Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Tahun ini usiaku sudah memasuki angka 25 tahun. Seperempat abad sudah hidup di dunia ini. Usia di mana sudah dianggap amat sangat matang untuk memulai petualangan hidup yang baru yaitu pernikahan.
Tentang menikah, yah siapa perempuan di dunia ini yang tidak mempunyai cita-cita menikah? Mempunyai keluarga kecil sendiri, hamil, dan mengurus buah hati. Sungguh aku sangat menunggu momen itu tiba. Apalagi melihat kerutan di wajah ibuku yang semakin bertambah dan uban di rambut ayah yang semakin rata. Aku sadar bahwa aku bukanlah anak kecil lagi yang kemarin sore masih mereka suapi. Sudah saatnya aku menemukan sesosok pria yang bertanggung jawab atas diriku dan keluarga kita nanti.
Kadang di dalam hati aku berpikir kenapa aku masih saja sendiri. Apakah aku terlalu pemilih? Apakah aku punya kriteria yang terlalu tinggi? Apakah tidak ada satupun hal dalam diriku yang menjadi daya tarik seorang laki-laki untuk mendekati dan menjalin hubungan serius? Dan masih banyak "apakah" dalam benakku.
Sebenarnya aku tidak menutup diri. Aku pernah memiliki hubungan spesial dengan teman sekolahku di bangku SMA dulu. Bahkan kami pernah berandai andai jika memang berjodoh dan menikah kami akan mempunyai rumah seperti apa, punya anak berapa, dan mau pergi ke mana saja kita nanti kalau tiap akhir pekan. Namun Tuhan berkehendak lain hubunganku dengan dia kandas dengan alasan yang tidak jelas.
Advertisement
Suatu ketika aku dan dia bertengkar hebat hingga keluar dari mulutku kata "putus". Dan dia tidak sedikit pun berusaha bagaimana caranya supaya hubungan kami membaik. Padahal pertengkaran itu terjadi karena salahnya. Namun tidak ada kata maaf darinya, justru dia yang menyalahkanku. Aku berpikir mungkin memang ini jalan terbaik untuk hubungan kita. Dan akhirnya kami resmi menyudahi hubungan ini. Tidak ada komunikasi sedikitpun setelah hubungan kami berakhir.
Sampai suatu ketika teman-teman alumni SMA kami mengadakan reuni. Kami sama-sama hadir di acara itu. Ketika acara berlangsung kami masih saling memperhatikan. Dia mencoba mengajak aku bicara dan bercanda. Kami larut dalam candaan itu sampai lupa kalau kita ini adalah mantan pacar yang bermusuhan.
Aku tidak bisa mengelak bahwa aku masih sangat menyayanginya. Sepulang reuni dia mengantarkanku ke rumah. Aku sangat bahagia saat itu karena mungkin ada harapan kami bisa menjalin hubungan kembali. Setelah acara reuni itu kami semakin intens bertemu setiap akhir pekan. Dia sering main ke rumahku dan mengajak pergi ke kafe langganan saat dulu masih pacaran. Kemudian dia menyatakan niatnya untuk memperbaiki hubungan kami.
Aku pun bersedia namun dengan syarat bisakah dia tidak mengulang kembali kesalahan yang sama yang menjadi sebab putusnya kita dulu. Dia bersedia dan mau lebih serius menjalin hubungan denganku. Bahkan dia berjanji setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan dia akan membawa aku ke rumahnya dan memperkenalkan aku sebagai calonnya.
Sungguh bahagia saat mendengar dia mengucapkan semua niatnya itu. Karena selama aku berpacaran dengannya dulu tidak pernah sekalipun dia berniat memperkenalkan aku kepada orangtuanya. Entah kenapa aku juga tidak tahu pasti. Dia selalu bilang, "Nanti akan ada saatnya aku memperkenalkanmu kepada orangtuaku tapi tidak sekarang."
Dan karena niatnya itu aku berpikir sekarang dia sudah berubah menjadi lebih baik, lebih dewasa dan lebih memikirkan masa depan.
