Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Menjadi seorang wanita berusia seperempat abad di Indonesia memang tidak mudah. Menginjak usia 25, seolah-olah semua orang menanyakan hal yang serupa. Teman-teman, kerabat, saudara, hingga orang tua seolah bersekongkol untuk terus bertanya, "Kapan mau menikah?" Pertanyaan ini selalu muncul di segala kesempatan, Baik dalam konteks gurauan semata atau memang benar benar serius. Dari yang awalnya bisa dihiraukan begitu saja hingga semakin lama menjadi sebuah tekanan tersendiri bagi seseorang yang ditanya.
Dulu, saya sering mendengar bahwa menjelang usia seperempat abad, seseorang bisa mengalami quarter life crisis. Saat-saat di mana seseorang merasa depresi karena merasa banyak tujuan hidupnya yang tak kunjung tercapai. Dulu, saya tidak mengerti bagaimana seseorang bisa merasa stres dengan alasan seperti itu. Namun di tahun ini, di mana beberapa bulan lagi hidup saya genap mencapai seperempat abad, saya merasa mulai mengalami fase quarter life crisis tersebut.
Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan mendesak dari orang orang seputar pernikahan semakin memperburuk moment quarter life crisis yang saya alami. Bahkan mungkin menjadi sumber utama sesuatu yang disebut quarter life crisis tersebut.
Saya akui, romantisme asmara saya saat ini memang tidak seberuntung orang-orang lain yang sudah bertemu pasangan mereka masing-masing. Berkali-kali saya mengira kalau saya sudah menemukan seseorang yang saya cari, yang akan saya jadikan teman hidup saya untuk menuju jenjang yang lebih serius. Namun ternyata pencarian saya tak semudah itu.
Advertisement
Berulang kali saya gagal dalam urusan percintaan. Kisah cinta saya yang terakhir kandas tepat di hari ulang tahun saya yang ke-24. Semenjak itu, belum ada lagi seseorang yang berhasil membuka hati saya. Di usia hampir 25, di mana para orangtua justru mulai resah dengan para anak gadisnya yang belum menikah, saya justru sedang tidak memiliki kisah cinta dengan siapapun. Maka menjawab pertanyaan, "Kapan nikah?" akan menjadi lebih sulit bagi seseorang yang sedang tidak terikat hubungan dengan siapapun seperti saya.
Sebagai seorang wanita, tentu saja pernikahan adalah sesuatu yang selalu saya impikan. Membangun rumah tangga dengan pria yang saya cintai tentu akan menjadi hal yang sangat indah bagi saya. Namun bagi saya pribadi, pernikahan bukanlah sebuah target yang harus segera saya capai. Meskipun belum menikah, saya rasa kehidupan saya masih baik-baik saja. Meskipun saat ini saya masih sendiri, saya masih bisa bertahan untuk menjalani hidup.
Saya selalu berusaha berpikir positif. Takdir setiap orang pasti berbeda. Ada orang yang sudah menemukan jodohnya di usia yang masih sangat muda, dan ada juga yang masih berusaha mencarinya meskipun usianya sudah begitu matang. Bagi saya, kalau saat ini saya belum bertemu dengan orang yang tepat, mungkin saat ini Tuhan masih ingin melihat saya mewujudkan mimpi-mimpi saya yang lain. Lagipula, mimpi saya dalam hidup ini bukan hanya menikah.
Seperti orang-orang pada umumnya, saya juga punya impian-impian yang ingin saya wujudkan, baik itu dalam bidang pendidikan, karier, ataupun sekadar mewujudkan ide-ide yang ada di kepala saya ke dalam sebuah karya. Saya bersyukur jikalau di waktu yang tepat nanti saya bertemu dengan orang yang akan menjadi pasangan hidup saya, entah itu besok, lusa, beberapa bulan ke depan, atau bahkan masih beberapa tahun lagi. Kapanpun itu, saya percaya itu semua sudah diatur. Dan selama menunggu saat itu tiba, saya masih bisa melakukan hal-hal bermanfaat lainnya dalam hidup.
