Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Sejujurnya, saat ini aku tidak diserbu oleh pertanyaan "kapan lulus?" karena aku sudah lulus kuliah S1 sejak Oktober 2017. Aku juga tidak diserbu dengan pertanyaan "kapan nikah?" karena mungkin aku masih muda dan mungkin orang memang belum niat tanya soal itu. Tapi justru aku dibombardir pertanyaan soal pekerjaan yang diajukan dalam wujud “halus” sebagai topeng yang di baliknya adalah pertanyaan menohok bagi seorang pengangguran: Kapan kerja?
Sudah lulus, ya? Sekarang kamu di mana? Ngelamar di mana? Sekarang sibuk ngapain? Sudah lamar kerja ke mana saja? Keterima kerja di mana? Sudah kerja? Di mana kerja? Kerja? Kerja? Kerja? Bla bla bla.
Kyaaa! Stop it already!
Benar-benar deh, ya? Apa enggak ada pertanyaan lain? Aku itu kalau sudah kerja pasti akan kasih kabar, kok! Aku akan berbagi berita baik sama kalian, berbagi kebahagiaan sekaligus kasih kode kalau gajian aku sudah bisa dengan bangga traktir kalian. Suka sebal jadinya kalau sudah begitu, ditambah sebalnya itu harus aku sembunyikan. Demi keharmonisan hubungan perkeluargaan dan pertemanan, aku harus stay cool bersikap seolah aku enggak kenapa-kenapa. Huh!
Sudah lulus, ya? Sekarang kamu di mana? Ngelamar di mana? Sekarang sibuk ngapain? Sudah lamar kerja ke mana saja? Keterima kerja di mana? Sudah kerja? Di mana kerja? Kerja? Kerja? Kerja? Bla bla bla.
Kyaaa! Stop it already!
Benar-benar deh, ya? Apa enggak ada pertanyaan lain? Aku itu kalau sudah kerja pasti akan kasih kabar, kok! Aku akan berbagi berita baik sama kalian, berbagi kebahagiaan sekaligus kasih kode kalau gajian aku sudah bisa dengan bangga traktir kalian. Suka sebal jadinya kalau sudah begitu, ditambah sebalnya itu harus aku sembunyikan. Demi keharmonisan hubungan perkeluargaan dan pertemanan, aku harus stay cool bersikap seolah aku enggak kenapa-kenapa. Huh!
Sebalnya sih mungkin cuma sesaat setelah ditanya soal pekerjaan, terus sehabis itu cool lagi. Tapi begitu tiba waktunya lagi sendirian, apalagi malam-malam (bukan cerita horor) pasti akan merenungi kejadian sebelumnya dan teringat tentang statusku yang pengangguran. Somehow status pengangguran terasa lebih menyedihkan daripada status single yang juga sedang dijalani.
Well you should know ladies and moms, sering kali aku jadi sedih. Karena sudah melamar ke sana sini belum ada yang menerima aku sampai tahap terpilih. Paling mentok aku dipanggil sampai tahap psikotes atau wawancara saja, itu pun jarang-jarang. Peluangnya sekitar 1:10. Rasanya ingin menangis, apalagi lihat teman seangkatan sudah banyak yang punya pekerjaan. Akhirnya aku berpikir, jadi ragu sama kemampuan diri sendiri, "Apa aku ini kurang kompeten dibanding mereka?"
Pada satu sisi, pertanyaan orang yang secara tidak langsung bertanya kapan kerja itu bagus, mengingatkan aku pada kenyataan bahwa aku masih pengangguran. Tapi di sisi lain pertanyaan itu bikin aku down, karena jawabanku terhadap pertanyaan itu akan selalu sama, jawaban yang mengecewakan. Selama ini aku hanya menghabiskan uang orang tua, bukannya kasih uang ke mereka. Seharusnya aku juga kerja, seperti teman-teman yang lain. Lagi-lagi jadi sedih!
Setelah menenangkan jiwa dan raga, mengumpulkan kewarasan, aku pun jadi sadar. Aku sedih karena aku membandingkan diri aku dengan orang lain. Aku down karena aku pesimis. Aku sebal karena aku terlalu mendramatisasi pertanyaan orang lain, yang sebenarnya adalah wujud kepedulian mereka (walau mungkin sebagian orang cuma tanya itu sebagai topik pembicaraan).
Aku dan orang lain itu beda. Kita punya episode dan kisah hidup kita masing-masing yang unik dan menarik. Teman seangkatanku lebih dulu dapat pekerjaan, ya itu adalah bagian dari episode kisah hidup mereka. Dalam episode kisah hidupku sekarang, ya memang belum waktunya saja aku dapat pekerjaan. Bukan berarti aku tidak lebih kompeten dari mereka.
Aku enggak seharusnya jadi pesimis. Semua orang punya zona waktu mereka masing-masing. Aku sudah berusaha melamar pekerjaan ke banyak tempat, dan tentu saja berdoa (apalagi ditambah doa orangtua dan lainnya). Aku yakin Tuhan pasti sudah punya rencana terbaik kapan dan di mana sebuah perusahaan akan memilih aku di antara banyaknya pelamar yang melamar ke perusahaan itu.
Semua orang yang bertanya padaku tentang kapan kerja sesungguhnya peduli dan sayang sama aku. Mereka pasti akan ikut senang kalau tahu aku sudah bekerja dan mereka pasti akan ikut mendoakan kalau tahu aku belum dapat pekerjaan. Mereka itu baik! Bahkan pertanyaan dari mereka bisa jadi pengingat dan motivasi agar aku lebih giat lagi melamar pekerjaan.
Well we both know ladies and moms, kita memang harus bisa melihat segala sesuatu dari sisi positifnya. Always see the bright side is a good thing, menjadi positif dan optimis akan membuat hari-hari kita lebih indah dan diri kita lebih bahagia. Itu sudah pasti. I guarantee it, because it works on me.
Siapa yang menyangka? Salah satu dari puluhan lamaranku ternyata resmi diterima oleh salah satu perusahaan. Dan tiga hari yang lalu, aku sampai pada tahap terpilih! Aku diterima kerja! Segala puji bagi Tuhan semesta alam, rencana-Nya memang begitu indah! Aku sudah siap memberi kabar gembira ini pada semua yang sudah peduli kepadaku. And ladies and moms, aku sudah kabari kalian, ya. I hope you guys also happy about the good news! :)
- Jodoh Bukan Cuma Kita yang Mengatur, Ada Tangan Tuhan yang Bekerja
- Dilema Ibu Bekerja, Berangkat ke Kantor dengan Berlinang Air Mata
- Sulit Menerima Pria Baru Bila di Hati Masih Menyimpan Luka dari Masa Lalu
- Berusaha 'Waras' Pasca Melahirkan Menghadapi Komentar Orang Tentang Anakku
- Saat Berhasil Melewati Ujian Kesabaran, Jodoh Akhirnya Datang Tepat Waktu