Akhirnya aku kembali menjalin hubungan dengannya. Dan aku tidak mau lagi dengan mudahnya mengucap kata putus.
Sampai suatu ketika aku melihat di aplikasi Whatsapp-nya ada pesan dari seorang perempuan dengan bahasa yang mesra. Aku marah dan dia tidak sedikitpun berusaha menjelaskan. Ya sifatnya itu yang sangat aku benci. Dia tidak pernah mau menyelesaikan masalah. Dia selalu lari dari masalah dan berharap masalah akan menguap dengan sendirinya. Hari berganti hari dan dia tidak sekalipun menghubungiku. Segampang itukah dia menghancurkan hubungan yang baru saja diperbaiki? Apa salahku hingga dia tega mematahkan hati ini untuk yang kedua kalinya? Aku anggap hubungan kami berakhir karena tidak ada niat baik darinya untuk menemuiku dan menjelaskan siapa perempuan itu.
Tak berselang lama, aku melihat dia memasang foto bersama seorang perempuan di media sosialnya dan mengunggah status yang menyatakan mereka berpacaran. Betapa nelangsanya aku. Rasa sakit dan kecewa ini belum usai ditambah lagi melihat kenyataan kalau ternyata dia selingkuh saat masih menjalin hubungan denganku.
Sedih marah kesal kecewa semua menjadi satu. Menyesal kenapa aku bersedia balikan lagi dengannya. Sama saja membaca buku untuk kedua kalinya. Ending-nya pun akan tetap sama bukan? Berhari-hari aku masih menangis mengingat dia. Aku berusaha bangkit dari patah hati yang kedua ini. Mencoba mengikhlaskan dia yang selalu kusebut dalam doaku. Selalu kuyakinkan dalam hati bahwa dia bukan yang terbaik untukku.
Aku kembali menikmati kesendirianku tanpa seorang laki-laki yang menjadi penyemangat.
Aku menyembunyikan putusnya hubunganku dengan dia dari ibuku. Karena aku tahu pasti ibu akan sangat kecewa kalau tau itu. Ibu sudah berharap besar kalau dialah nanti laki-laki yang menjadi pendamping hidupku.
Satu bulan kemudian aku memberanikan diri untuk bercerita pada ibuku. Namun aku tidak menceritakan bahwa dia selingkuh. Aku hanya bilang kami sudah tidak cocok lagi dan kami memutuskan untuk berteman saja. Aku melihat sedikit kekecewaan dalam diri ibuku. Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa memberikan calon menantu untukmu. Aku gagal mempertahankan dia.
Hari demi hari berlalu, kadang di sela-sela pembicaraanku dengan ibu, ibu menanyakan dia. Bagaimana kabarnya dan sekarang kerja di mana. Aku jawab saja kalau aku sudah tidak punya kontaknya. Jadi aku sama sekali tidak tahu apapun tentang dia. Padahal setiap hari aku selalu memperhatikan semua media sosialnya. Berharap mendapat kabar baik kalau dia sudah putus dengan pacarnya. Hahaha lucu memang. Aku sudah disakiti olehnya tapi masih saja berharap dia kembali padaku.
Entah mengapa dia begitu baik di mata ibuku. Sampai-sampai pernah ibu mengungkit dan menyalahkan aku atas putusnya hubunganku dengannya. Aku mencoba sabar dan meyakinkan Ibu kalau memang semua ini sudah takdir kita tidak berjodoh.
Pada saat momen lebaran, banyak sekali saudara yang datang ke rumah untuk bersilaturahmi dan tak ketinggalan pertanyaan, "Mas yang kemarin itu kapan datang silaturahmi ke sini?" "Kapan mantu?"
Ibu menjawab, "Nggak tahu itu kapan. Anaknya susah, punya pacar lepas terus," diikuti tertawa khas emak-emak yang suka basa basi.
