertanyaan sekelumit mampu menciptakan api pertengkaran dalam rumah tangga orang lain. Stop bertanya, “Kapan beli rumah?” “Sudah beli rumah?” karena saya yakin setiap orang punya prioritas dan Tuhan akan mendahulukan apapun yang diperlukan oleh hambaNya, bukan yang semata dalam keluasan keinginan hambaNya.
- Bukan Pembelaan, Tapi Inilah 4 Alasan Saya Tak Ingin Cepat-Cepat Menikah
- Keraguanku Terjawab, Ternyata Sudah Ada Wanita Lain yang Jadi Calon Istrimu
- Usia 34 Tahun Belum Menikah, Aku Tetap Yakin Jodohku Ada
- Mantan Mahasiswi Terbaik Kok Malah Jadi Ibu Rumah Tangga?
- Menunda Kehamilan adalah Keputusanku dan Suami, Tak Perlu Menyudutkan Kami