Namun lingkungan sosial mungkin tidak bisa menerima pemikiran saya ini. Lingkungan sosial yang justru membuat saya berpikir bahwa menikah adalah target yang harus saya capai sesegera mungkin. Bagi mereka, tampaknya kesuksesan seorang wanita adalah ketika dia sudah menikah dan menyandang gelar sebagai seorang istri. Di Indonesia, hal ini juga dipertegas dengan sebuah ketentuan tak tertulis yang menyebut bahwa batas seorang wanita untuk menikah yaitu sampai usia 25. Maka di tahun ini, status saya yang masih sendiri selalu menjadi sasaran empuk bagi para teman-teman dan keluarga yang gemar bertanya kapan nikah.
Saya mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang begitu sayang dan peduli pada saya. Namun sejujurnya, pertanyaan "kapan nikah" yang selalu mereka ajukan itu justru membuat kehidupan saya yang awalnya baik-baik saja menjadi begitu tertekan. Membuat saya yang awalnya merasa bahagia dengan hidup yang saya jalani menjadi tiba-tiba merasa gagal dalam menjalani peran dalam kehidupan. Membuat semua prestasi dan pencapaian yang sudah saya raih seolah tidak ada artinya. Seolah-olah kesendirian saya ini adalah sebuah kegagalan besar.
Semua ini tentu saja membuat saya tertekan secara psikologis. Terkadang membuat saya memikirkan pertanyaan itu sepanjang hari dan akhirnya tidak melakukan apapun, membuat saya membuang waktu yang seharusnya bisa saya manfaatkan untuk kegiatan-kegiatan positif lainnya. Andai pertanyaan tersebut bisa berhenti mereka lontarkan, mungkin saya tidak akan mengalami quarter life crisis seperti yang saya rasakan saat ini.
Andai mereka bisa lebih bijak dalam bertanya hal-hal semacam itu, mungkin saya bisa menjalani kehidupan saya dengan lebih tenang dan bahagia. Andai mereka mengerti bahwa pertanyaan "kapan nikah" yang mereka ajukan itu bisa berdampak besar terhadap psikologis seseorang, terlepas itu mereka tanyakan dengan serius ataupun iseng belaka.
Seharusnya mereka paham, sudah menikah ataupun belum menikah tidak bisa menjadi patokan hidup seseorang itu bermanfaat atau tidak. Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Setiap orang memiliki kebahagiannya masing-masing. Menemukan cinta dan menikah memang sesuatu yang membahagiakan, tapi hal itu bukan mutlak menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan seseorang. Saya yakin masih banyak hal-hal sederhana hingga hal-hal besar di dunia ini yang bisa kita lakukan dan memberikan kebahagiaan.
Mungkin saya bukan satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Mungkin banyak orang-orang di luar sana yang merasakan apa yang saya rasakan saat ini, bahkan bisa jadi dampak psikologis yang mereka rasakan lebih berat dibanding apa yang saya rasakan sekarang. Oleh karena itu, saya ingin orang-orang berhenti bertanya "kapan nikah" pada mereka yang belum ingin menikah atau belum ditakdirkan Tuhan untuk menikah. Pertanyaan itu memang tampak sederhana dan begitu mudah diucapkan, namun dua kata itu bisa memberi dampak yang cukup berat bagi kondisi batin seseorang.
Jangan sampai pertanyaan sepele yang kalian lontarkan itu mengusik kedamaian hidup seseorang dan membuatnya menjadi terpuruk. Percayalah, dengan ataupun tanpa kalian bertanya itu, Tuhan telah menyiapkan waktu yang tepat bagi saya dan orang-orang lain di luar sana untuk menikah. Waktu yang tepat, tidak akan menjadi lebih cepat ataupun lebih lambat meski sesering apapun kalian bertanya, "Kapan nikah?"
- 5 Alasan Kamu Nggak Perlu Galau Kalau Ditanya Kapan Nikah
- Hati Perlu Pembiasaan Sebab yang Tadinya Tak Suka Lama-Lama Jadi Cinta
- Cepat Lambatnya Menikah Bukan Tolak Ukur Kesuksesan, Ya Kan?
- Tidak Ada Akhir yang Baik-Baik Saja Bila Perselingkuhan Menodai Pernikahan
- Suamiku Menghamili Perempuan Selingkuhannya
(vem/nda)