Kadang aku menganggap kata-kata ibuku itu hanya gurauan belaka. Tapi kadang aku juga merasa sakit hati. Kenapa ibu menjawab seperti itu? Bukankah lebih mengenakkan hati kalau dijawab, "Doain saja ya, Jeng. Mudah-mudahan cepat bertemu jodohnya." Ya sudahlah tak perlu terlalu dipikirkan. Mungkin ibu juga bingung mau menjawab apa.
Pertanyaan kapan menikah pun selalu muncul. Ketika aku memasang foto sedang menghadiri pernikahan temanku. Bukan fotonya yang dikomentari tetapi statusku yang masih sendiri yang menjadi bahan ejekan temanku. "Temanmu satu geng sudah pada menikah ya? Kamu kapan, Han?" Kujawab saja dengan santai, "Hehehe tenang aja. Ntar kalau nggak hari Sabtu ya Minggu."
Walaupun menjawab dengan nada tertawa tapi sebenarnya dalam hati ini kesal, sedih, marah. Memangnya kalau sudah menikah sudah pasti kehidupanmu setelah itu akan lebih bahagia dan selalu bahagia? Temanku yang habis menikah saja sering membuat status galau di media sosial. Entah itu tentang kesal dengan suaminya atau pekerjaan rumah tangga yang menggunung. adi apakah sudah menikah itu menjamin kamu sudah bahagia?
Ada juga yang setelah menikah hidupnya berjauhan dengan suami. Karena suaminya harus bekerja di luar kota. Dan karena berbagai pertimbangan dia tidak bisa menemani suaminya ke luar kota. Mereka hanya bisa bertemu tiap 3 atau bahkan 6 bulan sekali. Lalu apa gunanya menikah kalau tidak bisa hidup bersama dalam satu atap setiap harinya?
Ada juga yang sudah menikah. Tinggal satu rumah dengan mertua. Tiap bangun kesiangan sedikit saja padahal mungkin karena capek kerja atau sedang sakit si mertua langsung membunyikan pintu dengan kerasnya atau bahkan sampai sengaja menjatuhkan panci supaya tercipta suara gaduh dan akhirnya si menantu bangun. Padahal sebelum menikah, tinggal di rumah ibu sendiri waktu sedang sakit, dia bisa tidur kapan saja dan ibunya membebaskan dia dari semua pekerjaan rumah. Jadi, apakah kehidupan setelah menikah selalu lebih menyenangkan?
Menikah itu bukan cuma perkara aku dan dia saling setia hidup bersama. Tapi tentang kesiapan mental menghadapi segala masalah dan cobaan setelahnya.
Terkadang aku ingin berkeluh kesah kepada ibu, mencurahkan segala unek-unek di dalam hati tentang kegalauanku melihat teman-teman seusiaku yang sudah menikah. Aku juga ingin menikah Bu, bahkan sangat ingin. Tapi menemukan seorang laki-laki yang sesuai dengan sifat kita yang mau menerima kurang lebihnya kita, yang tidak neko-neko itu tidak mudah bagiku bu.
Aku pernah kecewa karena terlalu banyak berharap kepada laki-laki yang kuanggap baik. Maka dari itu aku tidak mau salah memilih lagi. Aku tidak sanggup sakit hati lagi.
Bu, nanti akan tiba saatnya engkau akan menangis karena kebahagiaan yang tak tertahankan melihat putrimu ini bersanding dengan laki-laki yang sudah Allah takdirkan untuk menua bersamaku. Aku yakin waktu itu akan tiba Bu. Nanti di waktu yang tepat sesuai takdir-Nya yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.
- 5 Alasan Kamu Nggak Perlu Galau Kalau Ditanya Kapan Nikah
- Hati Perlu Pembiasaan Sebab yang Tadinya Tak Suka Lama-Lama Jadi Cinta
- Tidak Ada Akhir yang Baik-Baik Saja Bila Perselingkuhan Menodai Pernikahan
- Cepat Lambatnya Menikah Bukan Tolak Ukur Kesuksesan, Ya Kan?
- Suamiku Menghamili Perempuan Selingkuhannya
(vem/nda)